KKL PPKn FKIP-Unila

Rombongan KKL angkatan 2011 PPKn FKIP-Unila

Tim Footsal Civic Education angkatan 2011 FKIP-Unila

Foto saat pembagian hadiah, juara kedua Liga PKn Internal FKIP-Unila

Tim Footsal Civic Education angkatan 2011 FKIP-Unila

Foto bersama saat sebelum latihan di Lampung Footsal, Lampung-Indonesia

Candi Borobudur

Aan riesaan saat berkunjung di Candi Borobudur pada KKL angkatan 2011 PPKn FKIP-Unila

Selasa, 16 Oktober 2012

Artikel IPS Terpadu (Pend. Kewarganegaraan dan Sosiologi)


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
 DAN SOSIOLOGI

A.    Konsep Pembelajaran Terpadu dalam Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
Pendekatan pembelajaran terpadu dalam IPS sering disebut dengan pendekatan interdisipliner. Model pembelajaran terpadu pada hakikatnya merupakan suatu sistem pembelajaran yang memungkinkan peserta didik baik secara individual maupun kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip-prinsip secara holistik dan otentik (Depdikbud, 1996:3). Salah satu di antaranya adalah memadukan Kompetensi Dasar. Melalui pembelajaran terpadu peserta didik dapat memperoleh pengalaman langsung, sehingga dapat menambah kekuatan untuk menerima, menyimpan, dan memproduksi kesan-kesan tentang hal-hal yang dipelajarinya. Dengan demikian, peserta didik terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai konsep yang dipelajari.

Pada pendekatan pembelajaran terpadu, program pembelajaran disusun dari berbagai cabang ilmu dalam rumpun ilmu sosial. Pengembangan pembelajaran terpadu, dalam hal ini, dapat mengambil suatu topik dari suatu cabang ilmu tertentu, kemudian dilengkapi, dibahas, diperluas, dan diperdalam dengan cabang-cabang ilmu yang lain. Topik/tema dapat dikembangkan dari isu, peristiwa, dan permasalahan yang berkembang. Bisa membentuk permasalahan yang dapat dilihat dan dipecahkan dari berbagai disiplin atau sudut pandang, contohnya banjir, pemukiman kumuh, potensi pariwisata, IPTEK, mobilitas sosial, modernisasi, revolusi yang dibahas dari berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial.

B.     Pembahasan PKn
Setiap ilmu harus memenuhi syarat-syarat ilmiah yang mempunyai objek, metode, sistem dan bersifat universal. Objek pembahasan setiap ilmu harus jelas, baik objek material maupun objek formal.

Objek material adalah bidang sasaran yang dibahas dan dikaji oleh suatu bidang atau cabang ilmu. Objek material PKn adalah segala hal yang berkaitan dengan warga negara baik yang empirik maupun yang non empirik, yang meliputi wawasan, sikap, dan perilaku warga negara dalam kesatuan bangsa dan negara.
Objek formal adalah sudut pandang tertentu yang dipilih untuk membahas objek material tersebut. Objek formal PKn adalah hubungan antara warga negara dengan negara dan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara.

Menurut Zamroni (Tim ICCE, 2005:7) mengemukakan bahwa pengertian Pendidikan Kewarganegaraan adalah:  Pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru, bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat. PKn merupakan bagian atau salah satu tujuan pendidikan IPS, yaitu bahan pendidikannya diorganisasikan secara terpadu (intergrated) dari berbagai disiplin ilmu sosial, humaniora, dokumen negara, terutama Pancasila, UUD NRI 1945, GBHN, dan perundangan negara, dengan tekanan bahan pendidikan pada hubungan warga negara dan bahan pendidikan yang berkenaan dengan bela negara.

PKn menitikberatkan pada kemampuan dan ketrampilan berpikir aktif warga negara, terutama generasi muda, dalam menginternalisasikan nilai-nilai warga negara yang baik (good citizen)dalam suasana demokratis dalam berbagai masalah kemasyarakatan (civic affairs).

Pendidikan kewarganegar­aan dalam pengertian sebagai citizenship education, secara substantif dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warganegara yang cerdas dan baik untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan.

Selain itu, Pendidikan kewarganegaraan merupakan suatu bidang kajian yang mempunyai objek telaah kebajikan dan budaya kewarganegaraan, menggunakan disiplin ilmu pendidikan dan ilmu politik sebagai kerangka kerja keilman pokok serta disiplin kurikuler kewarganegaraan, aktivitas social cultural dan kajian ilmiah kewarganegaraan.

Pendidikan kewarganegaraan merupakan perwujudan nyata dari sarana programatik kependidikan yang kasat mata, yang pada hakikatnya merupakan penerapan konsep, prinsip, prosedur, nilai, dalam pendidikan kewarganegaraansebagai dimensi poietike yang berinteraksi dengan keyakinan, semangat, dan kemampuan para praktisi, serta konteks pendidikan kewarganegaraan, yang diikat oleh substansi idiil sebagai dimensi  pronesis yaknitruth and justice.

C.    Pembahasan  sosiologi
Pokok bahasan sosiologi ada empat:
1.      Fakta sosial sebagai cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang berada di luar individu dan mempunyai kekuatan memaksa dan mengendalikan individu tersebu. Contoh, di sekolah seorang murid diwajidkan untuk datang tepat waktu, menggunakan seragam, dan bersikap hormat kepada guru. Kewajiban-kewajiban tersebut dituangkan ke dalam sebuah aturan dan memiliki sanksi tertentu jika dilanggar. Dari contoh tersebut bisa dilihat adanya cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang ada di luar individu (sekolah), yang bersifat memaksa dan mengendalikan individu (murid).
2.      Tindakan sosial sebagai tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain. Contoh, menanam bunga untuk kesenangan pribadi bukan merupakan tindakan sosial, tetapi menanam bunga untuk diikutsertakan dalam sebuah lomba sehingga mendapat perhatian orang lain, merupakan tindakan sosial.
3.      Khayalan sosiologis sebagai cara untuk memahami apa yang terjadi di masyarakat maupun yang ada dalam diri manusia. Menurut Wright Mills, dengan khayalan sosiologi, kita mampu memahami sejarah masyarakat, riwayat hidup pribadi, dan hubungan antara keduanya. Alat untuk melakukan khayalan sosiologis adalah permasalahan (troubles) dan isu (issues). Permasalahan pribadi individu merupakan ancaman terhadap nilai-nilai pribadi. Isu merupakan hal yang ada di luar jangkauan kehidupan pribadi individu. Contoh, jika suatu daerah hanya memiliki satu orang yang menganggur, maka pengangguran itu adalah masalah. Masalah individual ini pemecahannya bisa lewat peningkatan keterampilan pribadi. Sementara jika di kota tersebut ada 12 juta penduduk yang menganggur dari 18 juta jiwa yang ada, maka pengangguran tersebut merupakan isu, yang pemecahannya menuntut kajian lebih luas lagi.
4.      Realitas sosial adalah penungkapan tabir menjadi suatu realitas yang tidak terduga oleh sosiolog dengan mengikuti aturan-aturan ilmiah dan melakukan pembuktian secara ilmiah dan objektif dengan pengendalian prasangka pribadi, dan pengamatan tabir secara jeli serta menghindari penilaian normatif.

D.    Keterpaduan antara sosiologi dan pendidikan kewarganegaraan Judul: Penyimpangan sosial dan nilai-nilai Pancasila
*     Pengertian penyimpangan sosial
Penyimpangan sosial adalah perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatutan, baik dalam sudut pandang kemanusiaan (agama) secara individu maupun pembenarannya, sebagai bagian dari makhluk sosial. Menurut KBBI, perilaku menyimpang merupakan tingkah laku/perbuatan/tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang bertentangan dengan norma-norma dan hukum yang ada dalam masyarakat.
Penyebab penyimpangan sosial:
a.       Subjektif
Faktor dari dalam diri individu tersebut (pembawaan)
b.      Objektif
Faktor dari luar, dipengaruhi oleh lingkungan

Penyebab perilaku menyimpang juga disebabkan, antara lain:
1.      Ketidaksanggupan menyerap norma-norma kebudayaan akibat proses sosialisasi yang tidak sempurna, ini terjadi dalam keluarga yang retak (broken home).
2.      Proses belajar yang menyimpang. Sejak kecil sudah terbiasa menonton tayangan yang menyimpang.
3.      Ketegangan antara budaya dan struktur sosial juga menyebabkan perilaku menyimpang.
4.      Akibat proses sosialisasi nilai-nilai subkebudayaan yang menyimpang.
5.      Ikatan sosial yang berlainan. Setiap orang umumnya berhubungan dengan beberapa kelompok yang akan ditiru.

