BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Nama P.I.H dan P.T.H.I
P.I.H
(Pengantar Ilmu Hukum) dan P.T.H.I (Pengantar Tata Hukum Indonesia) mempunyai
hubungan yang sangat erat, oleh karena dalam kita membicarakan P.I.H tentu saja
tidak bisa lepas pembicaraan itu dari P.T.H.I Hubungannya adalah terletak pada
objeknya yaitu punya objek yang sama adalah Hukum yang dalam peninjauannya
keduanya menggunakan sudut pandang yang berbeda. P.I.H meninjau objeknya dalam
keadaan yang umum, abstrak, tidak terikat oleh keadaan waktu dan tempat. Jadi
yang dipelajari oleh P.I.H adalah : Hukum pada umumnya yaitu mengenai Hakekat
Hukum, Tujuan dan Sumber-sumber Hukum.
P.T.H.I
meninjau objeknya dalam keadaan yang konkrit, khusus, terikat oleh keadaan waktu
dan tempat. Jadi P.T.H.I, mempelajari hukum yang terikat pada keadaan tertentu,
wakttu tertentu dan tempat tertentu yaitu Indonesia pada waktu dan keadaan
sekarang ini. Maka dengan demikian maka objek dari pada P.T.H.I adalah Hukum
yang berlaku sekarang di Indonesia, hukum yang berlaku sekarang di Indonesia
disebut Hukum Positif. Ujudnya adalah keseluruhan aturan-aturan hukum yang
saling berhubungan dan saling menentukan sifatnya yang berlaku dalam masyarakat
hukum tertentu (Indonesia) yang berlaku sekarang ini. Hukum yang berlaku
sekarang yang mempunyai ujud tersebut dinamakan Tata Hukum dan karena
berlakunya di Indonesia maka disebut Tata Hukum Indonesia.
Dari
pengertian di atas jelaslah bahwa P.T.H.I ini tidak membicarakan hukum yang
pernah berlaku karena itu adalah merupakan objek dari Ilmu Sejarah Hukum. Juga
tidak membicarakan hukum yang berlaku sekarang di Indonesia. Pengertian berlaku
ini adalah memberikan akibat hukum pada peristiwa-peristiwa/kejadian-kejadian
di dalam pergaulan hidup masyarakat. Hukum positif ini istilah asingnya Ius Constitutum,
hukum yang dicita-citakan untuk berlaku istilahnya adalah Ius Constituendum.
Berlaku dalam hal ini adalah di Indonesia. Perlu diketahui bahwa P.I.H adalah
Pengantar dalam mempelajari P.T.H.I Jadi dengan demikian P.I.H ini adalah suatu
ilmu (mata kuliah) dasar yang mengantar atau menunjukkan jalan ke arah
cabang-cabang ilmu hukum. Berarti P.I.H ini adalah : Memberikan suatu
pemandangan umum secara ringkas mengenai seluruh ilmu pengetahuan hukum
mengenai kedudukan ilmu hukum di samping ilmu-ilmu yang lain, mengenai
pengertian-pengertian dasar, azaz dan penggolongan-penggolongan hukum.
Ilmu
pengetahuan hukum, juga ilmu ekonomi, ilmu jiwa, sosiologi dan lain-lain
termasuk ilmu pengetahuan sosial yang mempunyai objek penyelidikannya pada
tingkah laku manusia. Ilmu pengetahua hukum mempelajari tingkah laku manusia
khususnya tentang kaidah-kaidah hidupnya mana yang harus dikerjakan dan mana
yang harus dilarang untuk dikerjakan. Dengan perkembangan masyarakat sekarang
ini maka ilmu pengetahuan hukum juga mengalami perkembangan sehingga dengan
demikian ilmu pengetahuan hukum ini mempunyai spesialisasi seperti Hukum
Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum Perdata, Hukum Dagang dan lain sebagainya.
Ilmu pengetahuan hukum mempelajari kaidah-kaidah hukum hidup manusia, bagaimana
kaidah-kaidah itu berlaku, diterima dan ditaati orang di dalam masyarakat. Jadi
dengan demikian hukum diartikan sebagai kaidah (das sallen) sebagai
gejala-gejala masyarakat (das sein), kaidah-kaidah ini adalah kaidah yang
berlaku sekarang (hukum positif).
Ilmu
hukum positif mencari konsalitas antara gejala hukum disekitar kita, supaya
dapat menjelaskan segala hukum dan segala persoalannya. Ilmu hukum positif
harus menguji apakah pangkal peninjauannya dan asasnya memang benar dan sesuai
dengan perasaan hukum yang nyata ada pada masyarakat yang bersangkutan. Ilmu
hukum positif agar dapat mencapai tujuannya diperlukan ilmu-ilmu pembantu yaitu
:
1. Sejarah
Hukum
Menyelidiki sistim-sistim hukum yang
pernah berlaku dan perkembangannya. Kita dapat mengerti hukum yang sekarang
berlaku apabila telah memahami sejarah perkembangannya. Hukum yang sekarang
berlaku banyak yang bersumber pada hukum yang dahulu.
2. Sosiologi
Hukum
Adalah untuk mengetahui kebenaran dari
gejala-gejala riil dalam masyarakat.
3. Perbandingan
Hukum
Adalah mencari unsur/anasir-anasir yang
mengandung kesamaan di dalam hukum yang berlaku pada beberapa negara dan pada
beberapa zaman.
4. Ilmu
Hukum Sistimatis/Gogmatis
Mencari konsolitas antara masing-masing
gejala hukum yang ditimbulkan dalam masyarakat, jadi berarti mencari
azas/dasar/dasar suatu tata tertib hukum positif.
5. Politik
Hukum
Menyelidiki perubahan-perubahan apa yang harus
diadakan didalam hukum sekarang supaya menjadi lebih sesuai dengan perasaan
hukum yang ada pada masyarakat. Meneruskan perkembangan hukum dengan berusaha
melenyapkan sebanyak-banyaknya ketegangan antar yang berlaku dengan perasaan
yang ada dalam masyarakat (antara positivitas dan kebenaran sosial).
1.2 Definisi Hukum/Pengertian Hukum
Apakah
hukum itu ? Atas pertanyaan itu banyak rumusan atau definisi tentang hukum,
yang satu berbeda dengan yang lain tetapi semuanya betul. Banyaknya rumusan
tentang hukum itu disebabkan amat luasnya lapangan hukum. Jadi lain masalahnya
kalau kita ditanya apakah kursi itu ? Jawabnya : Kursi ialah suatu benda untuk
tempat duduk yang dilengkapi dengan sandaran punggung. Oleh karena itu, kita
tidak perlu menghafalkan rumusan-rumusan hukum yang penting ialah kita bisa
memahami pengertian/makna dan intisari hukum.
Sebagaimana
telah disebut di atas bahwa hukum, juga norma-norma lainnya hanya terdapat di
dalam kehidupan manusia, jadi berarti tidak ada hukum jika di tempat itu tidak
ada manusia (Ubisocitas). Contoh : Di tengah gurun pasir sahara di situ tidak
ada manusia maka tidak ada huku. Manusia harus hidup bermasyarakat artinya
harus hidup bersama dengan manusia lainnya, maka kalau dalam suatu daerah hanya
hidup seorang manusia saja tentu di situ tak diperlukan adanya hukum karena
hukum itu hakekatnya adalah untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat.
Masyarakat yang bagaimanapun
sederhananya mereka tentu saja sudah mempunyai hukum, maka tidak benar
kalau ada yang mengatakan bahwa dalam masyarakat bangsa Indonesia yang belum
beradab tidak mempunyai hukum. Hukum mereka ini menurut ketentuan adat atau kebiasaan
sendiri. Setiap bangsa di dunia mempunyai hukum meskipun hukum itu tidak sama
atau serupa karena hukum mempunyai hubungan yang rapat dengan kemajuan dan
perkembangan dari masyarakatnya. Masyarakat yang masih primitif akan sederhana
pula hukumnya dan masyarakat yang sudah modern akan komplek pula hukumnya.
Kebudayaan sesuatu bangsa mempunyai pengaruh kepada hukumnya. Bangsa yang
mempunyai banyak kontak/hubungan dengan bangsa lain akan terjadi kontak atau
percampuran dalam kebudayaannya pula, yang berarti terjadinya percampuran hukum
dari bangsa itu dan ini diatur oleh hukum antar bangsa atau Hukum
Internasional. Negara yang dijajah oleh negara lain sedikit banyak akan
menerima kebudayaan penjajah termasuk penerimaan (receptie) atau peniruan dalam
hukumnya dapat secara sukarela atau dengan paksaan. Contoh : Belanda waktu
menjajah Indonesia, sampai sekarang masih ada hukum negeri Belanda yang
berpengaruh atau masih dipakai di Indonesia misalnya Hukum Pidana. Jadi hukum
dan masyarakatnya tak dapat dipisahkan, dengan kata lain ada paralel antara
masyarakat dengan hukum.
Hukum
adalah bermaksud mengatur tata tertib masyarakat. Agar tata terib masyarakat
terselenggara maka hukum menentukan norma-normanya atau aturannya yang
berisikan perintah atau larangan yang harus dipatuhi oleh setiap orang, oleh
karena itu pelaksanaannya dapat dipaksakan, dan inilah keistimewaan dari hukum.
Hukum juga membuat bermacam-macam petunjuk yang menentukan hubungan antara
manusia dengan manusia yang lain dalam pergaulan hidup. Kaidah/norma dan atura
itu misalnya : kamu tidak boleh membunuh. Kamu tidak boleh mencuri. Jika kamu
membeli barang kamu harus meembayarnya, dsb.
Kembali
kepada pertanyaa : “Apakah Hukum itu ?” Hukum = Ucht (Belanda) = law (inggris)
= loi (Perancis) = ius (Latin). Mengenai definisi hukum ini ternyata tidak
mudah orang memperoleh jawaban yang memuaskan. Sebagian besar Sarjana
berpendapat tidak mungkin memberi definisi yang memuaskan mengenai apa yang
disebut hukum itu.
Menurut
Prof. Mr. L. J. Van Apeldoorn, tidak mungkin hukum itu dirumuskan dalam suatu
kalimat pendek karena hukum itu mempunyai banyak sekali segi-segi. Ini adalah
disebabkan karena hukum itu terjadi dengan adanya hubungan antara manusia di
dalam masyarakat. Hubungan itu beranekaragam, sehingga apabila harus di berikan
definisi tentang hukum, tentu akan beranekaragam pula.
Menurut
G. W. Paton, definisi yang beranekaragam itu di sebabkan karena tiap-tiap
Sarjana memberi definisi dari sudut pandangannya sendiri. Contoh : Untuk satu
jenis objek saja misalnya sapi, dapat dikemukakan bermacam-macam definisi,
tergantung siapa yang memberikan definisi tersebut, sapi menurut tukang jagal
berbeda dengan sapi menurut sarjana peternakan. Begitu pula pandangan orang
awam tentang hukum, tentu karena sifat awamnya lebih banyak tergantung pada
pengalaman yang pernah didapat oleh orang itu. Orang yang punya saudara notaris
sering melihat kitab Undang-undang maka ia memandang bahwa hukum itu adalah
sedorotan pasal-pasal yang ada didalam Undang-undang. Akibatnya mereka menyakan
hukum dengan Undang-undang karena didalam Undang-undang itu mereka melihat
hukum. Sebenarnya tidak tepat, memang mereka telah melihat salah satuciri
hukumitu didalam pasal-pasal undang-undang sebagai atturan-aturan mengenai
tingkah laku. Tetapiini hanya sekedar
ciri belaka. Aturan mengenai tingkah laku ditetapkan oleh penguass atau
negara. Dengan demikian kita tidak dapat memberikan definisi hukum sebagai
aturan keseluruhan aturan tingkah ;laku yang ditetapkan oleh penguasa atau
negara, ini kalau kita menganggap hukum sama dengan undang-undang.
