Rabu, 25 September 2013

ETNOGRAFI UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN SUKU JAWA/ JOWO








BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan memiliki berbagai macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita sebut kebudayaan. Keanekaragaman budaya yang terdapat di Indonesia merupakan suatu bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya.

Suku bangsa merupakan faktor utama berdirinya kebudayaan yang lebih global, yang biasa kita sebut dengan kebudayaan nasional. Maka atas dasar itulah segala bentuk kebudayaan daerah akan sangat berpengaruh terhadap budaya nasional, begitu pula sebaliknya kebudayaan nasional yang bersumber dari kebudayaan daerah, akan sangat berpebgaruh pula terhadap kebudayaan daerah/ kebudayaan lokal.

B.   Identifikasi Masalah
Kebudayaan merupakan suatu kekayaan yang sangat benilai karena selain merupakan ciri khas dari suatu daerah juga mejadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah. Karena kebudayaan merupakan kekayaan serta ciri khas suatu daerah, maka menjaga, memelihara dan melestarikan budaya merupakan kewajiban dari setiap individu, dengan kata lain kebudayaan merupakan kekayaan yang harus dijaga dan dilestarikan oleh setiap suku bangsa. Suku Jawa (Jawa ngoko: wong Jowo, krama: tiyang Jawi) merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa.

C.   Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut dan identifikasi masalah, agar dalam penulisan ini dapat memperoleh hasil yang diinginkan, maka saya mengemukakan beberapa rumusan masalah tentang suku Jawa. Rumusan masalah tersebut adalah:
1.    Nama dan bahasa suku Jawa?
  1. Lokasi keberadaan suku Jawa?
  2. Demografi suku Jawa?
  3. Mata Pencaharian suku Jawa?
  4. Organi sosial suku Jawa?
  5. Religi dalam suku Jawa?
  6. Kesenian pada suku Jawa?
  7. Sistem pengetahuan suku Jawa?
  8. Peralatan hidup suku Jawa?
  9. Perubahan/ Pemikiran individu?





















BAB II
PEMBAHASAN

A.   Nama dan Bahasa Suku Jawa
Secara Etimologi asal mula nama “Jawa” tidak jelas. Salah satu kemungkinan adalah nama pulau ini berasal dari tanaman jáwa-wut, yang banyak ditemukan dipulau ini pada masa purbakala, sebelum masuknya pengaruh India pulau ini mungkin memiliki banyak nama. Ada pula dugaan bahwa pulau ini berasal dari kata jaú yang berarti "jauh". Dalam Bahasa Sanskerta yava berarti tanaman jelai, sebuah tanaman yang membuat pulau ini terkenal. Yawadvipa disebut dalam epik India Ramayana. Sugriwa, panglima wanara (manusia kera) dari pasukan Sri Rama, mengirimkan utusannya ke Yawadvipa (pulau Jawa) untuk mencari Dewi Shinta. Kemudian berdasarkan kesusastraan India terutama pustaka Tamil, disebut dengan nama Sanskerta yāvaka dvīpa (dvīpa = pulau). Dugaan lain ialah bahwa kata "Jawa" berasal dari akar kata dalam bahasa Proto-Austronesia, yang berarti 'rumah'.

Menurut hikayat, asal muasal suku Jawa diawali dari datangnya seorang satria pinandita yang bernama Aji Saka. Ia adalah orang yang menulis sebuah sajak, dimana sajak itu yang kini disebut sebagai abjad huruf Jawa hingga saat ini. Maka dari itu, asal mula sajak inilah yang digunakan sebagai penanggalan kalender Saka. Definisi suku Jawa adalah penduduk asli pulau Jawa bagian tengah dan timur, kecuali pulau Madura. Selain itu, mereka yang menggunakan bahasa Jawa dalam kesehariannya untuk berkomunikasi juga termasuk dalam suku Jawa, meskipun tidak secara langsung berasal dari pulau Jawa. Demikian adalah definisi Magnis-Suseno mengenai suku bangsa Jawa. Asal usul suku Jawa juga berkaitan dengan bahasa yang digunakan, yakni bahasa Jawa. Secara resmi, ada dua jenis bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat suku Jawa. Dua jenis bahasa ini tersedia sebagai berikut:

1.    Bahasa Lisan Suku Jawa
Suku Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat.

Mayoritas orang Jawa menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Sebagian lainnya menggunakan bahasa Jawa yang bercampur bahasa Indonesia. Bahasa Jawa bisa dikatakan bahasa yang rumit karena selain memiliki tingkatan berdasarkan siapa yang diajak bicara, bahasa Jawa juga memiliki perbedaan dalam hal intonasi. Aspek bahasa ini mempengaruhi hubungan sosial dalam budaya Jawa. Bahasa Jawa sendiri memiliki berbagai macam variasi dialek atau pengucapan. Pada dasarnya, dialek tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
  1. Bahasa Jawa dialek Cirebon, dialek Tegal, dialek Banyumas dan dialek Bumiayu (dialek barat).
  2. Bahasa Jawa dialek Pekalongan, dialek Semarang, dialek Yogyakarta dan dialek Madiun (dialek madya/tengah).
  3. Bahasa Jawa dialek Surabaya, dialek Malang, dialek Jombang, dialek Banyuwangi (dialek timur).

Dalam bahasa Jawa, pada dasarnya terdiri dari 3 kasta bahasa, yaitu:
ü  Ngoko (kasar)
ü  Madya (biasa)
ü  Krama (halus)

Dalam bahasa Jawa penggunaan tingkatan bahasa tersebut, tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan varian ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan krama andhap dan krama inggil. Sistem semacam ini masih dipakai di Surakarta, Yogyakarta, dan Madiun. Dialek lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa semacam ini.

Terdapat juga bentuk bagongan dan kedhaton, yang hanya dipakai sebagai bahasa pengantar di lingkungan keraton. Dengan demikian, dikenal bentuk-bentuk ngoko lugu, ngoko andhap, madhya, madhyantara, krama, krama inggil, bagongan dan kedhaton. contoh kalimat:
  • Bahasa Indonesia, "maaf, saya mau tanya rumah Budi itu, di mana?"
  • Ngoko kasar, “eh, aku arep takon, omahé Budi kuwi, nèng*ndi?’
  • Ngoko alus, “aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng endi?”
  • Ngoko meninggikan diri sendiri, “aku kersa ndangu, omahé mas Budi kuwi, nèng ndi?” (ini dianggap salah oleh sebagian besar penutur bahasa Jawa karena menggunakan leksikon krama inggil untuk diri sendiri)
  • Madya, “nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Budi niku, teng pundi?” (ini krama desa (substandar)).
  • Madya alus, “nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Budi niku, teng pundi?” (ini juga termasuk krama desa (krama substandar)).
  • Krama andhap, “nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?” (dalem itu sebenarnya pronomina persona kedua, kagungan dalem 'kepunyaanmu'. Jadi ini termasuk tuturan krama yang salah alias krama desa).
  • Krama lugu, “nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi punika, wonten pundi?”.
  • Krama alus, “nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”.
2.    Bahasa Tulisan Suku Jawa
Aksara Jawa merupakan salah satu peninggalan budaya yang tak ternilai harganya. Bentuk aksara dan seni pembuatannya menjadi suatu peninggalan yang patut untuk dilestarikan. Aksara jawa disebut juga dengan nama aksara Legenda. Aksara Legena merupakan aksara Jawa pokok yang jumlahnya 20 buah.

Setiap suku kata aksara Jawa mempunyai pasangan, yakni kata yang berfungsi untuk mengikuti suku kata mati atau tertutup, dengan suku kata berikutnya, kecuali suku kata yang tertutup oleh wignyan, cecak dan layar. Tulisan Jawa bersifat Silabik atau merupakan suku kata. Sebagai tambahan, didalam aksara Jawa juga dikenal huruf kapital yang dinamakan Aksara Murda. Penggunaannya untuk menulis nama gelar, nama diri, nama geografi, dan nama lembaga. Hanacaraka atau dikena­l dengan nama carakan atau cacarakan adalah aksara turunan aksara Brahmi yang digunakan untuk naskah-naskah berbahasa Jawa, bahasa Madura, bahasa Sunda, bahasa Bali, dan bahasa Sasak.

Hanacaraka  dikenal sebagai (tulisan Jawa atau abjad Jawa) ialah suatu sistem tulisan abjad suku kata yang digunakan oleh orang Jawa untuk menulis dalam bahasa Jawa. Ia juga digunakan di Bali, Sunda, dan Madura. Bahkan ditemukan pula surat-surat dalam bahasa Melayu yang menggunakan tulisan Hanacaraka. Tulisan ini berasal daripada tulisan kawi yang mempunyai asal-usul dari tulisan Brahmi di India. Hanacaraka dinamakan sedemikian kerana lima huruf pertamanya membentuk sebutan "ha-na-ca-ra-ka". Hanacaraka juga boleh merujuk kepada kelompok sistem tulisan yang berkait rapat dengan tulisan Jawa dan menggunakan susunan abjad yang sama, iaitu tulisan Jawa sendiri, tulisan Bali dan tulisan Sunda.