Macam-macam penyimpangan sosial:
1.      Individu: pemabuk, perusuh, pembangkang dan lain-lain.
2.      Group: massa yang tawuran.

*     Nilai-nilai Pancasila sebagai pengendali preventif
Pengendalian preventif merupakan pencegahan terhadap penyimpangan nilai dan norma. Pengendalian tersebut dilakukan sebelum terjadi penyimpangan sosial.

Peran Pancasila dalam hal ini sebenarnya adalah untuk menciptakan masyarakat yang mampu menjaga dirinya dari prilaku-prilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma, artinya masyarakat Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat harus mampu mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari hari. Dalam nilai Pancasila manusia memiliki  kedudukan dan hak yang sama. Dalam menggunakan hak-haknya selalu memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingan negara dan masyarakat. Karena mempunyai kedudukan, hak serta kewajiban harus seimbang dan tidak memihak ataupun memaksakan kehendak kepada orang lain. Dengan kesadaran terhadap nilai Pancasila ini seharusnya masyarakat tidak melakukan penyimpangan-penyimpangan sosial.

Selain itu, Pancasila disebut sebagai identitas bangsa dimana Pancasila mampu memberikan satu pertanda atau ciri khas yang melekat dalam tubuh masyarakat. Hal ini yang mendorong bagaimana statement masyarakat mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tersebut. Artinya sebagai warga negara Indonesia kita hasudah memwbawa identitas bangsa yang erat kaitannya dengan nilai-nilai Pancasila. Dan sudah jelas bahwa penyimpangan sosial ini tidak sesuai dengan identitas bangsa kita.

Pengendalian penyimpangan sosial secara preventif dapat dilakukan dengan cara menanamkan nilai-nilai Pancasila sebagai berikut :
Ø  Nilai keagamaan
Nilai keagamaan ini perlu ditanamkan agar setiap perbuatan yang dilakukan manusia didasarkan pada rasa takutnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga dalam melakukan setiap perbuatan manusia lebih hati-hati.
Ø  Nilai kemanusiaan
Nilai tersebut harus ditanamkan dalam diri manusia karena hati nurani manusia akan menciptakan rasa kemanusiaan untuk tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.
Ø  Nilai persatuan
Dengan adanya nilai persatuan atau kesadarannya terhadap nilai persatuan tersebut, manusia akan menyadari untuk tidak melakukan perpecahan.
Ø  Nilai musyawarah dan mufakat
Masyarakat akan menyadari pentingnya musyawarah untuk menyelesaikan masalah secara kekeluargaan.
Ø  Nilai keadilan
Pengendalian dengan nilai keadilan ini agar manusia lebih menghormati hak-hak orang lain dalam melaksanakan kehidupan bermasyarakat.

E.     Hubungan Antara Pendidikan Kewarganegraan dan Sosiologi dalam Konteks IPS Terpadu
Hubungan antara Pendiddikan Kewarganegaraan dengan Sosiologi sangat erat karena sudah jelas bahwa Sosiologi mempelajari tentang kehidupan sosial atau kemasyarakatan dalam hal interaksi, sedangkan Pendidikan Kewarganegaraan mempelajari bagaimana masryarakat menaati peraturan-peraturan untuk menjadi warga negara yang baik. Tentu sangat berkaitan karena interaksi sosial yang ini dapat tewujud dengan cara menaati peraturan.

Dalam materi penyimpangan sosial ini, dijelaskan bahwasannya interaksi sosial tidak selama menghasilakan hubungan yang baik, bahkan justru menyebabkan prilaku sosial, kemudian nilai-nilai Pancasila disini disispkan agar menjadi pengendali dari penyimpangan-penyimpangan sosial tersebut.


F.     Untuk keterpaduan antara Pkn dan Sosiologi ini kami menggunakan, Model Integrasi Berdasarkan Permasalahan
Model pembelajaran terpadu pada IPS ini adalah berdasarkan permasalahan yang ada, contohnya adalah “Penyimpangan Sosial pada Remaja”. Pada pembelajaran terpadu, dilihat dari segi sisiologi Penyimpangan sosial ditinjau dari beberapa faktor sosial yang mempengaruhinya. Di antaranya adalah faktor ekonomi, sosial, dan budaya. Juga dapat dari faktor historis kronologis dan kausalitas, serta perilaku masyarakat terhadap aturan/norma. Kemudian dilihat dari PKn Penyimpangan Sosial ini akibat kurang menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Cara pembelajaran materi Penyimpangan Sosial dan Nilai-Nilai Pancasila, yaitu :
1.      Guru menjelaskan tentang penyimpangan-penyimpangan sosial dengan metode ceramah.
2.      Kemudian guru memberikan pertanyaan terhadap sebab akibat terjadinya penyimpangan tersebut.
3.      Peserta didik segera memberi respon terhadap masalah atau kasus yang dibahas.
4.   Kemudian mengadakan diskusi kelas tentang pengendalian penyimpangan sosial tersebut, disini guru lebih menekankan nilai-nilai Pancasila terhadap penyelesaian masalah tersebut.




Rabu, 25 April 2012

Propaganda Politik Sebagai Bagian Dari Komunikasi Politik


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Diantara pembahasan yang menonjol dalam mempelajari Komunikasi Politik adalah menyangkut isi pesan atau media penyampaian. Bahasan ini sama pentingnya dari bahasan komunikator, media, khalayak dan efek komunikasi politik. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa, inti komunikasi politik adalah komunikasi yang di arahkan kepada pencapaian suatu yang berpengaruh. Urgensinya dalam suatu sistem politik tak diragukan lagi, karena komunikasi politik terjadi saat keseluruhan fungsi dari sistem politik lainnya dijalankan dan di terapkan.
Tulisan ini, berupaya mengkolaborasikan masalah pesan politik terutama yang ada kaitannya dengan aktivitas persuasi. Fokus bahasan berkaitan dengan propaganda sebagai salah satu pendekatan persuasi yang sangat populer dan banyak dilakukan oleh komunikator politik sejak dahulu hingga saat ini. Karena dalam perkembangannya media massa banyak digunakan sebagai medium penyampaian pesan yang sangat diminati, maka bahasan ini secara spesifik mengamati propaganda politik melalui media massa. Teori agenda setting dipergunakan sebagai pilihan kerangka analisa dengan pertimbangan relevan dengan substansi pembahasan. Untuk melengkapi bahasan, juga akan dikemukan kritik terhadap beberapa konsepsi pokok teori tersebut.
Propaganda dalam politik memainkan peran yang sangat penting karena merupakan satu diantara pendekatan persuasi politik selain periklanan dan retorika. Dalam praktiknya, propaganda mengkolaborasikan pesan politik guna mendapatkan pengaruh secara persuasif. Biasanya digunakan oleh seseorang atau sekelompok orang terorganisir yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan individu-individu masyarakat yang dipersatukan melalui manipulasi psikologis. Sementara itu, tak dapat dipungkiri bahwa hampir seluruh pendekatan persuasi kepada khalayak di era informasi ini menempatkan media massa sebagai instrumen saluran yang mesti digunakan. Media massa mempengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang anggap penting. Dalam perspektif teori agenda setting, propaganda akan berjalan efektif, jika ada upaya pengemasan pesan dalam prioritas isi media. Isi pesan inilah yang menjadi tawaran dalam mempengaruhi cara berpikir kalayak. Prinsipnya sebenarnya “to tell what to think about” artinya membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting.

1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Pengertian Komunikasi Politik
Secara sederhana, komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara “yang memerintah” dan “yang diperintah”.
Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang kongkret sebenarnya telah dilakukan oleh siapa saja misalkan mahasiswa, dosen, tukang ojek, penjaga warung, dan seterusnya. Tak heran jika ada yang menjuluki Komunikasi Politik sebagai Neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka.