Pernah
berkembang suatu hari logismedalam zaman Revolusi Perancis, menandang
satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Jadi hukum dapat disamakan
dengan Undang-undang. Sekarang pandangan ini tidak dianut lagi, sekarang dakui
bahwa undang-undang bukanlah satu-satunyasumber hukum. Kita mengenal
Perjanjian, Traktat, Yurisprodensi. Malah undang-undang sendiri memberi
kemungkinan berkembangnyasumber-sumber hukum yang lain selainundanf-undang,
misalnya pasal 1338 B.W. (Burgerlijk wet book) memberi kemungkinan pada
perjanjian sebagai sumber hukum yang sama dengan undang-undangbagi pihak-pihak
yang membuatnya dan kalau perjajian itu dibuat secara sah.
Maka
kalau ditinjau dari fahan kita sekarang mengenai sumber hukum, jelas bahwa kita
tidak boleh menyamakan hukum dengan undang-undang. Tinjauan dari sudut sejarah
fahan kita tidak dapat membenarkan hal ini. Di dalam sejarah dikenal suatu masa
dimana Undang-undang tidak/belum dikenal, tetapi meskipun demikian kita tidak
mengatakan bahwa pada waktu itu tidak ada hukum, sebab di mana ada masyarakat
di situ ada hukum. Sebagai orang awam mengenal hukum karens ia menghadapi suatu
perkara, orang itu melihat polisi menangkap pencuri, atau melihat orang
bersengketa melawan hakim atau melihat orang diproses perbal oleh jaksa. Orang
ini berkesimpulan bashwa hukum itu tidak lain adalah polisi, Gedung Pengadilan,
Hakim, Jaksa. Karena berdasarkan pe4ngalamanya orang itub melihat hukum dalam
kdaan yang konkrit, terjema dalam suatu hubungan bukan sekedar dalam
pasal-pasal. Bagi kitab hukum bukan sekedar pasal-pasaldalam undang-undang
malah lebih dari itu.
Pandangan
tersebut diatas melihat hukum hanya sepanjang yang menjelma di dalam Polisi,
Jaksa, Gedung Pengadilan, Hakim. Tetapi yang sebenarnya lebih dari itu, karena
pada hakekatnya hukum itu ada sejak manusia lahirhukum sudah bekerja, ini dapat
kita lihat pada pasal 2B.W. Anak yang dalam kandungan dianggap telah lahir apa
bila kepentinganya menghendaki. Ini membuktikan bahwa hukum itu sudah
melindungiakan hak manusia sejak dalam kandungan. Hukum masih melindungi
jenazahnya pada waktu orang itu meninggal. Sejak manusia itu lahir maka sejak
itu ia mempunyai status subjek hukum, sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Sepanjang hidupnya setiap tingkah lakunya ia selalu dibawah kekuasaan hukum, ia
tidak dapat berkendaraan seenaknya di jalan umum. Hukum mengatur bagaiman ia
harus kawin, mendirikan rumah, dll. Jadi ternyata hukum terdapat di mana-mana
selama ada masyarakat, selama ada pergaulan hidup manusia. Pergaulan itu dapat
berjalan dengan tertib dan teratur adalah karena kekuasaan hukum.
Sebegitu
jauh pembicaraan/uraian ini tapi kita belum dapat menemukan definisi dari
hukum. Tetapi bagaimanapun juga kita harus mempunyai pedoman apa yang disebut
hukum itu agar kita tidak keliru mempelajari objeknya. Untuk itu kita lihat
pendapat beberapa Sarjana :
·
Mr. Dr. E. Utrecht
Hukum adalah himpunan
peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus
tata tertib dalam suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh
masyarakat.
·
Prof. Mr. Kusunadi Padjosisroyo
Hukum /aturan-aturan hukum itu adalah
suatu lapangan dari keseluruhan aturan-aturan bertingkah laku dari orang-orang
di dalam masyarakat. Dan dari inipun tidak memuaskan, Kusnadi menyamakan hukum
dengan aturan hukum.
·
Mr. Dr. Kisch
Dalam bukunya “Net Recht In Indonesia”
mengatakan Hukum yang banyak seginya serta yang meliputi segala lapangan itu
menyebabkan orang tidak mungkin membuat suatu definisi apa hukumitu sebenarnya.
·
Prof. Sudiman, “Pengantar Tata Hukum di
Indonesia”
Hukum adalah fikiran anggapan orang tentang adil dan
tidak adil mengenai hubungan antara manusia.
Meskipun
definisi di atas tidak memuaskan, tetapi ini adalah sekedar sebagai pedoman
mengenal ciri-ciri hukum adalah :
1. Keseluruhan
aturan bertingkah laku dalam masyarakat.
2. Harus
ditaati oleh masyarakat.
3. Harus
ada sanksi yang tegas dan nyata.
Dengan
demikian sekedar gambaran untuk memudahkan dalam mempelajari hukum itu, arti
hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memakan,
berisikan perintah, larangan atau yang lain untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu. Ia bermaksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.
1.3 Hukum Sebagai Himpunan Kaidah-Kaidah
Dan Hubungannya Dengan Kaidah Lainnya
Menurut
kodratnya di mana-mana dan kapan saja hidup bersama-sama yaitu hidup dalam
pergaulan dengan manusia lain. Menurut Aristoteles ahli filsafat Yunani,
manusia adalah “ZOON POLITICON DE MEEN IS MEN SOCIAL WEZEN” (manusia adalah
mahluk sosial) artinya manusia adalah mahluk yang hidup bergerombol atau hidup
bersama-sama di dalam masyarakat. Hidup bersama-sama ini nampak sebagai
perhubungan antara orang-orang (individu), misal hubungan antara suami dan
istri kemudian meningkat merupakan rumah tangga keluarga, suku dan terus
menjadi masyarakat bangsa yang lebih besar. Menurut ELWOOD yang menyebabkan
manusia selain hidup bermasyarakat karena adanya dorongan yang terdapat dalam
kodrat diri manusia sendiri yaitu :
1. Hasrat
untuk memenuhi kebutuhan makan minum
2.
Hasrat untuk membela diri
3.
Hasrat untuk mengadakan
turunan/mengembangkan jiwa
Selain kodrat ini juga
dengan ikatan tunggal sedarah karena :
1. Senasib
(persamaan nasib)
2. Persamaan
Agama
3. Persamaan
Budaya
4. Persamaan
Daerah.
Menurut
Prof. Bonaan dalam bukunya Ilmu Masyarakat umum mengatakan bahwa manusia baru
menjadi manusia setelah ia hidup bersama dengan manusia lain. Manusia adalah
warga masyarakat, masing-masing anggota/warga masyarakat mempunyai kepentingan
ada yang sama tetapi adapula yang kepentingannya tidak sama, ada yang
bertentangan dan dapat menimbulkan kekacauan dalam masyarakat. Maka agar dalam melaksanakan
kepentingannya itu atua dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, tiap-tiap
anggota dapat melakukan dengan tenteram dan damai dengan tidak mendapat
gangguan dari pihak lain maka perlu adanya “TATA ORDE ORDNUNG” yaitu
aturan-aturan yang menjadi pedoman bagi segala tingkah laku manusia dalam
pergaulan hidup. Dengan adanya tata itu tiap-tiap anggota masyarakat tahu akan
hak dan kewajibannya masing-masing sehingga kepentingan itu dapat dipelihara
dan terjamin.
Tata
atau aturan yang demikian disebut Kaidah atau Norma. Kaidah atau norma itu
merupakan gejala sosial, yaitu gejala yang terdapat dalam masyarakat.
Norma mempunyai 2 macam
isi :
1.
Perintah : ialah berwujud keharusan bagi
seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu oleh karena akibatnya
dipandang baik.
2.
Larangan : ialah yang berupa cegahan
bagi sesorang untuk tidak berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dianggap
tidak baik.
Norma-norma
ini bertujuan untuk mengadakan tata tertib dalam masyarakat, dalam
mempertahankannya diikuti dengan sanksi yang tegas berupa ancaman hukuman bagi
yang melanggarnya. Ada 4 macam Norma yaitu :
1. Norma
Agama
Adalah
peraturan atau kaidah yang sumbernya dari firman/perintah-perintah Tuhan
melalui para Nabinya. Bagi orang yang beragama perintah Tuhan itu menjadi
petunjuk atau pedoman di dalam sikap dan perbuatannya (way of life). Kaidah
agama tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya tetapi juga
mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya tetapi juga mengatur hubungan
kemasyarakatan, jadi mengatur Hablum minallah dan Hablum minan nas. Yang
bersifat kemasyarakatan memberikan perlindungan terhadap kepentingan orang lain,
hubungan manusia yang satu dengan yang lain, misalnya:
§ Membunuh
itu dosa.
§ Hormatilah
orangtuamu agar hidupan selamat dunia dan akhirat
§ Tidak
boleh dusta, siapa yang dusta akan masuk neraka.
Bagi
mereka yang melanggar norma agama akan mendapat sanksi yang berupa siksaan di
neraka. Bagi meraka yang atheis tidak percaya akan adanya hukum itu sehingga
norma agama tidak punya faedah bagi mereka. Ditaatinya norma ini adalah
berdasarkan kepercayaan. Kepercayaan ini sumbernya adalah dari diri manusia itu
sendiri, bagi yang percaya kaidah ini harus ditaati dan jika tidak maka
berdosa, jadi takut akan dosa maka norma ini ditaati. Kaidah ini bersifat
otonom karena bersumber dari diri sendiri dipertahankan atas daya pemaksa yang
ada di dalam diri manusia itu sendiri.
2. Norma
Kesusilaan
Adalah kaidah yang bersumber pada
kata hati atau insan kamil manusia, kaidah itu berupa bisikan-bisikan atau
suara batin yang diakui dan diinsyafi oleh setiap orang dan ini menjadi dorongan
atau pedoman dalam perbuatan dan sikapnya. Jadi dapat dirumuskan bahwa kaidah
kesusilaan adalh keseluruhan aturan bertingkah laku manusia yang didasari pada
kesadaran baik dan buruk berdasarkan ratio. Ratio (akal yang sehat) inilah yang
merupakan alat yang membedakan manusia dengan hewan dengan ratio ini pula
manusia dapat membedakan mana yang baik mana yang buruk. Ratio bersifat
Universal artinya berlaku umum di mana saja. Contoh :
·
Membunuh itu buruk. Akal yang sehat
melarang manusia untuk membunuh.
·
Menolong orang yang sedang menderita itu
baik, maka akal ynag sehat menganjurkan manusia untuk melakukannya.
Karena
dasarnya ratio maka pengertian baik dan buruk itu bersi universal, yang buruk
di Amerika juga buruk di Indonesia dan sebaliknya. Bagi orang yang melanggar
kaidah kesusilaan ini akan mendapat sanksi yang bersifat otonom, artinya
ancaman hukuman itu datangnya dari dalam diri pribadi orang itu sendiri yaitu
berupa penyesalan, siksaan batin dan yang dapat berakibat pada jiwa raganya
misalnya karena penyesalannya maka ia makin lama makin kurus bahkan sampai
gila. Karena beradanya kaidah ini di dalam masyarakat tentu saja orang-orangnya
ada yang susila dan ada yang a susila, berarti norma kesusilaan ini hanya
diikuti oleh segolongan orang saja yaitu yang susila, yang moral. Dari contoh
di atas jelas bagi kita bahwa isi norma agama sama dengan isi dari norma
kesusilaan.