Aksara Jawa Hanacaraka memiliki 20 huruf dasar, 20 huruf pasangan yang berfungsi menutup bunyi vokal, 8 huruf "utama" (aksara murda, ada yang tidak berpasangan), 8 pasangan huruf utama, lima aksara swara (huruf vokal depan), lima aksara rekan dan lima pasangannya, beberapa sandhangan sebagai pengatur vokal, beberapa huruf khusus, beberapa tanda baca, dan beberapa tanda pengatur tata penulisan (pada).

 

v  Contoh
Tulisan Jawa pada sebuah tanda di Tamansari, Yogyakarta

Sebuah manuskrip purba dalam tulisan Jawa

3.    Penyebaran Bahasa Jawa
Penduduk Jawa yang merantau, membuat bahasa Jawa bisa ditemukan diberbagai daerah bahkan diluar negeri. Banyaknya orang Jawa yang merantau ke Malaysia turut membawa bahasa dan kebudayaan Jawa ke Malaysia, sehingga terdapat kawasan pemukiman mereka yang dikenal dengan nama kampung Jawa, padang Jawa. Disamping itu, masyarakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kawasan-kawasan luar Jawa yang didominasi etnis Jawa atau dalam persentase yang cukup signifikan adalah: Lampung (61,9%), Sumatera Utara (32,6%), Jambi (27,6%), Sumatera Selatan (27%), Aceh(15,87%) yang dikenal sebagai Aneuk Jawoe. Khusus masyarakat Jawa di Sumatera Utara, mereka merupakan keturunan para kuli kontrak yang dipekerjakan di berbagai wilayah perkebunan tembakau, khususnya di wilayah Deli sehingga kerap disebut sebagai Jawa Deli atau Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera), dengan dialek dan beberapa kosa kata Jawa Deli. Sedangkan masyarakat Jawa didaerah lain disebarkan melalui program transmigrasi yang diselenggarakan semenjak zaman penjajahan Belanda.

B.   Lokasi suku Jawa
Suku Jawa merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa. Selain diketiga propinsi tersebut, suku Jawa banyak tersebar dan menetap di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara. Di Jawa Barat mereka banyak ditemukan di Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti suku Osing, orang Samin, suku Bawean/Boyan, Naga, Nagaring, suku Tengger dan lain-lain. Suku Jawa hampir ada disegala penjuru Indonesia, mulai dari daerah provinsi Sumatra Utara hingga ke wilayah paling timur Indonesia, yaitu provinsi Papua.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, sekolompok orang Jawa pernah dibawa ke Suriname di Amerika Selatan, sebagai buruh pekerja paksa, yang akhirnya tetap menetap di negara tersebut hingga saat ini, dan membentuk suatu komunitas tersendiri di Suriname sebagai etnis Jawa, yang tetap mempertahankan adat-istiadat serta budaya Jawa, disana dikenal sebagai Jawa Suriname.
C.   Demografi Suku Jawa
Secara keseluruhan 112.456.000 jiwa penduduk suku Jawa tersebar diberbagai penjuru nusantara, bahkan sampai keluar negeri. Berikut data penduduk suku Jawa pada  November 2012.
95.217.022
Jiwa
       Jawa Tengah
31.560.859
Jiwa
       Jawa Timur
30.019.156
Jiwa
       Jawa Barat
5.710.652
Jiwa
       Lampung
4.856.924
Jiwa
       Sumatera Utara
4.319.719
Jiwa
       Jakarta
3.453.453
Jiwa
       Yogyakarta
3.331.355
Jiwa
       Sumatera Selatan
2.037.715
Jiwa
       Banten
1.657.470
Jiwa
       Riau
1.608.268
Jiwa
       Kalimantan Timur
1.069.826
Jiwa
       Jambi
893.156
Jiwa
       Kalimantan Selatan
524.357
Jiwa
       Kalimantan Tengah
478.434
Jiwa
       Kalimantan Barat
427.333
Jiwa
       Kepulauan Riau
417.438
Jiwa
       Aceh
400.023
Jiwa
       Bengkulu
387.281
Jiwa
       Bali
372.514
Jiwa
       Papua
233.145
Jiwa
       Sulawesi Selatan
229.074
Jiwa
       Sulawesi Tengah
221.001
Jiwa
       Sumatera Barat
217.096
Jiwa
       Sulawesi Tenggara
159.170
Jiwa
       Papua Barat
111.274
Jiwa
       Bangka Belitung
101.655
Jiwa