1.2.2 Pesan Politik
Dalam film the king speech pesan politik yang dapat kita peroleh adalah seorang pemimpin itu harus bias menyampaikan pesan politiknya dengan benar dan mampu mebuat pendengarnya dengan baik agar dapat berpartisipasi terhadap pesan yang disampaikanya.
1.3 Tujuan Pembuatan Makalah
1.      Untuk menambah pengetahuan ilmu politik,
2.      Untuk melatih menyusun makalah,
3.      Untuk menambah wawasan yang lebih luas tentang propaganda politik dan komunikasi politik.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Propaganda
Propaganda dari bahasa Latin modern (propagare) yang berarti mengembangkan atau memekarkan adalah rangkaian pesan yang bertujuan untuk memengaruhi pendapat dan kelakuan masyarakat atau sekelompok orang. Propaganda tidak menyampaikan informasi secara objektif, tetapi memberikan informasi yang dirancang untuk mempengaruhi pihak yang mendengar atau melihatnya. Propaganda kadang kala menyampaikan pesan yang benar, namun seringkali menyesatkan dimana umumnya isi propaganda hanya menyampaikan fakta-fakta pilihan yang dapat menghasilkan pengaruh tertentu, atau lebih menghasilkan reaksi emosional daripada reaksi rasional. Tujuannya adalah untuk mengubah pikiran kognitif narasi subjek dalam kelompok sasaran untuk kepentingan tertentu.
Propaganda adalah sebuah upaya disengaja dan sistematis untuk membentuk persepsi, memanipulasi alam pikiran atau kognisi, dan memengaruhi langsung perilaku agar memberikan respon sesuai yang dikehendaki pelaku propaganda. Sebagai komunikasi yang memiliki satu ke banyak orang (one-to-many), propaganda memisahkan komunikator dari komunikannya. Namun menurut Ellul, komunikator dalam propaganda sebenarnya merupakan wakil dari organisasi yang berusaha melakukan pengontrolan terhadap masyarakat komunikannya. Sehingga dapat disimpulkan, komunikator dalam propaganda adalah seorang yang ahli dalam teknik penguasaan atau kontrol sosial. Dengan berbagai macam teknis, setiap penguasa negara atau yang bercita-cita menjadi penguasa negara harus mempergunakan propaganda sebagai suatu mekanisme alat kontrol sosial.
Propaganda adalah usaha yang di lakukan dengan sengaja dan sistematis, untuk membentuk persepsi, memanipulasi pikiran, dan mengarahkan kelakuan untuk mendapatkan reaksi yang diinginkan penyebar propaganda.

2.1.1 Tipologi Propaganda

Propagandis mencoba untuk mengarahkan opini publik untuk mengubah tindakan dan harapan dari target individu. Yang membedakan propaganda dari bentuk-bentuk lain dari rekomendasi adalah kemauan dari propagandis untuk membentuk pengetahuan dari orang-orang dengan cara apapun yang pengalihan atau kebingungan. Propaganda adalah senjata yang ampuh untuk merendahkan musuh dan menghasut kebencian terhadap kelompok tertentu, mengendalikan representasi bahwa itu adalah pendapat dimanipulasi. Metode propaganda termasuk kegagalan untuk tuduhan palsu.
Propaganda dapat digolongkan menurut sumbernya:
1.      Propaganda putih, berasal dari sumber yang dapat diidentifikasi secara terbuka.
2.      Propaganda hitam, berasal dari sumber yang dianggap ramah akan tetapi sebenar - benarnya bermusuhan.
3.      Propaganda abu-abu, berasal dari sumber yang dianggap netral tapi sebenarnya bermusuhan.
Propaganda telah berkembang dalam perang psikologis di mana propaganda menemukan ekstensinya.
1.      propaganda politik yaitu melibatkan usaha pemerintah, partai atau golongan untuk pencapaian tujuan strategis dan taktis.
2.      propaganda sosiologi yaitu melakukan perembesan budaya kemudian masuk ke dalam lembaga - lembaga ekonomi, sosial dan politik.

2.1.2 Macam-Macam Definisi Propaganda
Dalam Everyman's encyclopedia, propaganda merupakan suatu seni untuk menyebarkan dan meyakinkan suatu kepercayaan pengetahuan, khususnya kepercayaan agama atau politik.
Jacques Ellul, mendefinisikan propaganda sebagai komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu, di persatukan secara psikologis dan tergabungkan di dalam suatu kumpulan atau organisasi. Bagi Ellul, propaganda memang erat kaitannya dengan organisasi dan tindakan, yang tanpa propaganda praktis tidak ada.
Leonard W. Dobb, sebagai pakar opini publik, menyatakan bahwa propaganda merupakan usaha-usaha yang dilakukan oleh individu-individu yang berkepentingan untuk mengontrol sikap kelompok termasuk dengan cara menggunakan sugesti, sehingga berakibat menjadi kontrol terhadap kegiatan kelompok tersebut.
Jozef Goebbels, Menteri Propaganda Nazi di zaman Hitler, mengatakan "Sebarkan kebohongan berulang - ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya." Tentang kebohongan ini, Goebbels juga mengajarkan bahwa kebohongan yang paling besar ialah kebenaran yang diubah sedikit saja.

2.1.3 Komponen Propaganda
1.      Pihak yang menyebarkan pesan, berupa komunikator, atau orang yang dilembagakan/lembaga yang menyampaikan pesan dengan isi dan tujuan tertentu.
2.      Komunikan atau target penerima pesan yang diharapkan menerima pesan dan kemudian melakukan sesuatu sesuai pola yang ditentukan oleh komunikator.
3.      Pesan tertentu yang telah dirumuskan sedemikian rupa agar mencapai tujuannya dengan efektif.
4.      Sarana atau medium yang tepat dan sesuai atau serasi dengan situasi dari komunikan.
5.      Kebijaksanaan atau politik propaganda yang menentukan isi dan tujuan yang hendak dicapai.
6.      Dilakukan secara terus menerus.
7.      Terdapat proses penyampaian gagasan, ide/kepercayaan, atau doktrin.
8.      Mempunyai tujuan untuk mengubah opini, sikap, dan perilaku individu/kelompok, dengan teknik - teknik memengaruhi.
9.      Kondisi dan situasi yang memungkinkan dilakukannya kegiatan propaganda yang bersangkutan.
10.  Menggunakan cara sistematis prosedural dan perencanaan.