3. Norma
kesopanan (Tata Krama)
Ialah peraturan yang timbul dari
pergaulan hidup segolongan manusia diikuti dan ditaati sebagai pedoman dalam
tingkah laku terhadap sesama orang yang ada di sekelilingnya. Jelas bahwa asal
kaidah kesopanan ini adalah terletak di luar manusia itu sendiri yaitu dari
masyarakat tertentu misalnya :
Ø Jangan
menghina orang lain
Ø Jangan
meludah di depan orang lain
Ø Berbicaralah
dengan sopan, dsb.
Mengenai
yang baik dan yang buruk, yang boleh dan tidak boleh dilakukan hanyalah
bersifat setempat. Tidak universil, karenanya apa yang dianggap di Amerika
mungkin dianggap buruk di Indonesia. Bagi orang yang melanggar kaidah kesopanan
ini masyarakat memberikan sanksi-sanksi tertentu. Jadi ancaman sanksi ini yang
memaksa manusia dalam masyarakat itu taat pada kaidah kesopanan. Sanksi itu
misalnya dicemoohkan, ditertawakan, diasingkan dari pergaulan hidup, dianggap
tidak lumrah, tidak sopan, dll. Kaidah kesopanan ini sumber dan cara
mempertahankannya adalah terletak diluar diri manusia, maka kaidah ini punya
sifat. Pada umumnya dalam menjalankan kaidah inin orang bersifat Hipakritis
(munafik. Jawa : ngomandroko artinya yang nampak di luar berbeda dengan sikap
batinnya, misalnya : Mahasiswa kalau bertemu dengan dosennya ia mengangguk
tanda hormat, tapi dalam hatinya memaki-maki karena ujian dari dosen itu
berulang kali tidak lulus.
4. Norma
Hukum
Ialah peraturan yang dibuat oleh
negara dan berlakunya dipertahankan dengan paksaan alat-alat negara misalnya polisi,
tentara, dsb. Jadi sifat khas dari norma ini ialah sifat memaksa, ini tidak
boleh diartikan selalu dapat dipaksakan sebab pelaksanan peraturan hukum yang
selalu dipaksakan dalam arti yang sebenarnya tidak mungkin tercapai. Sanksi
terhadap yang melanggar aturan hukum bersifat heteronoon artinya sanksi itu datangnya dari luar diri
manusiayaitu dari kekuasaan lain, misalnya dari pemerintah. Paksaan disini
tidak berarti sewenang-wenang melainkan harus bertujuan suatu tekanan. Untuk
menghormati norma hukum ini jadi paksaan tidak boleh menjadi tujuan melainkan
hanya sebagai alat saja. Kaidah hukum ini mempunyai fungsi untuk :
1.
Melengkapi kaidah-kaidah yang lain
(agama, kesusilaan, kesopanan) dengan sanksi yang tegas dan nyata.
2.
Mengatur hal-hal yang belum diatur oleh
kaidah-kaidah yang lain.
3.
Kadabg-kadang mengatur hal yang
berlawanan dengan kaidah yang lain misal, memnuh adalah bertentangan dengan
kaidah kesusilaan tapi kaidah hukum memungkinkan adanya hukuman mati.
Tata
hukum mengadakan laidah-kaidahnya yang bersifat memaksa adalah untuk hidup dan
kelangsungan masyarakatnya, yang berarti untuk perlindungan kepentingan
orang-orang di dalam masyarakat itu. Tindakan-tindakan itu diperlukan, sehingga
pelaksanaan tindakan itu tidak bisa diserahkan sedemikian saja kepada kehendak
dari orang-orang itu. Paksaan hanya digunakan untuk menjamin ditaatinya
peraturan-peraturan yang sangat dibutuhkan yaitu untuk kepentingan-kepentingan
yang menjadi tujuan dari peraturan-peraturan itu. Persamaan dari keempat norma
itu ialah :
1.
Norma-norma itu hanya terdapat dalam
pergaulan hidup masyarakat.
2.
Norma itu mengatur tata tertib dalam
pergaulan hidup.
Disamping persamaan ini
terdapat pula perbedaan antar norma hukum dan norma agama, kesusilaan.
Norma Hukum
|
Norma Keagamaan dan
Kesusilaan
|
1.
Tujuan nya :
Menyelenggarakan tata
tertib dalam masyarakat dan memberi perlindungan terhadap manusia dan
miliknya.
|
Memperbaiki diri
manusia seseorang secara tidak langsung, juga menuju ke arah masyarakat yang
teratur.
|
2.
Isinya :
Mengatur tingkah laku dan perbuatan lahir manusia, di dalam
hukum akan dirasakan puas kalu perbuatan manusia itu sudah sesuai dengan
peraturan hukum.
|
Terutama mengatur
sikap batin dari pribadi dan kehendak manusia dan tidak puas dengan kehendak
atau perbuatan lahir saja.
|
3.
Sumber sanksinya :
Bersifat heteronoon,
artinya sanksinya berasal dan dipaksakan oleh kekuasaan yang datang dari luar
diri manusia.
|
Bersifat otonoon
artinya sanksi berasal dari dan dipaksakan oleh suara batinnya sendiri.
|
4.
Ditaatinya
Kecuali rasa keadilan
dari diri sendiri sebagai sumbernya, juga yang terutama karena perintah dari
luar yang bersifat memaksa.
|
Karena sesuai dengan
suara batinnya sendiri atau kepercayaanya sendiri.
|
5.
Pelaksanaannya
Selain memberikan
hak-hak juga kewajiban seseorang (Attributief dan Normatief)
|
Hanya memberikan
kewajiban saja tanpa hak-hak (Normatif)
|
1.4
Tujuan Hukum (Zweck Des Recht)
Yang
mempunyai tujuan sebenarnya adalah manusia, hukum hanya sebagai alat manusia
untuk mencapai tujuannya, yaitu masyarakat yang tertib dan damai. Tetapi karena
manusia dan hukum tak dapat dipisah-pisahkan maka dikatakan dengan tujuan
hukum. Kecuali tata tertib dalam pergaulan masyarakat, hukum juga mengatur
bagaimana orang-orang memperoleh penghidupan yang memuaskan di dalam masyarakat
baik materiil maupun spiritual dan kesusilaan. Kepuasan rohani menjamin setiap
orang itu bebas melaksanakan agama dan kepercayaan, apabila itu memang sudah
jelas dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 29 yaitu kebebasan memeluk agama dan
beribadah menurut kepercayaan masing-masing. Dalam hal kepuasaan materil hukum
memberikan perlindungan untuk memiliki dan menikmati harta kekayaannya.
Seseorang tidak dibenarkan tanpa hak mengambil harta kepunyaan orang lain.
Pemilik dilindungi dalam menikmati hartanya asal saja tidak sampai mengganggu
ketentraman umum.
Hukum
juga mengatur supaya selalu terjamin kesusilaan di dalam masyarakat. Yang
dituju oleh hukum ialah ketertiban masyarakat suatu peraturan hukum adalah
untuk keperluan penghidupan di dalam masyarakat demi kebaikan dan ketentraman
bersama. Hukum mengutamakan masyarakatnya bukan kepentingan perorangan atau
gollongan, hukum juga menjaga dan melindungi hak-hak dan menentukan
kewajiban-kewajiban anggota masyarakat agar dapat tercipta suatu penghidupan
masyarakat yang teratur dan damai adil dan makmur. Kepentingan dan keinginan
seseorang adakalanya sejalan dengan orang lain tetapi adakalanya bertentangan
malah menimbulkan perselisihan, maka hukum dapat mendamaikan yang bertentangan
atau mengatur jangan sampai terjadi perselisihan dengan menentukan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban sesama anggota masyarakat.
Ada beberapa pendapat
mengenai tujuan hukum, yaitu :
1. Aristoteles,
bukunya Rhetorica mengatakan :
Tujuan
hukum adalah membuat adanya keadilan jadi mempunyai tugas yang suci yaitu
memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Aristoteles membedakan
2 macam keadilan yaitu :
·
Keadilan distributif, ialah memberikan
kepada orang jatahnya berdasarkan jasanya. Jadi memberikan kepada setiap orang
apa yang menjadi haknya berdasarkan azaz keseimbangan.
·
Keadialan komutatif, ialah keadilan yang
memberikan kepada setiap orang bagian yang sama. Jadi memberikan kepada setiap
orang apa yang menjadi haknya berdasarkan azaz kesamaan.
Anggapan
Aristoteles ini pincang sebab apa yang dirasakan adil pada tiap-tiap orang itu
berbeda-beda. Oleh seorang dianggap adil mungkin oleh orang lain tidak adil misal
tentang pelebaran jalan, bagi yang memang pekarangan halaman rumahnya luas ia
merasa karena dengan pelebaran jalan maka kelas jalannya jadi naik jadi bagi
orang ini adalah adil, tapi bagi orang yang tanahnya memang sempit ini
dirasakan cukup berat karena tanahnya habis terpotong oleh jalan. Maka apakah
untuk menerapkan keadilan ini harus dibuat 2 peraturan yang mengaturnya? Ini
tidak mungkin sebab peraturan harus bersifat umum meskipun ada
pengecualian-pengecualian.
2. Menurut
Utiliteits Theorie. (Pandangan yang pragmatis)
Tujuan hukum adalah kemanfaatan bagi
masyarakat. Pandangan ini pada pokoknya berbunyi : Hukum menjamin bahagia
sebanyak-banyaknya bagi orang yang sebanyak-banyaknya. Pandangan ini sangat
sempit dan tidak meemuaskan.
3. Bellefreid
Isi hukum harus ditentukan oleh 2 azaz
yaitu azaz keadilan dan azaz kemanfaatan.
4. Van
Kan
Hukm bertujuan menjaga
kepentingan-kepentingan tiap-tiap manusia agar kepentingan itu tidak terganggu.
Di sini terkandung kepentingan mana yang lebih diutamakan, kepentingan masyarakatkah
atau kepentingan individu, individu sebagai anggota masyarakat di dalam
masyarakat itu.
5. Prof.
Van. Apeldoorn
Tujuan hukum adalah mengatur tata tertib
masyarakat secara adil dan dengan jalan damai. Hukum menghendaki adanya
perdamaian. Perdamaian dipertahankan oleh hukum dengan jalan melindungi
kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu, kehormatannya, kemerdekaannya,
jiwanya, harta bendanya, dsb terhadap yang merugikannya. Hukum mempertahankan
perdamaian dengan jalan menimbang kepentingan-kepentingan yang bertentangan
dengan cara teliti dan mengadakan keseimbangan diantaranya. Berarti dengan
demikian hukum dapat mencapai tujuannya kalau peraturannya secara adil, artinya
peraturan itu terdapat keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi berarti
setiap orang memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi bagiannya.
6. Utrecht
Tujuan hukum adalah menjadi adanya
kepastian hukum dalam pergaulan manusia, menjamin keadilan dan harus berguna,
bila perlu yang adil dikorbankan untuk yang berguna. Dari pendapat Utricht ini
kami berpendapat bahwa suatu peraturan hukum yang yang baik harus mengandung 2
unsur yaitu mengembankan keadilan untuk yang berguna dan menjamin kepastian
hukum. Peraturan yang selalu berubah-ubah tidak adakan menjamin adanya
kepastian hukum bahkan kan kehilangan authority (wibawa) nya. Wibawa ini
menurut Prof. O. Notohamijoyo, SH adalah sisihan daripada ketaatan. Wibawa itu
ditaati tapi kalau kuasa ditakuti.