1 - 2.000.000

Jiwa
75.000
Jiwa
5.000
Jiwa
400
Jiwa

D.   Mata Pencaharian Suku Jawa
Pada umumnya masyarakat bekerja pada segala bidang, terutama administrasi negara dan kemiliteran yang memang didominasi oleh orang Jawa. Selain itu, mereka bekerja pada sektor pelayanan umum, pertukangan, perdagangan dan pertanian dan perkebunan. Sektor pertanian dan perkebunan, mungkin salah satu yang paling menonjol dibandingkan mata pencaharian lain, karena seperti yang kita tahu, baik Jawa Tengah dan Jawa Timur banyak lahan-lahan pertanian yang beberapa cukup dikenal, karena memegang peranan besar dalam memasok kebutuhan nasional, seperti padi, tebu, dan kapas.

1.    Pertanian
Yang dimaksud pertanian disini terdiri atas pesawahan dan perladangan (tegalan), tanaman utama adalah padi. Tanaman lainnya jagung, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau dan sayur mayor, yang umumnya ditanam di tegalan. Sawah juga ditanami tanaman perdagangan, seperti tembakau, tebu dan rosella.
2.    Perikanan
Adapun usaha yang dilakukan cukup banyak baik perikanan darat dan perikanan laut. Perikanan laut diusahakan di pantai utara laut jawa. Peralatannya berupa kail, perahu, jala dan jarring
3.    Peternakan
Binatang ternak berupa kerbau, sapi, kambing, ayam dan itik dan lain-lain.
4.    Kerajinan
Kerajinan sangat maju terutama menghasilkan batik, ukir-ukiran, peralatan rumah tangga, dan peralatan pertanian.

Dalam suku Jawa atau masyaraakat Jawa biasanya bermata pencaharian bertani, baik bertani disawah maupun tegalan, juga Beternak pada umumnya bersipat sambilan, selain itu juga masyarakat Jawa bermata pencaharian Nelayan yang biasanya dilakukan masyarakat pantai.


E.   Organisasi Sosial Suku Jawa
1.    Sistem Kekerabatan
Dalam sistem kekerabatan Jawa keturunan dari Ibu dan Ayah dianggap sama haknya, dan warisan anak perempuan sama dengan warisan laki-laki, tetapi berbeda dengan banyak suku bangsa yang lain, yang ada Indonesia. Misalnya, dengan suku-suku Batak di Sumatra Utara, masyarakat jawa tidak mengenal sistem marga. Susunan kekerabatan suku jawa berdasarkan pada keturunan kepada kedua belah pihak yang di sebut Bilateral atau Parental yang menunjukan sistem penggolongan menurut angkatan-angkatan. Walaupun hubungan kekerabatan diluar keluarga inti tidak begitu ketat aturannya, namun bagi orang jawa hubungan dengan keluarga jauh tetap penting.

Masyarakat Jawa dalam hal perkawinanya melalui beberapa tahapan. Biasanya seluruh rangkaian acara perkawinan berlangsug selama kurang lebih dua bulan, mencangkup:
  • Nontoni; Melihat calon istri dan keluarganya, dengan mengirim utusan (wakil).
  • Nglamar (meminang); Tahapan setelah nontoni apabila si gadis bersedia dipersunting.
  • Paningset; Pemberian harta benda, berupa pakaian lengkap disertai cin-cin kawin.
  • Pasok Tukon; Upacara penyerahan harta benda kepada keluarga si gadis berupa uang,pakaian dan sebagainya, diberikan tiga hari sebelum pernikahan.
  • Pingitan; Calon istri tidak diper4bolehkan keluar rumah selama 7 hari atau 40 hari sebelum perkawinan.
  • Tarub; Mempersiapkan perlengkapan perkawianan termasuk menghias rumah dengan janur.
  • Siraman; Upacara mandi bagi calon pengantin wanita yang dilanjutkan dengan selamatan.
  • Ijab Kabul (Akad Nikah); Upacara pernikahan dihadapan penghulu, disertai orang tua atau Wali dan saksi-saksi.
  • Temon (Panggih manten); Saat pertemuan pengantin pria dengan wanita.
  • Ngunduh Mantu (ngunduh temanten); Memboyong pengantin wanita kerumah pengantin pria yang disertai pesta ditempat pengantin pria.