2.2.4 Propaganda Sebagai Pendekatan Persuasi Politik Konseptualisasi
Menurut Dan Nimmo ada tiga pendekatan kepada persuasi politik, yakni propaganda, periklanan dan retorika. Semuanya serupa dalam beberapa hal yakni bertujuan (purposif), disengaja (intensional) dan melibatkan pengaruh terdiri atas hubungan timbal balik antara orang-orang dan semuanya menghasilkan berbagai tingkat perubahan dalam persepsi, kepercayaan, nilai dan pengharapan pribadi. Tentu saja ketiganya juga memiliki kekhususan yang membedakan satu dengan lainnya.
Banyak ahli mendefinisikan persuasi, salah satunya adalah Erwin P. Bettinghaus. Menurut dia, persuasi tidak lain adalah usaha yang di sadari untuk mengubah sikap, kepercayaan atau prilaku orang melalui transmisi pesan. Bisa saja, banyak definisi yang dikemukakan, tapi diantara karakteristik umumnya persuasi selalu melibatkan tujuan melalui pembicaraan. Sifatnya juga dialektis dan merupakan proses timbal balik. Dalam hal ini dengan sengaja atau tidak menimbulkan perasaan responsif pada orang lain. Selain itu, dia juga bercirikan kemungkinan.
Dari ketiga pendekatan persuasi seperti disebut di atas, propaganda memiliki catatan konseptual dan histroris yang menarik untuk diamati. Menurut Jacques Elluldalam Dan Nimmo, propaganda sebagai komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu, dipersatukan secara psikologis melalui manipulasi psikologis dan di gabungkan di dalam suatu organisasi.
Istilah propaganda ini dapat ditelusuri hingga masa Paus Gregorius XV yang membentuk suatu komisi para kardinal, Congregatio de propaganda Fide, untuk menumbuhkan keimanan kristiani diantara bangsa-bangsa lain. Namun pada perkembangannya, propaganda meluas ke wilayah politik, yakni di peruntukan untuk memperoleh pengaruh dan pada akhirnya kekuasaan. Praktek propaganda misalnya pernah dilakukan Partai Nazi, Hitler. Dengan manipulasi lambang dan oratori yang penuh emosi, Hitler membangkitkan rasa identifikasi, komitmen dan kesetiaan khalayak. Kata-kata yang sangat populer waktu itu “Ein Volk, ein Reich, ein Fuhrer”.
Ellul membuat tipologi propaganda yang menarik. Menurutnya, ada tipe propaganda politik dan tipe propaganda sosiologi. Yang pertama, beroperasi melalui himbauan-himbauan khas berjangka pendek. Biasanya melibatkan usaha-usaha pemerintah, partai atau golongan berpengaruh untuk mencapai tujuan strategis atau taktis. Sementara yang kedua, tipenya berangsur-angsur, merembes ke dalam lembaga-lembaga ekonomi, sosial dan politik. Melalui propaganda orang disuntik dengan suatu cara hidup atau ideologi. Hasilnya, suatu konsepsi umum tentang masyarakat yang dengan setia dipatuhi oleh setiap orang kecuali beberapa orang yang dianggap sebagai penyimpang (deviants).
Berkaitan dengan konsepsi ini dikenal adanya propaganda agitasi dan propaganda integrasi. Agitasi berusaha agar orang-orang bersedia memberikan pengorbanan yang besar bagi tujuan yang langsung, mengorbankan jiwa mereka dalam usaha mewujudkan cita-cita dalam tahap-tahap yang merupakan suatu rangkaian. Sementara propaganda integrasi menggalang kesesuaian di dalam mengejar tujuan-tujuan jangka panjang. Melalui propaganda ini orang-orang mengabdikan diri kepada tujuan-tujuan yang mungkin tidak akan terwujud dalam waktu bertahun-tahun.

2.3.5 Propaganda Vertikal (Satu Kepada Banyak)
Propaganda dalam realitasnya mengambil bentuk vertikal dan horizontal. Bentuk yang pertama adalah representasi propaganda satu-kepada-banyak (one-to-many). Sementara propaganda horizontal bekerja lebih di antara keanggotaan kelompok ketimbang dari pemimpin kepada kelompok. Artinya yang kedua lebih banyak menggunakan komunikasi interpersonal dan komunikasi organisasi, ketimbang melalui komunikasi massa. Kalau dulu komunikasi satu-kepada-banyak mungkin diwakili oleh propagandis-propagandis lewat pidato-pidato keliling di depan kumpulan partisan mereka, tapi sekarang hal ini lebih sering dilakukan melalui media massa.

Ada beberapa hal pokok yang biasa dilakukan dalam propaganda. Dalam bukunya Dan Nimmo mengulas ada 7 teknik propaganda penting yang memanfaatkan kombinasi kata, tindakan dan logika untuk tujuan persuasif sebagai berikut :

1.      Name calling, memberi label buruk kepada gagasan, orang, objek atau tujuan agarorang menolak sesuatu tanpa menguji kenyataannya. Misalnya menuduh lawan pemilihan sebagai penjahat.
2.      Glittering generalities, menggunakan kata yang baik untuk melukiskan sesuatu agar mendapat dukungan, lagi-lagi tanpa menyelidiki ketepatan asosiasi itu. Misal AS menyebut operasi mereka ke Afghanistan beberapa waktu lalu sebagai Operasi Keadilan Tak Terhingga, dengan misi Hukum Tanpa Batas begitu juga saat merencanakan serangan ke Irak, AS menyebutnya sebagai misi kemanusiaan untuk membebaskan manusia dari teror senjata pemusnah massal.
3.      Transfer, yakni mengidentifikasi suatu maksud dengan lambang otoritas, misalnya Pilih Kembali Mega di Pemilu 2004.
4.      Testimonial, memperoleh ucapan orang yang dihormati atau dibenci untuk mempromosikan atau meremehkan suatu maksud. Kita mengenalnya dalam dukungan politik oleh surat kabar, tokoh terkenal dan lain-lain.
5.      Plain folks, imbauan yang mengatakan bahwa pembicara berpihak kepada khalayaknya dalam usaha bersama yang kolaboratif. Misalnya, “saya salah seorang dari anda, hanya rakyat biasa”.
6.      Card stacking, memilih dengan teliti pernyataan yang akurat dan tidak akurat, logis dan tak logis dan sebagainya untuk membangun suatu kasus. Misalnya kata-kata pembunuhan terhadap pemimpin kita, benar-benar menunjukan penghinaan terhadap partai kita.
7.      Bandwagon, usaha untuk meyakinkan khalayak akan kepopuleran dan kebenaran tujuan sehingga setiap orang akan turut naik. Prinsip satu-kepada-banyak yang menjadi pegangan propaganda, semakin menemukan momentumnya seiring dengan berkembangnya media massa. Orde Baru misalnya, secara terus menerus memanfaatkan TVRI sebagai ideological state aparatus. Dengan mengusung propaganda “pembangunan”, dalam waktu yang relatif lama mampu bertahan melakukan korporasi terhadap hampir segenap lapisan masyarakat.

2.2 Pengertian Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi oleh seseorang atau beberapa orang, kelompok, organisasi, dan masyarakat untuk menciptakan dan menggunakan informasi agar terhubung dengan lingkungan dan orang lain. Pada umumnya, komunikasi dilakukan secara lisan atau verbal yang dapat di mengerti oleh kedua belah pihak. Apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut komunikasi dengan bahasa nonverbal.

2.2.1 Proses Komunikasi
Secara ringkas, proses berlangsungnya komunikasi bisa digambarkan seperti berikut. Komunikator (sender) yang mempunyai maksud berkomunikasi dengan orang lain mengirimkan suatu pesan kepada orang yang dimaksud. Pesan yang disampaikan itu bias berupa informasi dalam bentuk bahasa ataupun lewat simbol-simbol yang bisa dimengerti kedua pihak. Pesan (message) itu disampaikan atau dibawa melalui suatu media atau saluran baik secara langsung maupun tidak langsung. Contohnya berbicara langsung melalui telepon, surat, e-mail, atau media lainnya. Media (channel) alat yang menjadi penyampai pesan dari komunikator ke komunikan. Komunikan (receiver) menerima pesan yang disampaikan dan menerjemahkan isi pesan yang diterimanya ke dalam bahasa yang dimengerti oleh komunikan itu sendiri. Komunikan (receiver) memberikan umpan balik (feedback) atau tanggapan atas pesan yang dikirimkan kepadanya, apakah dia mengerti atau memahami pesan yang dimaksud oleh si pengirim.

2.2.2 Model - Model Komunikasi

Dari berbagai model komunikasi yang sudah ada, di sini akan dibahas tiga model paling utama, serta akan dibicarakan pendekatan yang mendasarinya dan bagaimana komunikasi dikonseptualisasikan dalam perkembangannya.
Pertama, model komunikasi ini dikemukakan oleh Claude Shannon dan Warren Weaver pada tahun 1949 dalam buku The Mathematical of Communication. Mereka mendeskripsikan komunikasi sebagai proses linear karena tertarik pada teknologi radio dan telepon dan ingin mengembangkan suatu model yang dapat menjelaskan bagaimana informasi melewati berbagai saluran (channel). Hasilnya adalah konseptualisasi dari komunikasi linear (linear communication model).  Pendekatan ini terdiri atas beberapa elemen kunci sumber (source), pesan (message) dan penerima (receiver). Model linear berasumsi bahwa seseorang hanyalah pengirim atau penerima. Tentu saja hal ini merupakan pandangan yang sangat sempit terhadap partisipan-partisipan dalam proses komunikasi.
Kedua, model interaksional dikembangkan oleh Wilbur Schramm pada tahun 1954 yang menekankan pada proses komunikasi dua arah di antara para komunikator. Dengan kata lain, komunikasi berlangsung dua arah dari pengirim dan kepada penerima dan dari penerima kepada pengirim. Proses melingkar ini menunjukkan bahwa komunikasi selalu berlangsung. Para peserta komunikasi menurut model interaksional adalah orang-orang yang mengembangkan potensi manusiawinya melalui interaksi sosial, tepatnya melalui pengambilan peran orang lain. Patut dicatat bahwa model ini menempatkan sumber dan penerima mempunyai kedudukan yang sederajat. Satu elemen yang penting bagi model interkasional adalah umpan balik (feedback), atau tanggapan terhadap suatu pesan.
Ketiga, model komunikasi transaksional dikembangkan oleh Barnlund pada tahun 1970. Model ini menggaris bawahi pengiriman dan penerimaan pesan yang berlangsung secara terus-menerus dalam sebuah episode komunikasi. Komunikasi bersifat transaksional adalah proses kooperatif pengirim dan penerima sama-sama bertanggung jawab terhadap dampak dan efektivitas komunikasi yang terjadi. Model transaksional berasumsi bahwa saat kita terus menerus mengirimkan dan menerima pesan, kita berurusan baik dengan elemen verbal dan nonverbal.

