KKL PPKn FKIP-Unila

Rombongan KKL angkatan 2011 PPKn FKIP-Unila

Tim Footsal Civic Education angkatan 2011 FKIP-Unila

Foto saat pembagian hadiah, juara kedua Liga PKn Internal FKIP-Unila

Tim Footsal Civic Education angkatan 2011 FKIP-Unila

Foto bersama saat sebelum latihan di Lampung Footsal, Lampung-Indonesia

Candi Borobudur

Aan riesaan saat berkunjung di Candi Borobudur pada KKL angkatan 2011 PPKn FKIP-Unila

Kamis, 26 September 2013

ETNOGRAFI KINI UPACARA TINGKEBAN






ETNOGRAFI KINI UPACARA TINGKEBAN TUJUH BULANAN (MITONI)
SUKU JAWA DI DESA TIRTA KENCANA RK 03 RT 16 KAB.
TULANG BAWANG TENGAH KEC.
TULANG BAWANG BARAT
 



ABSTRAK

Tradisi atau adat adalah perkataan atau perbuatan yang telah biasa dilaksanakan masyarakat secara terus-menerus. Tradisi tingkeban merupakan upacara yang diselenggarakan apabila usia kehamilan sudah berusia tujuh bulan. Hal itu biasanya dilakukan pada kehamilan yang pertama, sedangkan pada kehamilan yang kedua dan selanjutnya hanya berupa selamatan biasa. Tradisi semacam ini masih ditemukan dan dijumpai di Desa Tirta Kencana Kec. Tulang Bawang Tengah Kab. Tulang Bawang Barat. Ada dua permasalahan yang menjadi kajian pokok dalam penelitian ini, pertama, tentang rangkaian tata-cara (proses) pelaksaan tradisi tingkeban di Desa Tirta Kencana Kec. Tulang Bawang Tengah Kab. Tulang Bawang Barat. Kedua, prosesi upacara Tingkeban yang dilaksanakan di Desa Tirta Kencana Kec. Tulang Bawang Tengah Kab. Tulang Bawang Barat. Etnografi kini ini mengulas tentang upacara tingkeban tujuh bulanan (mintoni) di Desa Tirta Kencana Kec. Tulang Bawang Tengah Kab. Tulang Bawang Barat, dengan mengambil informasi dari seorang narasumber dan beberapa tokoh adat Desa Tirta Kencana Kec. Tulang Bawang Tengah Kab. Tulang Bawang Barat.

Kata kunci : tradisi, tingkeban, perspektif hukum islam















BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Suatu kepercayaan tradisional dari pemikiran ada sisi baik dan tidaknya (pengaruh kepercayaan tradisional), namun permasalahan yang cukup besar pengaruhnya pada seorang Ibu pada masa kehamilan adalah masalah gizi. Kegiatan ibu hamil sehari-hari tidak berkurang ditambah lagi dengan pantangan terhadap beberapa makanan yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh wanita hamil. Apabila kurangnya asupan energi dari makanan, tentunya akan berdampak negatif terhadap kesehatan ibu dan janin. Karena adanya kepercayaan dan pantangan terhadap beberapa makanan, sehingga anemia dan kurang gizi pada wanita hamil cukup tinggi terutama didaerah pedesaan yang masih minim pengetahuan mengenai kehamilan, melahirkan dan menyusui.

Salah satunya suku jawa yang berada di Desa Tirta Kencana RK 03 RT 16 Kec. Tulang Bawang Tengah Kab. Tulang Bawang Barat. Ada dua acara adat yang dilakukan salah satunya adalah acara tujuh bulanan yang disebut dengan mitoni, rangkaian upacara mitoni pada dasarnya melambangkan harapan baik bagi sang bayi untuk utuh dan sempurna fisiknya dan selamat serta lancar kelahirannya dan salah satu ritual mitoni yang harus dijalankan oleh ibu hamil tersebut adalah tingkeban.

B.   Identifikasi Masalah
Berdasarkan fakta yang terjadi pada masyarakat suku Jawa di Desa Tirta Kencana, dapat dikatakan bahwa ada beberapa nilai kepercayaaan masyarakat atau cara pandang ibu hamil suku Jawa terhadap kehamilan. Dalam hal ini pengetahuan tentang aspek budaya merupakan hal penting untuk diketahui oleh masyarakat. Sebab, tidak semua perawatan yang dilakukan dengan berpedoman pada warisan leluhur tersebut bisa diterima sepenuhnya, bisa saja perawatan yang dilakukan tersebut memberikan dampak kesehatan yang kurang menguntungkan bagi ibu dan bayinya.