Jika di dalam perkawinan ada masalah antara suami istri maka dapat dilakukan "Pegatan" (Perceraian). Jika istri menjatuhkan cerai di sebut "talak" sedangkan istri meminta cerai kepada suami di sebut "talik". Jika keinginan isteri tidak di kabulkan oleh suami istri mengajukan ke pengadilan maka disebut "rapak". Jika ingin kembali lagi jenjang waktunya mereka rukun kembali adalah 100 hari di namakan "Rujuk" jika lebih dari 100 hari dinamakan "balen" (kembali). Setelah cerai seorang janda boleh menikah dengan yang lain setelah "masa Iddah".

2.    Sistem Kemasyarakatan
Dalam sistem kemasyarakatan, akan dibahas mengenai pelapisan sosial. Dalam sistem kemasyarakatan Jawa, dikenal 4 tingkatan yaitu Priyayi, Ningrat atau Bendara, Santri dan Wong Cilik.

Priyayi ini sendiri konon berasal dari dua kata bahas Jawa, yaitu “para” dan “yayi” atau yang berarti para adik. Dalam istilah kebudayaan Jawa, istilah priyayi ini mengacu kepada suatu kelas sosial tertinggi di kalangan masyarakat biasa setelah Bendara atau ningrat karena memiliki status sosial yang cukup tinggi di masyarakat. Biasanya kaum priyayi ini terdiri dari para pegawai negeri sipil dan para kaum terpelajar yang memiliki tingkatan pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang disekitarnya

Ningrat atau Bendara adalah kelas tertinggi dalam masyarakat Jawa. pada tingkatan ini biasanya diisi oleh para anggota keraton, atau kerabat-kerabatnya, baik yang memiliki hubungan darah langsung, maupun yang berkerabat akibat pernikahan. Bendara pu memiliki banyak tingkatan juga di dalamnya, mulai dari yang tertinggi, sampai yang terendah. Hal ini dapat dengan mudah dilihat dari gelar yang ada di depan nama seorang bangsawan tersebut.

Yang ketiga adalah golongan santri. Golongan ini tidak merujuk kepada seluruh masyarakat suku Jawa yang beragama muslim, tetapi, lebih mengacu kepada para muslim yang dekat dengan agama, yaitu para santri yang belajar di pondok-pondok yang memang banyak tersebar di seluruh daerah Jawa.

Terakhir, adalah wong cilik atau golongan masyarakat biasa yang memiliki kasta terendah dalam pelapisan sosial. Biasanya golongan masyarakat ini hidup di desa-desa dan bekerja sebagai petani atau buruh. Golongan wong cilik pun dibagi lagi menjadi beberapa golongan kecil lain yaitu:
  1. Wong Baku: golongan ini adalah golongan tertinggi dalam golongan wong cilik, biasanya mereka adalah orang-orang yang pertama mendiami suatu desa, dan memiliki sawah, rumah, dan juga pekarangan.
  2. Kuli Gandok atau Lindung: masuk di dalam golongan ini adalah para lelaki yang telah menikah, namun tidak memiliki tempat tinggal sendiri, sehingga ikut menetap di tempat tinggal mertua.
  3. Joko, Sinoman, atau Bujangan: di dalam golongan ini adalah semua laki-laki yang belum menikah dan masih tinggal bersama orang tua, atau tinggal bersama orang lain. Namun, mereka masih dapat memiliki tanah pertanian dengan cara pembelian atau tanah warisan.

Desa-desa di Jawa umumnya dibagi-bagi menjadi bagian-bagian kecil yang disebut dengan dukuh, dan setiap dukuh dipimpin oleh kepala dukuh. Di dalam melakukan tugasnya sehari-hari, para pemimpin desa ini dibantu oleh para pembantu-pembantunya yang disebut dengan nama Pamong Desa. Masing-masing pamong desa memiliki tugas dan perananya masing-masing. Ada yang bertugas menjaga dan memelihara keamanan dan ketertiban desa, sampai dengan mengurus masalah perairan bagi lahan pertanian warga.

F.    Religi Suku Jawa
1.    Kepercayaan/ Agama
Mayoritas orang Jawa menganut agama Islam, sebagian yang lainya menganuti agama Kristian, Protestan dan Katolik, termasuknya dikawasan luar bandar, dengan penganut agama Buddha dan Hindu juga ditemukan dikalangan masyarakat Jawa. Terdapat juga agama kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan ini pada dasarnya berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh agama Hindu-Buddha yang kuat. Masyarakat Jawa terkenal kerana sifat asimilasi kepercayaannya, dengan semua budaya luar diserap dan ditafsirkan mengikut nilai-nilai Jawa.