2.2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Komunikasi

Pertama, Latar belakang budaya. Interpretasi suatu pesan akan terbentuk dari pola pikir seseorang melalui kebiasaannya, sehingga semakin sama latar belakang budaya antara komunikator dengan komunikan maka komunikasi semakin efektif. Kedua, Ikatan kelompok atau group. Nilai-nilai yang dianut oleh suatu kelompok sangat mempengaruhi cara mengamati pesan. Ketiga, Harapan. Harapan mempengaruhi penerimaan pesan sehingga dapat menerima pesan sesuai dengan yang diharapkan. Keempat,Pendidikan. Semakin tinggi pendidikan akan semakin kompleks sudut pandang dalam menyikapi isi pesan yang disampaikan. Kelima, situasi. Perilaku manusia dipengaruhi oleh lingkungan/situasi. Dahulu orang lebih mudah memberikan definisi tentang ilmu daripada sekarang. Dulu defenisi ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianutnya. Sekarang ilmu memperoleh posisi yang bebas dan mandiri.


2.3 Komunikasi Politik Dalam Media Massa (Pers)
Pers memiliki latar belakang sejarah yang erat berhubungan dengan pergerakan nasional untuk memperjuangkan kemerdekaan nasional, dan dengan itu juga dapat memperjuangkan untuk memperbaiki kehidupan rakyatnya. Meski posisi dan peranan pers mengalami pergeseran sesuai dengan perkembangan sejarah negara dan sistem politiknya, namun pers Indonesia memiliki karakter yang konstan, yakni komitmen sosial-politik yang kuat.
Media massa umumnya tunduk pada sistem pers yang berlaku di mana sistem itu hidup, sementara sistem pers itu sendiri tunduk pada sistem politik yang ada. Dengan kata lain, sistem pers merupakan subsistem dari sistem politik yang ada. Maka dalam setiap liputan pemberitaan dengan sendirinya akan memperhatikan keterikatan tersebut. Indonesia saat ini resminya menganut sistem pers yang bebas dan bertanggung jawab. Konsep ini mengacu keteori Pers Tanggung Jawab Sosial. Asumsi utama teori ini adalah bahwa kebebasan mengandung di dalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan. Maka pers harus bertanggung jawab pada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi penting komunikasi massa dalam masyarakat modern. Namun dalam prakteknya, pers harus bertanggung jawab pada pemerintah. Ini menimbulkan kesulitan tersendiri bagi pers yang kritis dan mencoba menjalankan kontrol sosial. Ada rambu-rambu yang tidak tertulis, yang tidak bisa dilanggar. Misalnya sulit dibayangkan pers Indonesia secara lugas dan terbuka bisa memuat isue tuduhan korupsi/kolusi/monopoli terhadap Presiden atau keluarganya. Padahal di negara demokratis, pemberitaan kritis adalah biasa saja dan jabatan Presiden bukan jabatan suci yang tak bisa disentuh. Namun jika rambu-rambu itu bisa diterima,bahkan batas-batas rambu itu sendiri tidak pernah jelas, bisa mulur-mungkret tergantung selera penguasa. Di era regim Orde Baru ini, ketika suatu penerbitan dianggap pemberitaannya bertentangan dengan pembangunan, menghadapi risiko di breidel.
Pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), yang berkali-kali dilakukan regim Orde Baru, hakekatnya adalah sama dengan pembreidelan, karena itu dilakukan atas alasan isi pemberitaan. Padahal UU Pokok Pers tegas mengatakan tidak ada pembreidelan. SIUPP seharusnya hanya berkaitan dengan faktor ekonomis/usaha, bukan isi berita. Di Indonesia, kalau kita bicara tentang "kebebasan pers", maka kita kenal sebutan "Pers Pancasila". Di sini akan terlihat, bagaimana Pancasila diobral dan dijadikan dalih untuk melegitimasi berbagai tindakan dan praktek pembatasan kebebasan pers. Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984) merumuskan Pers Pancasila sebagai berikut, “Pers Indonesia adalah Pers Pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilai - nilai Pancasila dan Undang - Undang Dasar 1945.
Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Kalau mengacu buku Sistem Pers Indonesia (Atmadi:1985), disebutkan akar dari sistem kebebasan pers Indonesia adalah landasan idiil, ialah Pancasila, dengan landasan konstitusional, UUD 1945. Kemudian disebutkan, pers adalah salah satu media pendukung keberhasilan pembangunan. Bentuk dan isi pers Indonesia perlu mencerminkan bentuk dan isi pembangunan. Kepentingan pers nasional perlu mencerminkan kepentingan pembangunan nasional. Inilah yang disebut pers pembangunan, model yang juga banyak diterapkan di negara sedang berkembang lainnya. Meski sepintas kedengarannya juga masih bagus, implikasinya adalah karena pembangunan dianggap sudah merupakan program regim Orde Baru, maka pers harus mendukung pemerintah Orde Baru. Pers sangat tidak diharapkan memuat pemberitaan yang isinya bisa ditafsirkan tidak sejalan atau bertentangan dengan posisi pemerintah. Lalu siapa yang berhak menafsirkan bahwa isi pemberitaan pers itu bertentangan atau tidak bertentangan dengan pembangunan? Dalam prakteknya, itu ditentukan oleh pemerintah sendiri. Dan karena pemerintah sangat dominan dalam berbagai aspek kehidupan sosial-politik, ini sangat membuka peluang bagi penyelewengan dan pembatasan kebebasan pers. Pemerintah (Deppen) bertindak sebagai jaksa, hakim dan sekaligus algojo, dalam membungkam pers yang dianggap melanggar batas.
Manfaat Keberadaan Komunikasi Politik mengenai apa arti dan manfaatnya komunikasi politik dalam tatanan kehidupan politik sehari hari maka seharusnya masyarakat sudah menangkap dengan jelas keberadaan model-model komunikasi yang ditimbulkan dalam perpolitikan, peran komunikasi memegang peran penting dalam mengupayakan kepekaaan setiap kejadian politik yang berlangsung dewasa ini. Setelah kita memahami apakah komunikasi dan dan definisi politik maka kita secara tidak langsung akan memahami pola hubungan komunikasi yang terjadi didalamnya. Secara umum juga dijelaskan bagaimana komunikasi politik muncul sebagai suatu bidang studi yang mencoba untuk berdiri sendiri. Dalam memahami makalah ini di perkenalkan juga berbagai pendekatan teoritik maupun metodologis yang mampu menjelaskan komunikasi politik sebagai suatu suatu disiplin ilmu. Secara operasional komunikasi politik ini juga memberikan contoh konkrit dalam interaksi komunikasi maupun politik, baik dalam lingkup nasional, regional, maupun internasional. Oleh karena itu pembahasan juga akan menyentuh disiplin lain secara terbatas, seperti komunikasi internasional, hubungan internasional, maupun dalam lingkup international political communication. Sementara bidang-bidang lain yang relatif dianggap baru seperti ekonomi politik media, teknologi media dibahas secara terbatas. Dalam substansi operasionalnya akan dibahas mengenai batasan komunikasi politik, baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Kemudian akan dibahas juga secara mendalam komunikasi persuasive dalam komunikasi politik seperti bahasa politik, retorik politik, iklan politik propaganda dan debat politik, sampai kepada sosialisasi politik, kampanye politik, pendapat umum dan lainnya kesemuanya dikaitkan dengan peran komunikasi sebagai komponen yang dominan. Ketika kita berbicara masalah komunikasi politik maka kita mau tidak mau akan berbicara masalah komunikasi dan politik, dan akan berbicara masalah komponen dan segala sesuatunya yang terdapat didalamnya. Mata rantai disiplin ilmu kemudian akan nampak bahwa komunikasi politik juga berhubungan dengan masalah sosial, budaya, agama dan lain sebagainya. Sehingga jelas bahwa disini komunikasi politik membelikan peluang untuk para praktisi mempelajarinya guna memperkaya keilmuan dan mempertajam daya analisis.