Wibawa ini ada 2 macam yaitu :
Ø Wibawa
Jabatan yaitu wibawa yang diperoleh karena fungsi dalam ikatan atau verband,
misalnya keluarga, perusahaan, negara. Wibawa ini menebal karena
tindakan-tindakan yang tertib menurut wewenang jabatannya, karena penghormatan
tata ikatannya. Sekarang pejabat dapat menambah wibawanya dengan bertindak yang
tertib menurut wewenangnya dan dengan menjunjung tata ikatan yang menjadi tugas
pemeliharaannya. Pejabat dapat kehilangan wibawanya karena tindakan yang
sewenang-wenang dan dengan merusak tata ikatan yang harus dipelihara.
Ø Wibawa
Pribadi yaitu wibawa yang berasal dari kualitas atau mutu yang luar biasa yang
dikaruniakan oleh Tuhan kepada seseorang, ini dapat dijumpai didalam bidang
religi, kesusilaan, ilmu, kesenian, tehnik. Wibawa ini akan bertambah kuat
dengan adanya kesusilaan yang tinggi dan menurun dengan merosotnya akhlak.
Kapankah
hukum itu berwibawa? Hukum itu berwibawa apabila ditaati oleh pejabat hukum dan
orang-orang. Dalam hal ini wibawanya akan bertambah jika :
1. Memperoleh
dukungan dalam masyarakat.
2. Hukum
itu dalam pembentukannya tidak diisolasikan dari norma sosial lain bahkan
disambungkan dan disesuaikan dengan norma sosial yang berlaku.
3. Ada
kesadaran hukum dari masyarakat hukumnya.
4. Ada
kesadaran hukum yang bertugas untuk memelihara hukum.
Tugas dari pejabat
hukum yaitu PANCAWARNA :
1. Melakukan
Yustitialisasi hukum artinya keputusannya memperhitungkan kemanfaatan harus
diintikan keadilan.
2. Pneumatisasi
dari pada hukum artinya merahasiakan hukum. Ia harus dijiwai dengan roh yang
takut dan tunduk kepad Allah.
3. Integrasi
dari pada hukum maksudnya : Realisasi dari pada hukum dalam keputusan pejabat
hukum harus mengintegrasikan hukum in concreto (konkrit) dalam keseluruhan
bidang hukum. Keputusan pejabat hukum tidak boleh merupakan Fremdkarpet (unsur
asing) melainkan bagian yang integral dari pada sistem hukum nasional kita.
4. Tatalisasi
dari pada hukum. Keputusan pejabat hukum di samping di integrasikan dalam
huukum nasional ia juga hrus di tatalisasikan dalm aspek-aspek kenyataan yang
lalu. Jadi pejabat hukum wajib mengkonkritkan keputusannya dalam kenyataan kehidupan
sosial dan ekonomi di Indonesia.
5. Personalisasi
dari Hukum
Mengkhususkan keputusan pejabat hukum kepada
personal (kepribadian) dari pihak-pihak yang menccari keadilan. Dalam
personalisasi dari pada hukum itu memuncaklah tanggung jawab pengadilan sebagai
pengayoman (tempat mencari keadilan). Hakim harus memberikan pengayoman kepada
manusia-manusia sebagai pribadi yang mencari keadilan.
Melihat
dari tugas-tugas pejabat hukum ini, bagi kita seolah-olah hukum itu tidak akan
tergoyahkan oleh siapapun juga. Tetapi walaupun demikian wibawa hukum akan
melemah apabila :
1. Hukum
tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari norna-norma sosial bukan hukum,
misal melemahnya Value System dalam masyarakat akibat modernisasi, dengan
datangnya idiologi-idiologi dengan nilai-nilai baru.
2. Norma
hukum tidak sesuai dengan norma sosialyang bukan hukum. Misal hukum dibentuk
dengan terlau progresif sehingga dirasakan sebagai sebagai norma-norma asing
dari rakyat, tidak merasa terikat dengan norma itu.
3. Tidak
ada kesadaran hukum dan kesadaran norma yang semestinya dari masyarakat.
4. Pejabat
hukum tidak sadar akan kewajibanya yang mulia untuk memelihara hukum negara,
mengkorupsikan hukum ini terjadi karena :
§ Kurang
kesadaran bernegara
§ Kurang
mengerti tujuan dalam fungsi hukum dalam pembangunan masyarakat negara
§ Kuurang
bertanggung jawab
§ Melemhnya
akhlak
§ Sikap
masa bodoh
§ Mencari
untung untuk diri sendiri
5. Pemerintah
pusat dan daerah berusaha membongkar hukum yang berlaku untuk maksut tertentu.
Pemerintah seharusnya mendukung hukum dengan kewibawaanya malah menghormati
hukum yang berlaku.
Dengan adanya faktor-faktor yang menyebabkan lemahnya
wibawa hukum ini maka bagi kita perlu mengetahui apa yang menjadi tugas dari
hukum itu.yaitu:
- Menciptakan tata (orde) dalam masyarakat.misalnya dalam berjalan kita harus sebelah kiri,mengejar mobil di depan dari sebelah kanan.Dalam hal ini yang menonjol Utilitas yaitu kegunaan/kemanfaatan.
- Mendatangkan keseimbangan dan damai antara kepentingan manusia dalam masyarakat.Yaitu memberikan pada masing-masing bagiannya dengan prestasi seimbang dengan kontra prestasi.Jadi hukum sebagai neraca,kepentingan pihak satu ditimbang dengan kepentingan pihak lain.
- Menjamin kebebasan masing-masing untuk mengembangkan kepribadiannya ,untuk menikmati hak-hak nya dan menunaikan kewajiban-kewajibannya.(memberi kesempatan kepada masing-masing untuk berkreatif).
- Memberikan tanggung jawab sesuai dengan mutu masing-masing (memberikan masing-masing bagiannya dengan memperhitungkan kualitas masing-masing).
- Mengetahui pidana (hukuman) bagi yang melakukan kejahatan.jadi memberikan kepada masing-masing bagian hukumannya sesuai dengan deliknya (masalah)nya.
Di
dalam semua dharma (tugas) ini hukum memberikan pengayoman kepada semua orang
yang menjadi keadilan dan tata masyarakat.
1.5
Mengapa Orang Taat Pada Hukum ?
Untuk
mencapai tujuannya hukum harus ditaati tidak mungkin ada tata tertib kalau
hukum tidak ditaati,juga tidak mungkin ada keadilan kemanfaatan dan kepastian
hukum kalau hukum tidak ditaati.Yang menjadi masalah ialah:Apabila sebabnya
orang taat pada hukum?Dorongan-dorongan apa yang menyebabkan orang taat pada
hukum.Untuk ini ada bermacam-macam teori mengapa orang taat pada hukum.
1. Teori
Teokrasi (Teori Ketuhanan)
Orang
taat pada hukum karena hukum itu adalah kehendak tuhan.Hukum berasal dari
penguasa,sedangkan penguasa adalah wakil tuhan di dunia.Jadi hukum adalah
manifestasi dari kehendak tuhan,jadi sudah seharusnya manusia mentaatinya.
2. Teori
Hukum Alam (Teori Perjajjian Masyarakat)
Manusia
dalam keadaan alam (manusia ini abstrakto manusia status naturalis) adalah
manusia yang terlepas dari masyarakat (masyarakat yang sudah memiliki ratio)
ini adalah hal untuk membedakan baik dan buruknya. Dengan ratio ini manusia
menyadari bahwa hidup sendiri-sendiri tidak baikkarena tidak dapat memenuhi
tugas-tugas kemanusiaannya. Kemudian individu-individu yang terlepas itu
mengadakan perjanjian untuk bekerjasama, agar dalam kerjasama itu ada
koordinasi maka mereka menunjuk seseorang untuk memimpin kerjasama itu, kepada
siapa orang-orang itu akan tunduk. Kerjasama inilah yang akan berkembang
menjadi suatu negara. Jadi menurut ini orang taat kepada hukum karenaorang
tidak menyerahkan kekuasaannya kepada penguasa untuk menetapkan
peraturan-peraturan bagi dirinya. Jadi orang taat pada hukum karena kehendak
mereka sendiri. Tapi teori ini jauh dari kenyataan sifatnya terlalu teoritis
sebab menurut kenyataannya tidak ada manusia yang terlepas dari masyarakat,
manusia lahir dengan sendirinya sudah ada dalam masyarakat yang terkecil yaitu
keluarga.
3. Teori
Kekuatan
Dalam
keadaan akan manusia itu punya perbedaan-perbedaanbaik dari fisik maupun
mental, disini hukum sudah ada yaitu hukum rimba artinya yang kuat yang
berkuasa. Orang yang kuat mengalahkan yang lemah dan mengusai serta
memperalatnya. Orang-orang yang kuat inilah yang menetapkan aturan-aturan
bagaimana seharusnya bertingkah laku. Jadi orang taat kepada hukum adalah
karena adanya paksaan (macth,power) dari yang kuat.
4. Teori
Kedaulatan Negara
Hukum
adalah kehendak negara. Negara mempunyai kekuatan (macth.power) untuk memaksa
warga negaranya mentaati hukum. Jadi orang taat pada hukum karena negar
menghendaki demikian, negara punya kekuatan yang tidak terbatas untuk memaksa
warga negaranya taat pada hukum. Pendapat Jelinek.
5. Teori
Kedaulatan Hukum (Prof. Krabbe)
Orang
taat pada hukum karena hukum itu berasal dariperasaan hukum tiap-tiap orang.
Jadi masing-masing orang itu sudah mempunyai perasaan bagaimanakah hukum
ituseharusnya. Hukum yang sesuai dengan perasaan masing-masing orang itulah
yang berjalan baginya.
Timbul
pertanyaan,untuk satu hal saja tentu harus ada banyak peraturan agar dapat
memuaskan perasaan hukum setiap orang karena masing-masing orang punya perasaan
hukum yang berbeda-beda.Dengan adanya pertanyaan ini,maka teori krabe bukan
perasaan hukum masing-masing orang yang menentukan hukum tetapi perasaan hukum
yang ada pada sebagian besar anggota masyarakat.
Teori
kedaulatan hukum punya kelemahan-kelemahan yaitu:
1. Bagi
Negara yang tak ada DPR atau ada DPR hanya merupakan trompet pemerintah
saja,maka teori ini tak dapat diterapkan.
2. Ini
hanya berlaku(dapat)diterapkan pada Negara yang mengenal demokrasi dengan
system pemisahan kekuasaan yang murni,missal Amerika Serikat.Indonesia meskipun
punya DPR tapi keputusan diambil dengan musyawarah dan mufakat.
3. Peraturan
hukum tidak hanya terdiri dari UU yang ditetapkan oleh DPR tapi ada
KEPRES,keputusan menteri dan lain-lain.Mungkin peraturan ini ditetapkan atas
dasar pertimbangan subjektif dari pejabat-pejabat.
4. Sendiri tidak dapat membuktikan perasaan hukum
masyarakat terbesar itu sungguh-sungguh ada.
6. Etricht
Sebab-sebab
orang taat pada hukum:
1. Orang
menerima karena peraturan itu dirasakan sungguh-sungguh sebagai hukum.
2. Orang
menerima aturan itu karena ia menghendaki tata tertib dalam masyarakat.
3. Baru
dirasakan sebagai hukum kalau mereka memperoleh akibat/sanksi dari suatu
pelanggaran terhadap aturan tersebut.
4. Mereka
taat karena adanya paksaan rasial mereka takut dikatakan sebagai makhluk
sosial.
Dari
berbagai teori mengapa orang taat pada hukum sebagaimana tersebut di atas,ini
semua bisa mencapai sasarannya jika manusia itu sendiri menyadari akan dirinya
masing-masing bahwa manusia itu adalah sebagai makhluk hukum. Manusia sebagai
makhluk hukum maksudnya adalah manusia sebagai makhluk sosial yang hidup di
tengah-tengah masyarakat yang serba modern yang berlandasan norma-norma yang
berlaku sesuai dengan pancasila dan undang–undang dasar 1945.jadi bukanlah
sebagai masyarakat jahiliyah yang penuh kezaliman.