Suku Jawa berbeda dengan suku-suku lain dalam hal pandangan hidup, jika suku lain selalu melabelkan agama tertentu sebagai identitas kesukuannya, atau bukanlah bagian dari suku tertentu jika bukan beragama tertentu, maka suku jawa merupakan suku yang universal identitas sukunya tidak dibangun oleh agama maupun ras tertentu walaupun setiap individu jawa wajib beragama dan dituntun untuk melaksanakan syariat agamanya yang mesti dilaksanakan dengan taat oleh pribadi jawa yang memeluknya sebagai konsekwensi hidup sebagai hamba tuhan.

Suku jawa memposisikan diri sebagai suku universal dan sebagian mengatakan jawa bukanlah sebuah suku namun dia adalah Jiwa dari setiap individu baik dia muslim maupun non-muslim sehingga dapat kita lihat pandangan hidupnya yang mengayomi semua agama dan muslim sebagai pemimpinnya karena memang sebagai mayoritas bisa dilihat kesultanan-kesultanan yang dibangun oleh suku jawa yang bercorakkan islam, namun tetap menghargai suku jawa non-muslim yang tidak beragama islam karena agama adalah iman dan keyakinan pilihan jiwa, dan jika orang jawa mayoritasnya adalah non muslim maka ia juga berkewajban mengayomi hak-hak suku jawa yang beragama lainnya karena memang itu pandangan hidup yang ditanamkan kepada orang-orang jawa hal sesuai dengan firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Mumtahanah (80:8).

Selain itu masyarakat Jawa percaya terhadap hal-hal tertentu yang dianggap keramat, yang dapat mendatangkan mala petaka jika di tintang atau diabaikan. Kepercayaan itu diantaranya :
  • Kepercayaan terhadap Nyi roro kidul
  • Kepercayaan kepada hari kelahiran (Wathon)
  • Kepercayan terhadap hari-hari yang dianggap baik
  • Kepercayaan kepada Nitowong
  • Kepercayaan kepada dukun prewangan

2.    Upacara keagamaan
Suku Jawa yang kaya akan tradisi memiliki beberapa macam upacara keagamaan adat. Upacara ini biasa dilaksanakan oleh pihak Keraton Surakarta. Beberapa diantaranya adalah upacara Garebeg. Upacara ini dilakukan tiga kali dalam satu tahun penanggalan Jawa, yaitu tanggal 12 bulan Mudul (bulan ketiga), tanggal 1 bulan Syawal (bulan kesepuluh), dan tanggal 10 bulan Besar (bulan kedua belas). Pada hari itu raja mengeluarkan sedekahnya sebagai perwujudan rasa syukur.
Upacara lainnya adalah sekaten. Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama 7 hari. Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad saw.

Malam satu suro dalam masyarakat Jawa merupakan suatu perayaan tahun baru menurut kalender Jawa. Di Keraton Surakarta, upacara ini diperingati dengan Kirab Mubeng Benteng (arak-arakan mengelilingi benteng keraton).


G.   Kesenian Suku Jawa
Orang Jawa terkenal dengan budaya seninya yang terutama dipengaruhi oleh agama Hindu-Buddha, yaitu pementasan wayang. Repertoar cerita wayang atau lakon sebagian besar berdasarkan wiracarita Ramayana dan Mahabharata. Selain pengaruh India, pengaruh Islam dan Dunia Barat ada pula. Seni batik dan keris merupakan dua bentuk ekspresi masyarakat Jawa. Musik gamelan, yang juga dijumpai di Bali memegang peranan penting dalam kehidupan budaya dan tradisi Jawa. Sistem kesenian masyarakat jawa memiliki dua tipe yaitu, tipe jawa tengah dan jawa timur.

1.    Kesenian tipe jawa tengah
Wujud kesenian tipe jawa tengah bermacam-macam misalnya sebagai berikut:
  1. Seni Tari Contoh: Seni tari tipe jawa tengah adalah tari serimpi dan tari bambang cakil, tari jaipong.
  2. Seni Tembang berupa lagu-lagu daerah jawa, misalnya lagu-lagu dolanan suwe ora jamu, gek kepiye dan pitik tukung.
  3. Seni pewayangan merupakan wujud seni teater di jawa tengah.
  4. Seni teater tradisional wujud seni teater tradisional di jawa tengah antara lain adalah ketoprak.