2.4 Media Massa Sebagai Saluran Propaganda Politik
Kalau merujuk kepada pendapat Blumler dan Gurevitch, ada empat komponen yang perlu diperhatikan dalam mengkaji sistem komunikasi politik. Pertama, institusi politik dengan aspek-aspek komunikasi politiknya. Kedua, institusi media dengan aspek-aspek komunikasi politiknya. Ketiga, orientasi khalayak terhadap komunikasi politik. Keempat, aspek-aspek komunikasi yang relevan dengan budaya politik. Pendapat hampir senada dikemukakan Suryadi, menurutnya sistem komunikasi politik terdiri dari elit politik, media massa dan khalayak. Dari kedua pendapat tadi dapat kita temui posisi penting media dalam propaganda politik. Setiap persuasi politik yang mencoba memanipulasi psikologis khalayak sekarang ini, sangat mempertimbangkan peranan media massa.

2.5 Urgensi Media Massa
Untuk memperkuat argumen bahwa media sangat penting dalam proses propaganda politik, baiknya kita memahami dulu karakteristik media massa. Media massa merupakan jenis media yang ditunjukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.
Perkataan dapat menjadi sangat rasional karena seperti dikatakan Alexis S. Tan, komunikator dalam media massa ini merupakan suatu organisasi sosial yang mampu memproduksi pesan dan mengirimkannya secara simultan kepada sejumlah besar masyarakat yang secara spasial terpisah dengan daya jangkau yang relatif luas dan dalam waktu yang serentak, mampu memainkan peran dalam propaganda. Relevan dengan pendapat Cassata dan Asante, seperti dikutip Jalaluddin Rakhmat, bila arus komunikasi massa ini hanya dikendalikan oleh komunikator, situasi dapat menunjang persuasi yang efektif. Sebaliknya bila khalayak dapat mengatur arus informasi, siatusi komunikasi akan mendorong belajar yang efektif.
Dalam konteks era informasi sekarang ini, institusi media massa seperti televisidan surat kabar dipercaya memiliki kemampuan dalam menyelenggarakan produksi, reproduksi dan distribusi pengetahuan secara signifikan. Serangkaian simbol yang memberikan makna tentang realitas ada dan pengalaman dalam kehidupan, bias ditransformasikan media massa dalam lingkungan publik. Sehingga bisa diakses oleh anggota masyarakat secara luas. Tentu saja dalam perkembangnnya, banyak pihak yang terlibat dalam pemanfaatan media massa sebagai instrumen pemenuhan kepentingannya. Sebut saja negara (state), pasar (market), kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan (pressure group) dan lain-lain. Menurut Denis Mc. Quail, terdapat cirri-ciri khusus media massa antara lain:
Pertama memproduksi dan mendistribusikan pengetahuan dalam wujud informasi, pandangan dan budaya. Upaya tersebut merupakan respons terhadap kebutuhan sosial kolektif dan permintaan individu. Dalam konteks propaganda, kerja produksi dan distribusi ini akan efektif untuk wujud informasi, pandangan dan budaya sesuai dengan yang diharapkan propagandis.
Kedua, menyediakan saluran untuk menghubungkan orang tertentu dengan orang lain dari pengirim ke penerima dan dari khalayak kepada anggota khalayak lainnya. Dalam konteks propaganda sangat urgen dalam proses pengidentifikasian diri khalayak sebagai anggota kelompok, entah itu partisan partai, anggota ideologi tertentu atau dalam nasionalisme sebuah negara.
Ketiga, media menyelenggarakan sebagian besar kegiatannya dalam lingkungan publik. Ini dalam konteks propaganda merupakan suatu hal yang strategis, karena tujuan dari persuasinya ini juga adalah manipulasi psikologi khalayak.
Keempat partisipasi anggota khalayak dalam institusi pada hakekatnya bersifat sukarela, tanpa adanya keharusan atau kewajiban sosial. Ini relevan dengan sifat persuasi yang bukan berupa pembicaraan kekuasaan, bukan ancaman yang mengatakan jika anda melakukan (tidak melakukan ) X, maka saya akan melakukan Y. Menurut Dan Nimmo mengutip Harold D. Lasswell, pembicaraan kekuasaan lebih dekat kepada kekerasan dan ancaman ketimbang kepada persuasi. Persuasi juga bukan pembicaraan kewenangan atau autoritas yang memerintahkan “ lakukan X ”. Namun, persuasi merupakan pembicaraan pengaruh yang bercirikan kemungkinan (jika anda melakukan X, maka anda akan melakukan Y), di identifikasi melalui saling memberi dan menerima diantara pihak-pihak yang terlibat, meskipun dalam kenyataannya tidak sesederhana itu.
Kelima, institusi media dikaitkan dengan industri pasar karena ketergantungannya pada imbalan kerja, teknologi dan kebutuhan pembiayaan. Ini merupakan tuntutan yang seringkali mengarahkan media massa untuk lebih menonjolkan aspek komersialnya.
Keenam meskipun media itu sendiri tidak memiliki kekuasaan, namun institusi ini selalu berkaitan dengan kekuasaan negara karena adanya kesinambungan pemakaian media. Dalam konteks propaganda, media massa menjadikan dirinya sebagai medium pesan politik sehingga kenyataannya kekuasaan dan pengaruh secara terus-menerus diproduksi dan di distribusikan oleh media massa.

2.6 Pembentukan Citra Politik
Media massa yang bekerja untuk menyampaikan informasi dapat membentuk, mempertahankan atau mendefinisikan citra. Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi atau sering orang mengatakannya sebagai realitas tangan kedua (secondhand reality). TV maupun surat kabar memilih tokoh atau beritatertentu dengan mengesampingkan tokoh dan berita lainnya. Seringkali khalayakcenderung memperoleh informasi itu semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa. Akhirnya, kita membentuk citra tentang lingkungan social kita berdasarkan realitas kedua yang di tampilkan media massa.
Lee Loevinger dalam Jalaluddin Rakhmat mengemukakan teori komunikasi yang disebut Reflective-Projektive Theory. Teori ini beranggapan bahwa media massa mencerminkan suatu citra yang ambigu, menimbulkan tafsiran yang bermacam-macam sehingga pada media massa setiap orang memproyeksikan atau melihat citranya pada penyajian media massa. Pengaruh media massa terasa lebih kuat lagikarena pada masyarakat modern orang memperoleh banyak informasi tentang dunia dari media massa. Mengenai masalah ini Michael Schudson menyebutkan, news (berita) merupakan bagian dari latar belakang melalui apa masyarakat berpikir. Dia juga menegaskan Institusi berita sebagai aktor sosial ekonomi yang memiliki pengaruh sangat besar. Media merupakan suatu sebab terjadinya pendistribusian informasi dengan memilih konsumen yang visible dan terukur.
Saat media memberi publik suatu item berita, dengan sendirinya mereka memberikan legitimasi publik. Media massa membawa persoalan citra ini ke dalam forum publik, dimana hal ini dapat di diskusikan oleh khalayak secara umum. Citra yang dibangun tentu saja bukan sesuatu yang alami, melainkan hasil penyeleksian media melalui political framing (politik pengemasan).
Propaganda politik melalui media massa sebenarnya merupakan upaya mengemas isu, tujuan, pengaruh, dan kekuasaan politik dengan memanipulasi psikologi khalayak. Begitu urgennya media, sehingga Cater sebagaimana dikutip Bartholomew H Sparrow, menyebutnya sebagai institusi kekuatan keempat dalam suatu pemerintahan atau The Fourth Branch of Government.
Dalam pelaksanaannya, propaganda di media massa juga tidak bisa mengenyampingkan beberapa hal yang dikenal dalam rumusan Pamela Shoemaker dan Stephen D. Reese sebagai model Hierarchy Of Influence. Kalau dideskripsikan mengikuti cara pandang model hierarchy of influence, sekurang-kurangnya ada lima hal yang mempengaruhi berita media termasuk di dalamnya isi propaganda yakni :
1.      Pengaruh individu-individu pekerja media seperti karakteristik pekerja media, latarbelakang personal dan profesional wartawan.
2.      Pengaruh rutinitas media seperti tengat waktu (deadline), keterbatasan tempat (space) dan lain-lain.
3.      Pengaruh organisasional antara lain kepemilikan modal (ownership), orientasi perusahaan, visi dan misi, budaya organisasi dan lain-lain.
4.      Pengaruh dari luar organisasi media seperti dari partai politik atau pemerintah yang melakukan propaganda.
5.      Pengaruh ideologi yang merupakan sebuah pengaruh paling menyeluruh dari semua pengaruh yang ada. Di sini ideologi dimaknai sebagai suatu kekuatan yang mampu membentuk kohesivitas kelompok.
Dengan pengaruh dari kelima faktor tadi, propaganda bisa efektif atau tidak sangat tergantung pada kemampuan untuk memanfaatkan media massa secara efektif. Tentu saja, dalam hal ini harus dibarengi dengan pemahaman propagandis terhadap karakteristik media massa yang dipakai. Tidak semua media efektif menjadi medium propaganda dalam suatu konteks tempat dan kepentingan tertentu.