C.   Rumusan Masalah
1.    Apa saja tata cara pelaksanaan upacara Tingkeban di Desa Tirta Kencana ?
2.    Apa saja prosesi upacara Tingkeban yang dilaksanakan ?

D.   Tujuan Penulisan
1.    Mengetahui tata-cara pelaksanaan upacara Tingkeban di Desa Tirta Kencana.
2.    Mengetahui  prosesi upacara Tingkeban yang dilaksanakan.

E.   Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan dari Etnografi kini ini diharapkan dapat menambah wawasan serta ilmu pengetahuan kepada pembaca mengenai upacara kebudayaan tujuh bulanan (mitoni) yang berkembang dalam masyarakat Jawa di Desa Tirta Kencana Kec. Tulang Bawang Tengah Kab. Tulang Bawang Barat.














BAB II
PEMBAHASAN

Pada bulan Ketujuh diadakan upacara tingkeban atau mitoni. Upacara tingkeban disebut juga mitoni berasal dari kata pitu yang artinya tujuh, sehingga upacara mitoni dilakukan pada saat usia kehamilan tujuh bulan, dan pada kehamilan pertama.

A.   Tata Cara Pelaksanaan Upacara Tingkeban
Tata cara pelaksanaan Tingkeban dimulai dari siraman dilakukan oleh sesepuh sebanyak tujuh orang. Bermakna mohon doa restu, supaya suci lahir dan batin. Setelah upacara siraman selesai, air kendi tujuh mata air dipergunakan untuk mencuci muka, setelah air dalam kendi habis, kendi dipecah. Memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain (sarung) calon ibu oleh suami melalui perut sampai pecah, hal ini merupakan simbul harapan supaya bayi lahir dengan lancar, tanpa suatu halangan. Berganti Nyamping sebanyak tujuh kali secara bergantian, disertai kain putih. Kain putih sebagai dasar pakaian pertama, yang melambangkan bahwa bayi yang akan dilahirkan adalah suci, dan mendapatkan berkah dari Tuhan YME. Diiringi dengan pertanyaan sudah "pantas apa belum", sampai ganti enam kali dijawab oleh ibu-ibu yang hadir "belum pantas." Sampai yang terakhir ke tujuh kali dengan kain sederhana di jawab "pantes." Adapun nyamping yang dipakaikan secara urut dan bergantian berjumlah tujuh dan diakhiri dengan motif yang paling sederhana sebagai berikut : – Sidoluhur – Sidomukti – Truntum – Wahyu Tumurun – Udan Riris – Sido Asih – Lasem sebagai Kain – Dringin sebagai Kemben.

Selanjutnya Pemutusan Lawe atau janur kuning yang dilingkarkan diperut calon ibu, dilakukan calon ayah menggunakan keris Brojol yang ujungnya diberi rempah kunir, dengan maksud agar bayi dalam kandungan akan lahir dengan mudah. Calon nenek dari pihak calon ibu, menggendong kelapa gading dengan ditemani oleh ibu besan. Sebelumnya kelapa gading diteroboskan dari atas ke dalam kain yang dipakai calon ibu lewat perut, terus ke bawah, diterima (ditampani) oleh calon nenek, maknanya agar bayi dapat lahir dengan mudah, tanpa kesulitan. Calon ayah memecah kelapa, dengan memilih salah satu kelapa gading yang sudah digambari Kamajaya dan Kamaratih atau Harjuna dan Wara Sembodro atau Srikandi.

Kemudian, Upacara memilih nasi kuning yang diletak didalam takir sang suami. Setelah itu dilanjutkan dengan upacara jual dawet dan rujak, pembayaran dengan pecahan genting (kreweng), yang dibentuk bulat, seolah-olah seperti uang logam. Hasil penjualan dikumpulkan dalam kuali yang terbuat dari tanah liat. Kwali yang berisi uang kreweng dipecah di depan pintu. Maknanya agar anak yang dilahirkan banyak mendapat rejeki, dapat menghidupi keluarganya dan banyak amal.
·    
B.   Prosesi Upacara Tingkeban
1.    Waktu Pelaksanaan
Antara pukul 9.00 sampai dengan pukul 11.00 Calon ibu mandi dan cuci rambut yang bersih, mencerminkan kemauan yang suci dan bersih. Kira-kira pukul 15.00-16.00, upacara tingkepan dapat dimulai, menurut kepercayaan pada jam-jam itulah bidadari turun mandi. undangan sebaiknya dicantumkan lebih awal pukul 14.30 WIB.
2.    Hari Pelaksanaan
Biasanya dipilih hari Rabu atau hari Sabtu, tanggal 14 dan 15 tanggal jawa, menurut kepercayaan agar bayi yang dilahirkan memiliki cahaya yang bersinar, dan menjadi anak yang cerdas.
3.    Pelaksana yang menyirami/memandikan
Para Ibu yang jumlahnya tujuh orang, yang terdiri dari sesepuh terdekat. Upacara dipimpin oleh ibu yang sudah berpengalaman.