2.    Kesenian tipe jawa timur
Wujud kesenian dari pesisir dan ujung timur serta madura juga bermacam-macam, misalnya sebagai berikut:
  1. Seni tari dan teater antara lain tari ngremo, tari tayuban, dan tari kuda lumping.
  2. Seni pewayangan antara lain wayang beber.
  3. Seni suara antara lain berupa lagu-lagu daerah seprerti tanduk majeng (dari Madura) dan ngidung (dari Surabaya).
  4. Seni teater tradisional antara lain ludruk dan kentrung.



3.    Rumah adat jawa
Rumah adat Jawa antara lain corak limasan dan joglo. Rumah situbondo merupakan model rumah adat jawa timur yang mendapat pengaruh dari rumah madura.

4.    Pakaian adat jawa
Pakaian pria jawa tengah adalah penutup kepala yang di sebut kuluk, berbaju jas sikepan, korset dan kris yang terselip di pinggang. Memakai kain batik dengan pola dan corak yang sama dengan wanita. Wanitanya memakai kain kebaya panjang dengan batik sanggulnya disebut bakor mengkurep yang diisi dengan daun pandan wangi.

H.   Sistem Pengetahuan Suku Jawa
Salah satu bentuk sistem pengetahuan yang ada, berkembang, dan masih ada hingga saat ini, adalah bentuk penanggalan atau kalender. Bentuk kalender Jawa adalah salah satu bentuk pengetahuan yang maju dan unik yang berhasil diciptakan oleh para masyarakat Jawa kuno, karena penciptaanya yang terpengaruh unsur budaya islam, Hindu-Budha, Jawa Kuno, dan bahkan sedikit budaya barat. Namun tetap dipertahankan penggunaanya hingga saat ini, walaupun penggunaanya yang cukup rumit, tetapi kalender Jawa lebih lengkap dalam menggambarkan penanggalan, karena didalamnya berpadu dua sistem penanggalan, baik penanggalan berdasarkan sistem matahari (sonar/syamsiah) dan juga penanggalan berdasarkan perputaran bulan (lunar/komariah).

Pada sistem kalender Jawa, terdapat dua siklus hari yaitu siklus 7 hari seperti yang kita kenal saat ini, dan sistem panacawara yang mengenal 5 hari pasaran. Sejarah penggunaan kalender Jawa baru ini, dimulai pada tahun 1625, dimana pada saat itu, sultan agung, raja kerajaan mataram, yang sedang berusaha menytebarkan agama islam di pulau Jawa, mengeluarkan dekrit agar wilayah kekuasaanya menggunakan sistem kalender hijriah, namun angka tahun hijriah tidak digunakan demi asas kesinambungan. Sehingga pada saat itu adalah tahun 1025 hijriah, namun tetap menggunakan tahun saka, yaitu tahun 1547.

Dalam sistem kalender Jawa juga terdapat dua versi nama-nama bulan, yaitu nama bulan dalam kalender Jawa matahari, dan kalender Jawa bulan. Nama- nama bulan dalam sistem kalender Jawa komariah (bulan) diantaranya adalah suro, sapar, mulud, bakdamulud, jumadilawal, jumadil akhir, rejeb, ruwah, poso, sawal, sela, dan dulkijah. Namun, pada tahun 1855 M, karena sistem penanggalan komariah dianggap tidak cocok dijadikan patokan petani dalam menentukan masa bercocok tanam, maka Sri Paduka Mangkunegaran IV mengesahkan sistem kalender berdasarkan sistem matahari. Dalam kalender matahari pun terdapat dua belas bulan.

I.      Peralatan Hidup Masyarakat Suku Jawa
Sebagai suatu kebudayaan, suku Jawa tentu memiliki peralatan dan perlengkapan hidup yang khas diantaranya yang paling menonjol adalah dalam segi bangunan. Masyarakat yang bertempat tinggal di daerah Jawa memiliki ciri sendiri dalam bangunan mereka, khususnya rumah tinggal. Ada beberapa  jenis rumah yang dikenal oleh masyarakat suku Jawa, diantaranya adalah rumah limasan, rumah joglo, dan rumah serotong. Rumah limasan, adalah rumah yang paling umum ditemui di daerah Jawa, karena rumah ini merupakan rumah yang dihuni oleh golongan rakyat jelata. Sedangkan rumah Joglo, umumnya dimiliki sebagai tempat tinggal para kaum bangsawan, misalnya saja para kerabat keraton.