2.7 Prinsip Propaganda Dalam Media Massa
Tentu saja untuk mengefektifkan propaganda politik di media massa juga sangat perlu memperhatikan beberapa prinsip-prinsip umum yang diturunkan dari riset mengeni pengaruh komunikator dalam keberhasilan usaha persuasive adalah sebagai berikut :
Pertama, status komunikator. Artinya setiap peran membawa status atau prestise tersendiri. Secara umum, semakin tinggi posisi atau status seseorang di tengah masyarakat, makan akan semakin mampu dia melakukan persuasi. Dengan demikian pemilihan propagandis terutama dalam media massa yang diorientasikan mencapai khalayak yang heterogen membutuhkan mereka yang punya status kuat. Misalnya saat pada massa Orde Baru, Soeharto merupakan propagandis konsep developmentalism, sementara era Orde Lama Soekarno menjadi propagandis dari tujuan revolusi.
Kedua, kredibilitas komunikator. Sasaran propaganda mempersepsi para komunikator dengan beberapa cara. Sejauh mereka mempersepsi bahwa propagandis itu memiliki keahlian, dapat dipercaya dan memiliki otoritas, mereka menganggap bahwa komunikator itu kredibel. Memang pada perkembangannya, khalayak media dalam menerima pesan juga membedakan antara apa yang dikatakan dengan kredibiltas sumbernya.
Ketiga, daya tarik komunikator. Hal ini meningkatkan daya tarik persuasif. Hal ini terutama berlaku pada homofili, yakni tingkat kesamaan usia, latarbelakang dan lain-lain seperti dipersepsi orang. Persuasi itu sebagian besar berhasil bila orang mempersepsi komunikator seperti dirinya sendiri secara gamblang.
Karena persuasi dalam hal ini propaganda politik merupakan upaya penyebaran informasi dan pengaruh satu-kepada-banyak maka instrumen teknologi yang dapat menyebarkan pesan kepada angota kelompok merupakan hal yang tepat dilakukan. Salah seorang ahli propaganda Goebbels, dalam memikirkan strategi kampanye persuasifnya membedakan antara haltung dengan Stimmung. Hal tung merupakan upaya mempengaruhi prilaku, sikap dan perbuatan orang. Sementara stimmung merupakan morel mereka, penerimaan dan retensi imbauan persuasif.
Berbagai pesan propagandis berhubungan dengan efektif tidaknya dua hal. Pertama isi pesan, hal ini menyangkut model pilihan isi yang dikemukakan dalam propaganda di media massa. Bisa jadi isi yang mengancam orang (isi membangkitkanrasa takut) akan mempersuasi kalayak dalam kondisi tertentu. Kedua struktur pesan, bisa jadi karena media yang dipakai adalah media massa yang memiliki keterbatasan waktu atau tempat menyebabkan penyusunan struktur pesan yang efektif dan efesien. Namun terlepas dari segala keterbatasan waktu dan tempat, propaganda di media massa bisa dilakukan secara terus-menerus sehingga menjadi suatu terpaan (exposure). Misalnya, propaganda AS melawan terorisme disampaikan lewat media-media global yang berpengaruh secara internasional. Misalnya CNN, NBC, VOA, FOX dan lain-lain. Hal itu juga dilakukan dengan membuat agenda setting di media-media seluruh dunia, mengukuhkan (reinforcement) kalau terorisme itu memang penggeraknya adalah orang-orang Timur Tengah dan penganut Islam.