Sedangkan
yang dimaksud dengan masyarakat modern disini adalah masyarakat yang penuh akan
kesadaraan hukum ,peradaban yang baik serta mengikuti kemajuan yaitu teknologi
modern dengan demekian konsekuensinya bahwa tiap manusia itu harus terikat oleh
ketentuan baik hukum tuhan ,hukum negara ,hukum antar negara atau golongan dan
hukum warga negara terikat dalam hal ini adalah dalam arti yang mungkin sebagai
warga negara secara langsung karena ia berada di tenga-tengah masyarakat dan
sebagai anggota masyarakat dan ada pula ,yang terikat belum secara langsung
karna warga negara asing
Jadi dengan demikian kalau seluruh masyarakat sudah
menyadari akan hal yang demikian berarti tak seorang pun boleh berbuat bebas
leluasa tampa mengindahkan ketentuan hukum,larangan ini kalau dilanggar mendapat
sangsi (dosa bagi agama) dan besar kecilnya kesalahan adalah tergantung dari
pelaku itu sendiri ,sedangkan bagi orang yang memiliki kesadaran dan tanggung
jawab yang tinggi terhadap negara tentu saja pelangaran tipis kemungkinan untuk
dilakukan, tapi sebaliknya bagi mereka yang tidak mempunyai kesadan dan
tanggung jawab yang tinggi sering berbuat diluar hukum. Ucapan-ucapan dari
pejabat negara di media massa yang berusaha menghimbau aparat bawahannya dan
masyarakat umumnya agar disadari bahwa penegakkan hukum itu pada hakikatnya
bukanlah hanya tanggung jawa aparat tapi menjadi tanggung jawab kita semua. Di
ujung pandang beberapa waktu yang lalu dalam pekan Pendidikan Politik Kader
Bangsa yang diselenggarakan oleh DPP SOKSI Sulsel (Sulawesi Selatan), tiga
pejabat negara masing-masing Ketua Mahkamah Agung Mudjono, SH. Jaksa Agung
Ismail Saleh, SH. Dan Kapolri Awaluddin Djamin mengulang dan menegaskan
himbauan tersebut.
Ketiga
pejabat negara itu mengakui secara jujur bahwa ketertiban hukum dimulai dari Penegak
hukum itu sendiri, jadi aparat penegak hukum sebagai kunci penegakkan hukum
sebab: Pertama: Sebagian besar masyarakat kita masih menganut nilai-nilai yang
berorientasi ke atas, apa yang datang dari atas cenderung untuk dituruti,
bahkan untuk masyarakat yang tinggal di desa hukum itu identik dengan pejabat
atau aparat.
Kedua:
Politik hukum kita sebagaimana tertera dalam GSHN diarahkan untuk korunifikasi
dan terkodifikasi seraya memupuk kesadaran hukum masyarakat. Aparat penegak
hukum adalah cermin dari Unifikasi itu sendiri.
Tak
ada yang disebut sebagai Hakim, Jaksa, Polisi Batak. Minangkabau, atau Toraja.
Yang ada Jaksa, Polisi, Hakim Indonesia dan punya ruang lingkup wewenang Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sikap tindak aparat ini memudahkan tumbuhnya rasa
kesatuan di antara berbagai kelompok masyarakat kita yang sampai saat ini masih
tebal rasa komunitinya. Tapi masih perlu pejabat-pejabat kita mengulang-ulang
himbauan agar peranan sentral aparat penegak hukum ini diperhatikan? Barangkali
pesan-pesan itu kurang efektif sebab hukum hal yang luar biasa kalau baru
kemarin kita mendengar, membaca himbauan penegak hukum tapi hari ini kita
mendapat berita yang menggambarkan keadaan sebaliknya. Seolah-olah himbauan itu
sisambut dengan keogahan atau kebosanan.
Di
dalam kehidupan masyarakat kita penerimaan pesan oleh seseorang banyak
ditentukan oleh pengalaman, pengetahuan dan lingkungan yang membentuk kerangka
acuan sikap tindakannya setiap pesan yang datang padanya terlebih dahulu akan
disaring lewat kerangka acuan ini.Dan karenanya nilai sebuah pesan tak
selamanya ditentukan oleh pesan itu sendiri tapi juga oleh kerangka acuan
sipenerima.Untuk pesan yang sifatnya masih baru,artinya diluar kerangka acuanya
biasanya penerima banyak tergantung pada nilai pesan itu sendiri dalam arti
seberapa jelas ia dirumuskan dan disebarkan.Tapi untuk pesan yang sudah pernah
ia terima akan banyak ditentukan oleh krangka acuanya.Pesan-pesan hukum kita
bagi sebagian masyarakat masih terbilang baru.Tradisi hukum disetiap kelompok
masyarakat kita ditandai dengan hukum tidak tertulis.Sementara hukum yang
hendak dibagikan sekarang ini banyak bersifat tertulis,dan karena ketertulisan inilah timbul masalah
kesadaran hukum yang menurut GBHN kita perlu ditumbuh kembangkan.
Dalam
masyarakat yang memiliki tradisi hukum tak tertulis seperti masyarakat sebelum
merdeka hukum itu tumbuh dari bawah.Suatu patokan sikap tidak baru menjadi
hukum apabila sesuai dengan keadilan dari masyarakat.Sekarang dengan makin
banyaknya hukum yang tertulis yang datang dari atas ada kemungkinan ia tak
sesuai dengan rasa keadilan masyarakat dimana hukum itu hendak ditegakkan,maka
disinilah yang membutuhkan penumbuhan kesadaran hukum itu.Aparat penegak hukum
kita mempunyai latar belakang budaya yang berbeda-beda,ada yang budaya dimana
atasan atau yang dituakan tak boleh diprotes dan ada yang boleh diprotes.
Dalam
kelompok budaya yang boleh diprotes atasan ini masih terdapat berbagai
ungkapan.Ada yang mengungkapkan dalam bentuk sindiran-sindiran ada yang dengan cara
berkumpul dalam suatu acara tertentu berharap agar diperhatikan atasan adapula
yang mengungkapkanya dengan jalan meningalkan atasanya pergi mencari tempat
yang baru. Bagi seseorang yang menjadi aparat hukum banyak sedikitnya akan
terpengaruh oleh konsep budaya seperti ini. Bagi seseorang yang berasal dari
budaya protes terhadap atasan memaksa. Cara sindiran akan amat peka terhadap
protes yang dilakukan secara terus terang. Mendengar ungkapan terus terang
cenderung akan ditanggapinya dengan sikap reaktif karena dipandangnya protes
tapi sudah mengancam kedudukanya. Sebaliknya orang yang berasal dari latar
budaya dimana protes diungkapkan terus terang akan merasa tak ada apa-apa alias
buta terhadap sindiran-sindiranya. Tapi terhadap protes terus terang tidak ia
anggap sebagai pengancam kedudukan, malah protes semacam ini akan ia tanggapi
secara responsif sebab ia berpendapat bahwa kedudukannya akan terancam manakala
ia meniadakan protes ini, ia justru harus bertindak sepandai mungkin agar
protes ini dapat ia arahkan sesuai kepentingannya.
Di
dalam masyarakat kita tampaknya lebih dominan konsep diri di mana segala protes
harus dalam bentuk sindiran-sindiran, karena nya sering kita melihat reaktif
dari sementara aparat kita bila mendengar protes, dan dari sini lah ayal
munculnya rasa diri paling berkuasa sehingga digunakan berlebih-lebihan. Di
sana sini kita mulai melihat dari beberapa pejabat negara melalui merangsang
tumbuh nya responsif dalam menghadapi kritik atau protes seperti dikatakan
jaksa agung Ismail Saleh. S.H pada pendidikan politik SOKSI “Kantor Pak
Awalludin (POLRI) dan Kantor Jaksa Agung terbuka lebar untuk seluruh kritik
yang di lontarkan bahkan pintu hati mereka terbuka untuk di kritik. Tapi
melihat pengalaman selama ini besar dugaan kita keterbukaan itu akan lebih
kecil dilaksanakan, Pucuk pimpian memperoleh sumbu nilai yang berlainan dengan
bawahan,di samping pengetahuan aparat penegak hukum kita khusus nya polisi
masih belum tahu yang sebenarnya, juga faktor lingkungan sangat besar peranannya.
Aparat
penegak hukum selayaknya tak semena-mena karena ini akan menghambat
pembangunan, penegak hukum seharusnya memperlancar pembangunan karenanya
berlaku sebagai abdi rakyat, bagi pimpinan mudah menarik konsolitiknya, tapi
bagi bawahan bukan mudah untuk memahaminya. Celakanya pesan belum masuk dalam
acuannya mereka sudah dihadapkan dengan lingkungan yang penuh ragam kata.
Berbagai kata yang semula menurut kerangka acuan nya berarti tertentu telah
merubah atau diubah menjadi tertentu. Misalnya : Menahan seseorang tanpa
dasr hukum dianggap tidak melanggar hukum karena “menahan” dialihkan dengan
arti “mengamankan”. Inilah penyebab tak sampai nya ke sasaran segala pesan dari
pimpinan. Jadi pada akhirnya adalah tergantung dari pada pribadi aparat penegak
hukum dan masyarakat itu sendiri.
1.6
Pembagian Hukum Di Dalam Lapangan-Lapangan Hukum
(Penggolongan
Hukum, Klarifikasi Hukum)
Hukum
digolong-golongkan di dalam lapangan-lapangan hukum. Tergantung ukuran yang
kita pakai di dalam penggolongan itu, dapatkah kita membagi-bagi
lapangan-lapangan di dalam bermacam-macam penggolongan.
Tata
Hukukm Indonesia pernah mengenal pasal-pasal 102 dan 108 UUDS R.I yang
menyebut-nyebut lapangan-lapangan hukum. Pasal 102 menyebut lapangan : Hukum
Perdata, Hukum Dagang, Hukum Pidana Sipil, Hukum Pidana Militer, Hukum Acara
Perdata, dan Hukum Acara Pidana Selain itu oleh pasal 102 masih disebut-sebut
mengenai asuan dan Kekuasaan Pengadilan. Pasal 108 menyebut satu lapangan hukum
lagi.Yaitu Hukum Usaha. Kedua pasal dalam UUDS itu tidak menyebut semua
lapangan hukum didalam Tata Hukum Indonesia,karena memang bukan maksud bentu
UUD untuk membagi-bagi lapangan-lapangan hukum didalam pasal-pasal tersebut. Pasal
102 hanya menyebutkan lapangan-lapangan hukum mana yang harus diatur dengan
Undang-undang dalam kitab-kitab hukum atau kodifikasikan. Kodifikasi berasal
dari kata “codex” yang artinya kitab hukum. Pasal 108 hanya hanya menentukan
siapa yang harus memutuskan sengkete-sengketa mengenai Hukum Tata Usaaha.
1). Cara penggolongan
yang pertama, kita kenal sebagai cara penggolongan
tradisional – klassik. Kriteria apa yang dipakai tidaklah disebut-sebu. Di
dalam penggolongan ini disebut :
a. Hukum Tata Negara
b. Hukum Tata Usaha Negara
c. Hukum Perdata
d. Hukum Dagang
e. Hukum Pidana(Sipil dan Militer)
f. Hukum Acara yang di bagi dalam :
- Hukum Acara Pidana
- Hukum Acara Perdata
Penggolongan
ini dinamakan penggolongan secara tradisional – klassik karena sudah lama
dikenal dan senantisa dipakai dalam banyak tata hukum, terutama di Eropa dan
juga tata hukum India Belanda dulu. Rupanya Pasal 102 dan 108 UUDS tidak pula
lepas dari tradisi ini.