Umumnya rumah di daerah Jawa menggunakan bahan batang bambu, glugu (batang pohon nyiur), dan kayu jati sebagai kerangka atau pondasi rumah. Sedangkan untuk dindingnya, umum digunakan gedek atau anyaman dari bilik bambu, walaupun sekarang, seiring dengan perkembangan zaman, banyak juga yang telah menggunakan dinding dari tembok. Atap pada umumnya terbuat dari anyaman kelapa kering (blarak) dan banyak juga yang menggunakan genting. Dalam sektor pertanian, alat-alat pertanian diantantaranya: bajak (luku), grosok, bakul besar tenggok, garu.

J.    Perubahan/ Pemikiran Individu
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan memiliki berbagai macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita sebut kebudayaan. Keanekaragaman budaya yang terdapat di Indonesia merupakan suatu bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya. suku Jawa adalah penduduk asli pulau Jawa bagian tengah dan timur, kecuali pulau Madura. Selain itu, mereka yang menggunakan bahasa Jawa dalam kesehariannya untuk berkomunikasi juga termasuk dalam suku Jawa, meskipun tidak secara langsung berasal dari pulau Jawa. Secara keseluruhan penduduk suku Jawa tersebar diberbagai penjuru nusantara, bahkan sampai keluar negeri.

Secara umum suku Jawa memiliki mata pencaharian yang dominan dibidang pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Memiliki sistem kekerabatan yang jelas dan erat, bersosial baik, dan bermasyarakat dengan rukun meski memiliki tingkatan stratifikasi sosial.

Dalam kepercayaan atau keagamaan dalam suku Jawa, suku Jawa lebih bersifat universal dan memiliki toleransi yang tinggi, yaitu tidak menekan kepada masyarakatnya untuk memeluk agama tertentu, meski masyarakat diwajibkan memeluk salah satu agama.

Suku Jawa memiliki banyak kesenian yang beranekaragam diantaranya adalah seni tari, seni tembang, seni pewayangan, seni teater tradisional dan lai sebagainya. Kesenian-kesenian tersebut telah menjadi budaya yang sangat beranekargam, budaya Jawa merupakan salah satu faktor utama berdirinya kebudayaan nasional, maka segala sesuatu yang terjadi pada budaya daerah akan sangat mempengaruhi budaya nasional.





BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Suku Jawa merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa. Selain diketiga propinsi tersebut, suku Jawa banyak tersebar dan menetap di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara. Di Jawa Barat mereka banyak ditemukan di Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti suku Osing, orang Samin, suku Bawean/Boyan, Naga, Nagaring, suku Tengger dan lain-lain. Suku Jawa hampir ada disegala penjuru Indonesia, mulai dari daerah provinsi Sumatra Utara hingga ke wilayah paling timur Indonesia, yaitu provinsi Papua.

Suku jawa yang berada didaerah pulau Jawa maupun yang tersebar diseluruh Nusantara merupakan suku yang memiliki berbagai kebudayaan, mulai dari adat istiadat sehari-hari, kesenian, acara ritual, dan lain-lain. Semua itu membuktikan bahwa suku jawa merupakan suku yang kaya akan budaya daerah. Dan dari kekayaan budaya yang di miliki suku jawa itulah yang menbuatnya berberda dengan suku-suku serta kebudayaan-kebudayaan lain yang ada di Indonesia.

B.   Saran
Suku Jawa adalah salah satu dari ragam suku yang ada di Indonesia, budaya pada suku jawa merupakan salah satu faktor utama berdirinya kebudayaan nasional, maka segala sesuatu yang terjadi pada budaya suku Jawa akan sangat mempengaruhi budaya nasional. Atas dasar itulah, kita semua mempunyai kewajiban untuk menjaga, memelihara dan melestarikan budaya baik budaya Jawa maupun budaya lokal atau budaya daerah lainya maupun budaya nasional, karena budaya merupakan bagian dari kepribadian dan jati diri dari bangsa Indonesia.

7 komentar:

  1. karya yg bagus,tapi daftar pustakanya koq ga ada ya ?

    BalasHapus
  2. Bagus nih, saya mau mengkutip buat bahan penelitian tapi belum ada daftar pustaknya.

    BalasHapus
  3. Saran aja kak, akan lebih bagus lagi kalo dikasih Refrensinya 😅

    BalasHapus
  4. makasih banyakk, membantu banget bwt tugas anak SMA. terus berkarya yaa������

    BalasHapus
  5. Trimakasih karna telah menyempatkan waktu untuk membuan jawaban yg panjang lebar, teks ini membantu saya untuk mengerjakan beberapa tugas.semangt ya kembangkan jawaban jawaban yg benar untuk kami.

    BalasHapus