2.8 Analisa Perspektif Agenda Setting Theory
Berbicara perspektif agenda setting theory sebenarnya merupakan model efek moderat. Ini dikembangkan oleh Maxwell E. Mc.Comb dan Donald L Shaw. Menurut Jalaluddin Rakhmat perspektif ini menghidupkan kembali model jarum hipodermik, tetapi dengan fokus penelitian yang telah bergeser. Dari efek pada sikap dan pendapa tbergeser kepada efek pada kesadaran dan pengetahuan atau dari afektif ke kognitif. Prinsipnya sebenarnya “to tell what to think about” artinya membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Dengan teknik pemilihan dan penonjolan, media memberikan petunjuk tentang mana isue yang lebih penting. Karena itu, model agenda setting mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media kepada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak kepada persoalan itu. Singkatnya apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula oleh masyarakat. Begitu juga sebaliknya apa yang dilupakan media, akan luput juga dari perhatian masyarakat.
Propaganda politik di media massa seperti model yang kita bahas sebelumnya tentunya tidak lepas dari pembicaraan soal efek, karena ini merupakan entry point bahasan agenda setting. Propagandis yang hendak menggunakan media massa sebagai medium penyampaian pesan politik sudah seharusnya memahami masalah efek ini. Efek terdiri dari efek langsung dan efek lanjutan (subsequent effects). Efek langsung ini berkaitan dengan issues, apakah issue itu ada atau tidak ada dalam agenda khalayak (pengenalan), dari semua issues, mana yang dianggap paling penting menurut khalayak (salience), bagaimana issues itu diranking oleh responden dan apakah rangkingnya itu sesuai dengan rangking media. Efek lanjutan berupa persepsi pengetahuan tentang peristiwa tertentu atau tindakan seperti memilih kontestan pemilu atau melakukan aksi protes. Pada kenyataannya menurut perspektif teoriagenda setting, media massa menyaring artikel, berita atau acara yang disiarkannya. Secara selektif, “gatekeepers” seperti penyunting, redaksi bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang pantas diberitakan dan mana yang harus disembunyikan.
Yang menarik dicermati, karena pembicara, pemirsa dan pendengar memperoleh kebanyakan informasi melalui media massa, maka agenda media tentu berkaitan dengan agenda masyarakat (publik agenda). Agenda masyarakat diketahui dengan menanyakan kepada anggota masyarakat apa yang mereka pikirkan dan bicarakan dengan orang lain, atau apa yang mereka anggap sebagai masalah yangtengah menarik perhatian masyarakat (community salience). Masyarakat tentunya memiliki hak untuk tahu (right to know) yang akhirnya menjadikan suatu issue atau peristiwa menjadi public sought (permintaan publik) akan informasi tentang isu atau peristiwa tersebut. Media dengan kepentingan teknis, idealisme dan pragmatismenya memilih, mengemas dan akhirnya mendistribusiakan kepada khalayak kalau sesuatu itu penting.
Relevan dalam konteks ini, media melakukan pengemasan (framing). Membuat frame berarti menyeleksi beberapa aspek dari pemahaman atas realitas dan membuatnya lebih menonjol. Esensinya adalah saat proses dilakukannya dengan berbagai cara antaralain, penempatan (kontekstualisasi), pengulangan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplikasi dan lain - lain. Framing merupakan cara bercerita yang menghadirkan konstruksi makna atas peristiwa - peristiwa yang berkaitan dengan obyek suatu wacana.
Sebuah upaya persuasif dalam kemasan propaganda politik di media massa dari perspektif agenda setting tentunya harus memperhatikan bebepara hal pokok. Pertama, struktur makro, artinya makna umum dari suatu tampilan propaganda di media yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan. Kedua, super struktur, yang merupakan struktur propaganda yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian - bagian teks atau acara yang dibuat dan diarahkan kepada khalayak tersusun secara utuh.
Pertama, struktur mikro ini merupakan propaganda yang dapat diamati melalui bagian kecil dari suatu teks atau acara di media massa. Kalau dalam wujud teks misalnya kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, atau gambar, dan angel pengambilan photo suatu kejadian. Hal-hal yang diamati dalam struktur mikro misalnya meliputi semantik yaitu bagaimana bentuk susunan kalimat yang dipilih. Stilistik, yaitu bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita, danretoris yaitu bagaimana dan dengan cara apa penekanan itu dilakukan. Propaganda dalam media massa tentu saja berbeda dengan propaganda yang dilakukan lewat model rapat akbar partai dan ceramah di lapangan. Propaganda di media sangat dibatasi dengan waktu atau space yang disediakan. Oleh karena itu kemampuan pengemasan menjadi hal yang sangat pokok.
Dari perspektif agenda setting, media massa memang tidak dapat mempengaruhi orang untuk mengubah sikap, tetapi media massa cukup berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan orang.Ini berarti media massa mempengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang anggap penting. Bila AS secara terus menerus memberilabel Irak, Saddam Husein, Osama bin Laden sebagai biang teroris maka lambat laun khalayak internasional bisa mempengaruhi konstruk berpikir khalayak internasional mengenai teroris. Begitu juga saat pemerintah Megawati selalu mempersuasi Bangsa Indonesia kalau Abu Bakar Baasyir dan Jamah Islamiyah sebagaiorang dan kelompok membahayakan, maka kemungkinan besar hal ini berpengaruh pada carab erpikir masyarakat. Sama berpengaruhnya saat media selalu menampilkan tokoh tertentu, maka orang tersebut cenderung akan dianggap tokoh penting.
Seperti dikemukakan di atas, bahwa agenda setting ini merupakan upaya memperbaharui kembali penelitian tentang efek perkasa media yang sebelumnya dibangun model jarum hipodermik yang sering juga disebut “bullet theory”. Dalam konteks propaganda di media massa dengan model ini di asumsikan kalau komponen - komponen komunikator, pesan dan media amat perkasa dalam mempengaruhi komunikan.Pesan propaganda disuntikan langsung ke dalam jiwa komunikan yang dianggap pasif menerima brondongan pesan-pesan. Pada umumnya propaganda kalau menggunakan model ini bersifat linier dan satu arah.
Sementara kalau menggunakan model Uses and Gratification justru kontras dengan jarum hipodermik. Model ini tertarik pada apa yang dilakukan orang terhadap media. Anggota khalayak diangap secara aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan. Karena penggunaan media hanyalah salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan psikologis, efek media dianggap sebagai situasi ketika kebutuhan itu terpenuhi. Pendirinya antara lain Katz, Blumler dan Gurevitch. Dari perspektif teori ini berarti propaganda lewat media hanya menjadi salah satu alternatif bagi khalayak dalam memenuhi kebutuhannya. Kalau khalayak media tersebut tidak membutuhkannya maka dengan sendirinya propaganda yang dilakukan tidak akan efektif.
Agenda setting lahir secara lebih moderat, model ini mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media pada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak kepada persoalan tersebut. Singkatnya apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula masyarakat dan apa yang dilupakan media akan dilupakan juga oleh publik. Dengan demikian propaganda melalui media massa akan efektif, kalau ada upaya mengemas pesan propaganda dalam prioritas isi pesan media. Isi pesan inilah yang menjadi tawaran dalam mempengaruhi cara berpikir kalayak. Menganalisa propaganda melalui media massa dari perspektif agenda setting, memunculkan beberapa kritik yang perlu dikemukakan.
Pertama, membagi tipologi propaganda menjadi propaganda politik dan propaganda sosiologi terlalu menyederhanakan masalah terutama dalam tipologi waktunya. Dalam tipologi Ellul (1951) tersebut, propaganda politik melibatkan usaha-usaha pemerintah, partai atau golongan berpengaruh untuk mencapai tujuan strategis dan taktis. Ia beroperasi melalui himbauan-himbauan khas berjangka pendek. Padahal dalam perspektif agenda setting yang dipengaruhi oleh media massa itu adalah pengetahuan khalayak. Sesuatu dianggap penting oleh khalayak kalau secara terus menerus ditampilkan dalam media massa. Ini artinya memerlukan suatu framing waktu dan framing isu dalam suatu kurun waktu tertentu, sehingga mempengaruhi konstruksi berpikir masyarakat terhadap isu tersebut.
Kedua, salah satu karaketristik propaganda seperti disebutkan Dan Nimmo terdiri atas hubungan timbal balik antar orang-orang bukan satu mendikte yang lain-dan semuanya menghasilkan berbagai tingkat perubahan dalam persepsi, kepercayan, nilai dan pengharapan pribadi. Peruasi disebutkan sebagai proses yang dialektis, baik persuader maupun yang dipersuasi sama-sama responsif. Hanya masalahnya, bagaimana dalam konteks media massa yang memiliki karakter delayed feedback. Seringkali proses dialektis tidak bisa terwujud secara baik dalam propaganda politik di media massa. Pesan politik baik permintaan dukungan, isu atau kejadian politik yang dikemas menjadi prioritas media, memanipulasi aspek psikologis massa. Secara real dalam masyarakat yang daya kritisismenya rendah seperti di banyak kasus negara-negara berkembang, propaganda tidak banyak memberi ruang untuk dialektis.
Ketiga, kita juga perlu mengkritisi perspektif agenda setting dalam menganalisa propaganda politik di media massa. Agenda setting memandang media massa melakukan ”to tell what to think about” artinya membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Dalam konteks ini, perlu dipertanyakan, apakah penilaian khalayak tentang suatu isu atau pesan propaganda yang dianggap penting itu karena penonjolan yang dilakukan oleh media atau karena faktor-faktor lain. Karena dalam realitasnya, seringkali carapandang seseorang mengenai pemahaman terhadap pesan politik, sebelumnya sudah terbentuk melalui pengaruh interpersonal, melalui interaksi di organisasi, dalam norma kelompok atau melalui pemuka pendapat melalui jalinan komunikasi two-step flow-communication.



BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat kita simpulkan beberapa hal penting yang dapat menjadi bahan pembelajaran. Propaganda merupakan salah satu pendekatan dalam persuasi politik, selain retorika dan periklanan. Secara sederhana propaganda di definisikan sebagai komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu, dipersatukan secara psikologis melalui manipulasi psikologis dan digabungkan di dalam suatu organisasi.
Karena kaitannya dengan karakteristik propaganda sebagai transmisi pesan satu -  kepada - banyak, maka media massa menjadi medium pesan yang sangat efektif untuk digunakan. Melalui upaya manipulasi psikologis, propaganda berupaya menyatukan khalayak ke dalam suatu organisasi atau tujuan propagandis. Hanya saja, dalam perspektif teori agenda setting, media massa dalam mengemas propaganda politik dipandang tidak seperkasa bullet theory yang memandang khalayak sangat pasif. Namun demikian, media dipandang berperan dalam menonjolkan pesan propaganda tertentu, untuk menjadi hal yang penting atau dianggap penting oleh khalayak.

3.2 Saran
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain. Pada umumnya, komunikasi dilakukan secara lisan atau verbal yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut komunikasi nonverbal.
Dalam makalah ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa betapa pentingnya berkomunikasi dengan baik, agar orang yang mendengarkan kita berkomunikasi dapat menerima pesan yang kita sampaikan, dan dapt berpartisipasi dalam pesan yang disampaikan.