2). Penggolongan hukum
menurut kepentingan-kepentingan yang dilindungi.
(Utrecht
menyebut penggolongan ini menurut isinya.)
Menurut van kan, hukum bertujuan
melindungi kepentingan-kepentingan manusia, agar kepentingan itu tidak dapat
diganggu). Berdasarkan kepentingan mana yang dilindungi , maka kita dapat
menggolongkan hukum di dalam 2 golongan, yaitu:
a. Hukum
Privat, yaitu keseluruhan aturan-aturan hukum yang melindungi kepentingan
masing-masing individu sebagai anggota masyarakat.
b. Hukum Publik, yaitu keseluruhan aturan-aturan
hukum yang melindungi kepentingan-kepentingan umum, kepentingan masyarakat.
Pada
hemat kami, tidak ada satu golongan hukum yang semata-mata melindungi salah
satu kepentingan saja, baik
itu kepentingan-kepentingan individu maupun kepentingan masyarakat. Pada
umumnya hanyalah bahwa pertimbangan kepentingan manakah yang dominan,
kepentingan umum ataukah individualah yang menentukan di dalam golongan hukum
mana suatu aturan hukum ditempatkan. Hukum publik ataukah hukum privat. Di
dalam praktek, memang jarang ada suatu peraturan yang semata-mata mengurus
mengurus kepentingan publik atau kepentingan masyarakat. Bahkan di dalam
perkembangan hukum akhir-akhir ini, lapangan hukum publik menjadi semakin luas,
karena ada hal-hal yang dulu merupakan kepentingan privat semata-mata, sekarang
sudah dicampuri oleh penguasa.
Menurut
Gustar Radbruch, selain dua kepentingan tersebut, masih ada kepentingan lain
yang tidak dapat/sukar untuk digolongkan di dalam kepentingan publik maupun
privat. Hukum yang mengurus kepentingan ketiga ini, hendaknya dijadikan satu
golongan hukum tersendiri. Karena masalah-masalah itulah maka banyak sarjana
yang tidak menyukai cara penggolongan ini. Tetapi menurut kenyataan, di dalam
hukum positif, penggolongan dengan cara
tersebut di atas (oleh Prof. Kusumadi disebut pembagi duaan) masih
selalu dipakai.
Mr.
Soediman Kartohadiprojo di dalam bukunya “Pengantar Hukum di Indonesia” di
ddalam uraiannya mengenai hukum yang berlaku di Indonesia masih menggunakan
“pembagi duaan” hukum ini. Hanya saja, kriteria yang beliau pakai adalah
berlainan. Menurut beliau dalam perkembangan hukum itu dipengaruhi oleh dua unsur,
yaitu: Unsur kesadaran hukum masyarakat dan Unsur politik hukum negara. Apakah
di dalam perkembangannya unsur kesadaran hukum masyarakat yang lebih
berpengaruh, maka dapat digolongkan di dalam hukum privat. Apabila unsur
politik hukum negara yang lebih berpengaruh, maka kita dapati hukum publik.)
3). Penggolongan hukum
menurut sumbernya.
Menurut sumbernya kita dapat menggolongkan hukum di
dalam:
a. Hukum
Undang-undang, yaitu hukum yang bersumber pada peraturan (perundang-undangan).
b. Hukum
kebiasaan/adat, yaitu hukum yang bersumber pada kebiasaan/adat.
c. Hukum
perjanjiaan, yaitu hukum yang bersumber pada perjanjian.
d. Hukum
traktat, yaitu hukum yang bersumber pada perjanjian-perjanjian antar negara.
e. Hukum
jurisprudensi, yaitu hukum yang sumbernya adalah keputusan hakim.
f. Hukum
doktrin, yaitu hukum yang bersumber pada ajaran-ajaran hukum (doktrin)
g. Hukum
revolusi, yaitu hukum yang bersumber pada keadaan-keadaan tidak normal, yang
terjadinya sesungguhnya merupakan tantangan terhadap tertib hukum yang berlaku
pada saat itu.
4). Penggolongan hukum
menurut luas berlakunya.
a. Kalau yang dimaksud luas berlakunya ini
adalah batas-batas negara, kita mengenal:
1) Hukum
Nasional, yaitu hukum yang berlakunya di dalam batas-batas suatu negara.
2) Hukum
Internasional, yaitu hukum yang berlakunya melampaui batas-batas suatu negara.
b. Di
dalam batas-batas negara luas berlakunya hukumpun berbeda-beda.
1) Kalau
berlakunya di dalam lingkungan yang lebih luas, maka kita sebut hukum umum (ius
general)
2) Kalau
berlakunya di dalam lingkungan yang lebih sempit kita sebut Hukum Khusus (ius
special, ius particulare).
Mengenai
Hukum Khusus ini dapat di golong-golongkan lagi:
a)
Mengenai tempatnya (ius particulare)
Contoh:
·
Hukum Pajak Indonesia (Umum)
·
Hukum Pajak untuk D.I.Y. (Khusus)
b) Mengenai
orangnya
Contoh:
·
Hukum Pidana Sipil (Umum)
·
Hukum Pidana Militer (Khusus)
c) Mengenai
perbuatan hukumnya
Contoh:
·
Hukum Perdata (Umum), mengatur
perbuatan-perbuatan/hubungan-hubungan hokum antara subyek-subyek hokum secara
umum.
·
Hukum Dagang(Hukum Perdata Khusus),
mengatur perbuatan-perbuatan/hubungan-hubungan hokum bagi orang-orang yang
menjalankan perusahaan. Menjalankan perusahaan disini merupakan
perbuatan/hubungan hokum perdata yang sifatnya khusus. b) dan c) ini yang
disebut ius speciale.
Penggolongan
hukum menjadi Hukum Umum dan Hukum Khusus ini mengandung suatu konsekuensi yang
berwujud suatu adagium yang berbunyi: “Lex specialis dorogat legi generali”.
Secara letterlijk adagium tersebut dapat diterjemahkan dengan: Undang-Undang
Khusus menglahkan Undang-Undang Umum. Perkataan Undang-undang (lex) ini
seharusnya (sekarang) dibaca sebagai hokum (ius), karena adagium itu berlaku
baik bagi hokum Undang-Undang maupun hokum yang berasal dari sumber-sumber
lain. Digunakan perkataan lex dan bukan ius, karena pengaruh paham logisme,
yaitu paham yang mengatakan bahwa di luar Unang-Undang tidak ada hukum. Jadi
hokum disamakan dengan Undang-Undang.
Maksud
dari adagium ini adalah: Apabila mengenai hal itu ada dua peraturan, serta
bersifat umum, satu bersifat khusus, maka peraturan yang khususlah yang
dipakai. Di dalam hukum positif Indonesia, adagium ini dijelaskan dalam pasal 1
K.U.H.D. , yang isinya adalah bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata berlaku
juga bagi hal-hal yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang ini (K.U.H.D) kecuali apabila di dalam K.U.H.D diatur
sendiri secara menyimpang. Jadi kalau di dalam KUHD diatur sendiri secara
menyimpang dari KUHD perdata, maka ketentuan di KUHD-lah yang dipakai.
Contoh : Periksa pasal
1881 K.U.H. Perdata dan pasal 7 K.U.H.D.
5. Penggolongan Hukum
menurut sanksinya.
(sering juga disebut
penggolongan hukum menurut sifatnya)
Menurut sanksinya hukum
digolongkan menjadi :
a. Hukum
pemaksa (yang bersifat memaksa) nis :1602 BW Majikan
b. Hukum
pelengkap (yang bersifat mengatur dan melengkapi). Misal : 1579 BW sewa
menyewa.
Sebenarnya
istilah-istilah itu tidak tepat, karena semua hukum masih bersifat memaksa dan
juga bersifat mengatur .
a)
Hukum pemaksa adalah aturan hukum yang
tidak bisa dikesampingkan oleh perjanjian. Jadi hukum pemaksa itu tidak bisa
dikuasai oleh kehendak individu. Dalam keadaan bagaimanapun hukum pemaksa ini
harus ditaati, jadi mempunyai pemaksaan mutlak. Semua aturan di dalam hukum
pemaksa adalah hukum pemaksa, sedangkan hukum perdata sebagian bersifat
memaksa, sebagian lagi bersifat mengatur atau pelengkap.
b)
Hukum Pengatur Atau Pelengkap, adalah
keseluruhan aturan hukum yang dapat dikesampingkan oleh perjanjian antar
pihak-pihak. Aturan-aturan hukum perdata sebagian lagi
bersifatpelengkap/pengatur.
Ada berbagai cara untuk mengatur mengenal apakah
suatu aturan suatu hukum itu pengantar/pemaksa.
1) Didalam
peraturan itu sendiri dapat dilihat bahwa peraturan itu bersifat memaksa, atau
hanya pelengkap/pengatur, karena ada kalimat yang mengatakan hal itu.
Kalimat
“kecuali jika diperjanjikan lain” menunjukan bahwa suatu aturan hukum itu
mempunyai sifat pengatur/pelengkap, sedang kalimat”tiap-tiap janji yang
bertentangan dengan ketentuan ini adalah batal”menunjukan sifat pemaksa dari
suatu aturan hukum.
2) Didalam
sisti undang-undang itu dapat dilihat apakah itu pelengkap atau pemaksa.
Didalam
memahami suatu pasal dari suatu undang-undang, kita tidak boleh menafsirkannya
secara berdiri sendiri terlepas dari yang lain. Dari hubungannya dengan
ketentuan-ketentuan lain itu, dapatlah kita mengetahui apakah suatu aturan
hokum itu berisi pemaksa/pengatur.
3) Dengan
Jalan Penafsiran
Suatu
aturan hokum yang apabila kita tefsirkan sebagai pelengkap tidak dapat mencapai
tujuannya, maka aturan itu adalah pemaksa.
Akibat pelanggaran
terhadap aturan hokum pemaksa itu ada tiga macam, yaitu:
a. Batal
b. Dapat
dibatalkan
c. Tidak
ada akibat apa-apa.
Contoh:
v Batal.
Lihat pasal 1602 B.W. yang isinya “majikan wajib membayar upah buruh pada waktu
yang sudah ditentukan”.
v Perkawinan
yang dilakukan sebelum 300 hari dari pecahnya perkawinan sebelumnya bagi seorang janda dapat dibatalkan (B.H.).
v Seperti
contoh nomor dua di atas, bagi yang melekukan tidak ada akibat apa-apa. Akibat
berupa sanksi dapat dikenakan pada pejabat-pejabat yang menikahkan mereka.
6. Penggolongan Hukum
Menurut Struturnya (Susunannya)
Aturan
hukum itu bersusun bertingkat-tingkat yang satu lebih tinggi dari yang lain dan
sebaliknya. Aturan tertinggi terdapat di dalam UUD, dibawahnya terdapat
Undang-Udang, kemudian Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah seperti Peraturan
Provinsi, Kota Madya, Kabupaten, Desa dan peraturan-peraturan
bertingkat-tingkat diatur secara hierarchies.
Konsekuensi dari
keadaan ini adalah adanya suatu azas yang berbunyi:
1. Kalau
ada suatu hal diatur oleh dua peraturan yang berbeda tingkatannya, maka yang
berlaku adalah peraturan yang lebih tinggi. Jadi, peraturan yang lebih rendah
tidak berlaku.