4.    Perlengkapan yang diperlukan :
Satu meja yang ditutup dengan kain putih bersih, Di atasnya ditutup lagi dengan bangun tolak, kain sindur, kain lurik, Yuyu sekandang, mayang mekak atau letrek, daun dadap srep, daun kluwih, daun alang-alang. Bahan bahan tersebut untuk lambaran waktu siraman. Perlengkapan lainnya:
1.    Bokor diisi air tujuh mata air, dan kembang setaman untuk siraman.
2.    Batok (tempurung) sebagai gayung siraman (Ciduk)
3.    Kendi dipergunakan untuk memandikan paling akhir.
4.    Dua anduk kecil untuk menyeka dan mengeringkan badan setelah siraman
5.    Dua setengah meter kain mori dipergunakan setelah selesai siraman.
6.    Sebutir telur ayam kampung dibungkus plastik
7.    Dua cengkir gading yang digambari Kamajaya dan Kamaratih atau Arjuna dan Dewi Wara Sembodro.
8.    Baju dalam dan nampan untuk tempat kebaya dan tujuh nyamping, dan stagen diatur rapi.
9.    Perlengkapan Kejawen kakung dengan satu pasang kain truntum. Calon ayah dan ibu berpakain komplet kejawen, calon ibu dengan rambut terurai dan tanpa perhiasan.
5.    Selamatan/ Genduri
Inilah proses dalam perkembangan budaya Tingkeban yang berlangsung di Desa Tirta Kencana RK 03 RT 16 Kec. Tulang Bawang Tengah Kab. Tulang Bawang Barat. Setelah semua prosesi dilaksanakan, maka pada tahap terahir dilakukan syukuran yang mengundang kerabat, tetangga dan tokoh agama untuk melaksanakan selamatan atau biasa disebut genduri (yasinan). Hal ini dilaksananakan pada malam hari ba’da isya yang di ahiri do’a untuk keselamatan calon bayi serta keluarga, dan akan menjadi penutup serangkaian acara Tingkeban yang dilaksanakan.




BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Suku Jawa termasuk suku terbesar jumlahnya di Indonesia. Salah satunya di Desa Tirta Kencana ini mengenal upacara Tingkeban tujuh bulanan (mitoni) yang sudah lama dilakukan secara turun temurun. Masyarakat juga mengenal mitos-mitos mengenai seorang Ibu pada masa kehamilan. Pada perkembangannya, upacara tujuh bulanan ini semakin lama semakin berjalan dengan baik hal ini dikarenakan kemajuan zaman dan teknologi, khususnya dibidang kesehatan. Upacara tujuh bulanan yang memiliki makna dan budaya yang sangat berharga ini bertambah dengan adanya acara penutup yaitu syukuran/genduri (yasinan).

B.   Saran
Kita harus dapat menjaga budaya-budaya yang telah lama berkembang dalam masyarakat. Budaya yang berkembang dalam masyarakat sangat bermanfaat. Maka dari itu perlu bagi kita untuk melestarikan budaya-budaya yang ada dalam masyarakat khususya di Desa Tirta Kencana Kec. Tulang Bawang Tengah Kab. Tulang Bawang Barat dan memberikan dampak positif bagi masyarakat. Perbedaan budaya-budaya dalam masyarakat janganlah dijadikan sekat pemisah antar sesama manusia.

Sebagai mahasiswa yang nantinya akan langsung terjun kedalam ligkup masyarakat hendaknya kita memperhatikan adat istiadat dan budaya yang berkembang disekitar kita. Hal ini bermanfaat bagi kita untuk membantu melestarikan budaya pada masyarakat, khususnya budaya upacara Tingkeban tujuh bulanan (mitoni) suku Jawa.