2. Suatu
ketentuan di dalam suatu peraturan tidak dapat ditiadakan atau diubah oleh
aturan yang lebih rendah. Misalnya, suatu ketentuan di dalam UUD tidak dapat
diubah atau ditiadakan oleh Undang-Undang. Yang dapat mengubah/mengadakannya
adalah hanya pembentuk UUD sendiri, kecuali kalau ada delegasi kewenangan
perundang-undangan yaitu kewenangan yang dikuasakan kepada yang lebih rendah atau
pemberian kewenangan kepada badan lain dari biasanya wenang. Delegasi
kewenangan perundang-undangan ini kerap kali terjadi, misalnyadi dalam suatu
pasal Undang-Undang ditentukan bahwa “mengenai hal-hal ini, boleh diatur,
diubah atau ditiadakan dengan Peraturan Pemerintah”. Ini bararti bahwa ada
delegasi kewenangan perundang-undangan dari Pembentuk Undang-Undang
(Presiden+DPR) kepada Pemerintah (Presiden)
3. Suatu
aturan hukum hanya boleh diubah atau ditiadakan dengan aturan hukum yang dibuat
oleh penguasa yang lebh tinggi atau paling sedikit sederajat, kecuali di dalam
hal delegasi kewenangan perundang-undangan tadi.
1.7 Struktuktur Hukum di Indonesia
Di dalam Tata Hukum Indonesia, menurut strukturnya
peraturan yang mempunyai paling tinggi adalah Undang-Undang Dasar.
Undang-Undang Dasar yang berlaku sekarang di Indonesia UUD yang dikenal sebagai
UUD 1945 yang berlaku kembali sejak tanggal 5 Juli 1959. Jadi secara formal UUD
1945 dapat juga disebut sebagai UUD 1959. Undang-Undang Dasar ini hanya memuat
ketentuan-ketentuan yang bersifat dasar. Lebih-lebih UUD 1945 yang hanya
membuat 37 pasal dan beberapa pasal aturan tambahan dan aturan peralihan,
sifatnya “hanya memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat dasar” ini sangat
menonjol. Beberapa ketentuan-ketentuan di dalam UUD tersebut masih perlu diatur
lebih khusus, untuk menyelenggarakan ketentuan-ketentuan di dalam UUD itu.
Undang-Undang yang menyelenggarakan sebuah ketentuan di dalam UUD disebut
Undang-Undang Organik. Misalnya Undang-Undang yang melaksanakan ketentuan dari
pasal-pasal 24 dan 25 UUD 1945 adalah Undang-Undang Organik, yang namanya
Undang-Undang Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No 14
Tahun 1970) diperlakukan di wilayah Indonesia dengan Undang-Undang No 70 tahun
1958.
Demikianlah selanjutnya, mungkin di dalam suatu
pasal Undang-Undang ditentukan bahwa mengenai hal-hal tertentulebih lanjut akan
diatur dengan Peraturan Pemerintah. Di dalam Tata Hukum Indonesia menurut UUD
1945 ini kita akan membahas mengenai apa yang dinamakan Undang-Undang Pokok,
misalnya: Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Pokok Pers,lain
sebagainya.Ini di perlukan karena sifat UUD 1945 yang terlalu “garis besar”
tersebut.
Jadi dari UUD memancar ke Undang-Undang terus ke
Peraturan pemerintah, Peraturan Mentri, dan seterusnya.
Konsekuensinya adalah bahwa 1) suatu peraturan itu
harus berpangkal kepada peraturan yang lain. Ini berarti bahwa suatu peraturan
itu isi atau jiwanya harus sesuai dengan isi atau jiwa pangkalanya. Artinya
unsur-unsur yang ada pada peraturan indukharuslah terdapat di dalam peraturan
tersebut. Jadi suatu peraturan itu,baik buruknya,sah tidaknya dapat di lihat
dari peraturan yang lebih tinggi tadi Konsekuensi selanjutnya adalah bahwa 2)
tiap peraturan itu harus dapat di kembalikan kepada UUD. Jadi suatu peraturan
yang bertentangan dengan UUD adalah tidak sah. Siapakah yanmg berhak menyatakan
tidak sah itu? DEngan demikian kita mengenal apa yang di sebut hak menguji
Undang-Undang.
Ada
2 macam hak yang menguji Undang-Undang.
1) Hak
menguji apakah suatu peraturan itu isinya bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi atau tidak. Kalau bertentangan, dapat menyatakan peraturan
tersebut tidak sah.Ini di namakan hak menguji materil.
2) Hak
menguji apakah peraturan itu mengenal cara terjadinya dan cara pengundanganya
sudah sesuai dengan atruran-aturan yang berlaku atau tidak.Kalau tidak,tidak
sah.Misalnya, suatu peraturean yang di namakan Undang-Undang,tetapi ternyata
hanya di tetapkan oleh Presiden sendiri.Ini tidak formil.
Siapakah yang berhak
menguji undang-undang ini ?
Yang berhak adalah hakim. Pada
asasnya hakim mempunyai hak itu,kecuali kalau memang tegas-tegas di larang.
Larangan itu kadang-kadang terdapat di dalam Undang-Undang Dasar,kadang-kadang
juga di dalam Undang-Undang.
Bagaimanakah keadaanya di Indonesia ?
Untuk meninjau hal ini, marilah kita melihat UUD
Belanda (grondwst Belanda),yang sesensialisnya ternyata di ambil oleh
konstitusi R.I.S maupun oleh UUDS PS.124 ayat
2 grondwet mengatakan bahwa : Undang-Undang tidak dapat di ganggu gugat.
Perkataan undang-undang di sini harus di artikan. Bahkan tegas-tegas dilarang
untuk menguji sahnya Undang-Undang terhadap UUD, tetapi untuk menguji
peraturan-peraturan lain yang tingkatnya di bawah Undang-Undang diperbolehkan. Pasal
95 ayat 2 Konstitusi R.I.S. memuat ketentuan yang sama dengan pasal 124 ayat 2
Grondwet Belanda. Demikian pula pasal 124 ayat 2 UUDS. Pada umumnya para
sarjana sepaham, bahwa yang dilarang adalah menguji Undang-Undang secara
materiil, sedang menguji tentang cara terjadinya Undang-Undang itu apakah sudah
memenuhi syarat-syarat sebagai Undang-Undang, tidaklah dilarang, meskipun ini
hampir-hampir tidak perlu.
Bagaimanakah keadaannya di
Indonesia di bawah UUD 1945 baik sebelum berlakunya konstitusi R.I.S. maupun
sesudah 5 Juli 1959 ? Di dalam UUD 1945 tidak ada ketentuan apa-apa mengenai
hal ini. Lalu pandangan manakah yang akan kita pakai ?
1)
Kita dapat berpendirian seperti jaman
Hindia Belanda. Jaman R.I.S. maupun jaman berlakunya UUDS.
2) Dapat
pula kita berpendirian seperti pada negara-negara demokratis lainnya, yang
Undang-Undang Dasarnya tidak memuat ketentuan mengenai hak menguji ini, tetapi
yang mengakui adanya hak menguji, baik dalam arti materiil maupun formil.
Prof.
Kleintjes, mengenai hak menguji ini mengatakan bahwa dalam arti formil maupun materil
hak menguji Undang-Undang itu terletak di dalam sifat tugas hakim. Menurut
hukum dengan sendirinya hak menguji itu ada pada hakim, kecuali apabila hak
menguji itu dicabut dari padanya. Dan ini bukan hanya merupakan kewenangan
belaka tetapi mengandung arti kewajiban.
Di dalam Tata Hukum Indonesia
sekarang ini, sudah terdapat ketentuan yang tegas mengenai hak menguji ini,
yaitu ketentuan yang terdapat di dalam pasal 26 U.U. No. 14 Tahun 1970 yang
berbunyi :
“Mahkamah
Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan
dari tingkat yang lebih rendang Undang-Undang atas alasan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Kalau pada pasal 124 ayat 2
Grondwet Belanda pasa 95 ayat 2 Konstitusi R.I.S. dan pasal 130 ayat 2 UUDS
larangan itu dinyatakan secara langsung maka dalam pasal 26 U.U. No. 14 Tahun
1997 ini dinyatakan secara tidak langsung. Di sini yang disebutkan adalah yang
boleh diuji. Jadi, yang tidak disebut (undang-undang ke atas) tidak boleh
diuji.
Siapakah
yang berhak menyatakan tidak berlaku suatu Undang-Undang kalau ternyata Undang-Undang
ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar? mempunyai hak ini adalah pembentuk
Undang-Undang sendiri.
A.
Di Bawah Undang-Undang Dasar ada
Ketetapan/Keputusan M.P.R
Di
dalam Undang-Udang Dasar sendiri tidak menyebutkan adanya suatu peraturan yang
bernama Ketetapan/Keputusan M.P.R. tetapi Undang-Undang Dasar menyebut-nyebut
tentang tugas-tugas dan wewenang M.P.R. di dalam bentuk keputusan dan ketetapan
M.P.R. inilah M.P.R. menerangkan
peraturan-peraturan misalnya ketetapan M.P.R. mengenai garis-garis besar haluan
negara adalah bedasarkan wewenang M.P.R. yang terdapat di dalam pasal 3 U.U.D.
1945.
Catatan
:Berdasarkan aturan dari Pemerintah kepada D.P.R . (surat tanggal 20 agustus
1959 no. 2262/HK/59 dan tanggl 22 september 1959 no. 2775/HK/59) maka tindakan
M.P.R. berdasarkan pasal 2 dan 3 U.U.D. 1945 dinamakan keputusan M.P.R. jadi
keputusan MPR ini memang bersumber pada UUD, tetapi tidak memberi nama. Hal ini
berlaku untuk peraturan –peraturan laju. Misalnya Peraturan Presiden, Keputusan
Presiden, Keputusan Mentri dan lain sebagainya.
B.
Setingkat Di bawah Keputusan/Ketetapan
MPR Kita Mengenal Apa yang Di Sebut Undang-Undang
Pengertian
Undang-Undang di sini adalah dalam arti formil (sempit) yaitu suatu bentuk
peraturan yang ditetapkan oleh presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan
Rakyat (pasal 5 ayat 1) UUD 1945.
C.
Setingkat Di Bawah Undang-Undang Ada
Suatu Bentuk Peraturan Yang Dinamakan Peraturan Pemerintah
Ada 2 macam peraturan
pemerntah menurut UUD 1945,
1.
Peraturan Pemerintah pasal 22 UUD 1945
yang disebuut Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Peperpu). Di dalam
konstitusi RIS dan UUDS peraturan semacam ini disebut Undang-undang Darurat. Peperpu
ditetapkan oleh Presiden atas tanggung
jawab sendiri, di dalm hal-hal ada sesuatu yang harus segera diatur
dengan undang-undang, tetapi untuk menanti proses pembentukan Undang-Undang
akan terlalu lama. Peperpu ini dapat segera diperlakukan setelah di Undangkan,
tetapi harus segera dibawa/dibicarakan di dalam sidang DPR pada sidang pertama
di dalam masa sidang Peperpu itu diperlukan. Kalau disetujui DPR maka peperpu
ini menjadi Undang-Undang. Kalua DPR tidak setuju maka Peperpu ini dicabut.
2.
Peraturan Pemerintah menurut pasal 5
ayat 2 UUD 1945 (diangkat PP), yaitu peraturan pemerintah yang bertugas
menyelenggarakan/melaksanakan Undang-Undang. Ditetapkan oleh presiden.
Dibawah
P.P. maupun peperpu ini masih ada peraturan-perturan lain yang merupakn
peraturan-peraturan pelaksanaan, misalnya : Peraturan Mentri, Peraturan Daerah
seperti Peraturan Propinsi, Kotamadya, Kabupaten, Desa dan lain sebagainya.
7. Penggolongan
Hukum menurut Isinya.
Di
dalam literatur-literatur, penggolongan secara ini tidak disebutkan apa
kriterianya. Penamaan Penggolongan hukum menurut isinya ini adalah pendapat
penulis sendiri. Menurut isinya, hukum dapat digolongkan menjadi 2 golongan
yaitu :
a.) Hukum Materiil, yaitu keseluruhan
aturanhukum yang mengatur tingkah laku manusia sebagai subyek hukum dan Badan
Hukum di dalam melakukan hubungan hukum satu sama lain dan dalam melakukan
tugasnya, mengenai perbuatan-perbuatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan
serta sanksinya bagi yang melakukan dan lain sebagainya. Pendeknya keseluruhan
aturan hukum yang mengatur tingkah laku
manusia dan Badan Hukum di dalam masyarakat.
b.) Hukum Formil, yaitu keseluruhan
aturan-aturan hukum yang mengatur cara-cara mempertahankan hukum Materiil (norma-norma
dan hak-hak yang timbul daripadanya), ataupun menegakan kembali apabila terjadi
pelanggara-pelanggaran atasnya.
Hukum formil ini
diperlukan disamping hukum materiil karen :
1)
Hukum materiil tidak mengatur cara-cara
mempertahankannya apabila terjadi pelanggaran.
2)
Manusia mempunyai kecendrungan untuk
tidak mentaati hukum.
3)
Kadang-kadang kepentingan-kepentingan
yan gdiatur dalam hukum materiil itu saling bentrok satu sama lain,sehingga
perlu aturan untuk menyelesaikannya.
Seringkali orang
menghubungkan Hukum Formil dengan Hukum Acara. Ini tidak tepat. Hukum Acara
hanya mengatur cara-cara mempertahankan Hukum Materiil melalui siding
pengadilan. Padahal orang di dalam mempertahankan Hukum (perdata) materiil
dapat melalui jalan lain, misalnya melalui pewasitan. Jelas bahwa Hukum
Acara sesungguhnya lebih sempit dari Hukum Formil.
8. Penggolongan Hukum
menurut Bentuknya
a.Hukum Tertulis
b.Hukum Tidak Tertulis
Hukum
tertulis kita kenal sebagai hukum undang-undang atau Hukum Perundang-Undangan,sedangkan
hukum tidak tertulis kita kenal sebagai hukum kebiasaan dan hokum adat.
9.Selain cara-cara
penggolongan hukum yang telah kami uraikan di atas,
ada cara penggolongan lain, misalnya cara-cara penggolongan berdasarkan
segi-segi kehidupan tertentu di dalam masyarakat. Misalnya : Hukum Pajak, Hukum
Agraris, Hukum Kepegawaian dan lain sebagainya, yang pada umumnya merupakan
spesialisasi cara-cara penggolongan yang telah kami sebutkan di atas.
10. Agar lebih lengkap
kami kemukakan cara penggolongan yang dikemukakan oleh Prof. Mr. Soediman
Kartohadiprodjo yang telah kami sebut di dalam cara penggolongan no. 2, hanya
di sini akan kami perinci. Menurut beliau, beginilah keadaan hokum di
Indonesia.
Hukum Di Indonesia
Hukum Perdata
|
Hukum Publik
|
1.
Hukum Perdata Barat 1. Hukum Tata
Negara
a. Hukum
Sipil
2. Hukum Tata Usaha Negara
b. Hukum
Dagang 3.
Hukum Pidana
2. Hukum
Perdata Adat
4. Hukum Acara
3. Hukum
Perdata Perselisihan 5.
Hukum Acara Perdata
6. Hukum Antar Negara
3.
Hukum Perdata Perselisihan
a. Hukum
Antar Golongan
b. Hukum
Antar Agama
c. ………..
d. Hukum
Bagian
e. Hukum
Perdata Internasional
f. Hukum
Antar Waktu
Istilah
Hukum Perdata Perselisihan banyak tidak disetujui oleh para sarjana, karena
sesungguhnya istilah itu tidak tepat. Di sini tidak ada perselisihan. Yang ada
adalah masalah pilihan hukum. Uraian lebih lanjut mengenai hal ini kami tulis
dalam Bab IV.
BAB
II
TEMPAT
DAN CARA MENEMUKAN HUKUM
2.1
Sumber - Sumber hukum
2.1.1
Pengertian
Kalau
kita membicarakan istilah sumber maka istilah sumber ini mepunyai 2 pengertian
:
a.
Sumber dari arti asal , misalnya suur
atau mata air yang erupakan sumber air
b.
Sumber dalam arti tempat kita menyimpan
dan mengambil sesuatu , misalnya kolam air atau bk mandi .
Dalam
pengertian pertama, sumber disini dalam arti cara yang tidak langsung
berhubungan dengan pemakai , sedangkan dalam hal ke dua , sumber disini dalam
arti langsung berhubugan dengan pemakai. Sumber hukum pun mempunyai pengertian
yang sama dengan pengertian-pengertin tersebut di atas. Undang udang misalnya ,
di dala pengertian sebagai sumber hukum tempat kita menyimpan dan mengambil
(mempergunakan kembali ) aturan aturan hukum sebagai pedoman di dalam kita
bertingkah laku . kebisaan dan adat adalah : sumber hukum dalam arti asal,
sedangkan hukum kebiasan dan hukum adat adalh sumber hukum dalam arti tempat
kit menyimpan dan mengambil suatu aturan hukum sebagai pedoman di dalam kita
bertingkah laku . perasaan hukum adalah sumber dalam arti pertama, undang
undang , peranjian , hukum kebiasaan adalah sumber dalam arti kedua .
2.1.2
Pembagian sumber-sumber hukum
Sumber
hukum dapat kita bedakan dala 2 golongan bosar yaitu :
a. Sumber
hukum yang normal
Sumber hukum yang ormal ini teradi
secara normal yaitu sesuai dengan tertib hukum yang berlaku pada suatu negara tertentu
.
b. Sumber
huku abnormal
Sumber hukum abnormal ini kalau kita
cari asalnya lebih lanjut , ternyta bahkan merupakan tantangan terhadap tertib
hukum yang berlaku pada satu negara pada waktu itu . karenanya hukum yang
bersumber pada keadaan keadaan tak normal ini sering disebut hukum revolusi .
a) Sumber
hukum normal dapat kita bedakan lagi di dalam :
1.sumber
hukum yang bertulis
2.
sumber hukum yang tidak tertulis
1) sumber hukum
tertulis terdiri dari :
·
Undang-undang
·
Perjanjian
·
Traktat
·
Jurisprudensi
Undang-undang
Pengertian
undang-undang disini harus kita artikan udang-undang dalam arti
materiil/luas,yaitu meliputi semua perturan yang berlaku,artinya mempunyai
kekuatan mengikat umum.UUDS menyebutnya sebagai perturan perundanng-undangan .
Dalm arti luas ini
undand-undang melipti :
a)
UUD yaiutu suatu bentuk peraturan yang
mengatur hal-hal yang bersifat dasar di dalam suatu negara.
Indonesia
sejak merdeka secara materiil pernah mengenal 3 UUD,yaitu :UUD 1945,konstiusi
RIS dan UUDS RI
Secara formil pernah
mengenal UUD yaitu :
UUD 1945 yang mulai
berlaku sejak 18 agustus 45.konstitusi RIS yang mulai berlaku sejak 27 desember
49.UUDS yang mulai berlaku sejak 17 agustus 50 dan UUD 59 yang mulai berlaku 5
juli 59dan materinya sama dengan UUD 45.
b)
Undang-undang dalam arti
formil/sempit,suatu bentuk peraturan yang
mendpat nama undang-undang karna cara terjadinya .untuk RI suatu
peraturan di namakan undang-undang kalau di tetapkan oleh presiden bersama DPR
.di negara belanda,yang di namakan undang-undang adalah peraturan-peraturan
yang di tetapkan raja belanda bersama dengan staten general.
c)
Menurut UUDS RI yang di namakan
undang-undang adalah peraturan-peraturrran yang di tetapkan ole pemerintah
bersama-sama DPR. Menurut konstitusi RIS yang dinamakan undang-undang adalah peraturan yang di tetapkan oleh
pemerintah (federal) dan DPR atau senat
RIS.
d)
Peraturan pemerintah UUD 1945 mengenal 2
macam peraturan pemerintah yaitu P.P
menurut pasal 22 dan peraturan pemerintah menurut pasal 5 ayat 2 UUD
1945.
e)
Peraturan-peraturan pelaksanaan lainya.
2.1.3
Perjanjian
Perjanjian
ini penting sebagai sumber hukum,karena
ternyata norma-norma yang telah tertuang di dalam undang-undang menjadi baku,
sehingga ketinggalan dari perkembangan zaman lagi pula tidak mungkin
undang-undang mengatur semua hal di dalam masyarakat. Jadi perjanjian adalah
mengisi kekosongan di dalam undang-undang .selain itu juga melengkapi
undang-undang dengan
kemungkinan-kemungkinan untuk penyimpanan dari peraturan-peraturan yang
sifatnya bukan pemaksaan.
Contoh: Di dalam
perkembangan hukum perdata,timbulah hal-hal yang baru yang di dalam
undang-undang hukum perdata belum diatur.di sisi peranan perjanjian sangat
penting agar perhubungan hukum yang
belum diatur oleh undang-undang ittu dapat di lakukan.
Undang-undang
sendiri member kemungkinan
perjanjian sebagai sumber hukum.di dalam pasal 1338 B.W ( Burgo like
wetbeck,K.U.H. perdata) dikatakan bahwa perjanjian yang di buat secara sah,berlaku
sebagai undang-undang bagi pihak-pahak yang mengadakannya.
Bagaimana agar suatu perjanjian itu sah,dapat kita lihat
di dalam pasal 1320 B.W. ada 4 syarat
agar suatu perjanjian itu sah menurut pasal 1320 B.W :
1.
Harus dilakaukan oleh orang-orang yang
cakap melakukan perbuatan hukum.
2.
Harus di dasarkan atas sepakat dari
pihak-pihak yang membuat perjanjian itu. Dianggap tidak ada kata sepakat kalau
perjanjian itu terjadi karena kekeliruan, paksaan atau penipuan.
3.
Harus ada alasan (kausa) yang
diperbolehkan, artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan,
atau ketertiban umum.
4.
Harus mengenai objek tertentu.
Keempat
unsur untuk sahnya perjanjian itu disebut unsur natraliadi dalam perjanjian,
yaitu unsur-unsur yang harus ada dalam tiap-tiap perjanjian (perjanjian pada umumnya).
Selain itu masih ada
unsur-unsur lain untuk tiap jenis perjanjian, umpamanya pembayaran atu
penyarahan dalam jual beli, ini dinamakan essensialia.
Sedang unsur tambahan, yang merupakan ketentuan khusus dalam perjanjian,
disebut unsur accidentalia,
wilayahnya mengenai tempat dan pembayaran dan lain-lain.
2.1.4
Traktat
Kadang-adang perjanjian itu dibuat orang didalam mewakili kepentingan dari negara atau
pemerintahannya disatu pihak. Persetujuan demikian itu disebut persetujuan
antar negara atau traktat Persetujuan antar negara ini dapat bersifat bilateral,
yaitu apabila pihak-pihak didalam persetujuan itu hanya 2 negara saja, misalnya
persetujuan mengenai dwi kewarganegaraan antara republik Indonesia dengan RRC,
dapat pula bersifat multilateral apabila yang menjadi pihak dalam persetujuan
itu adalah lebih dari 2 negara, misalnya persetujuan mengenai pengiriman pos
dan lain-lain.
Jurisprudensial atau
keputusan hakim.
Ada persamaan dan
perbedaan anara hakim dan pembuat Undang-Undang.
1.
Persamaan :
-
Kedua-duanya adalah petugas hukum.
- Kedua-duanya bertugas memebentuk hukum.
2.
Perbedaan:
-
Pembentuk Undang-Undang membentuk hukum
in abstrato yang berwujud peraturan-peraturan yang bersifat umum
-
Hakim membuat hokum in konkreto, yaitu
berwujud keputusan - keputusan mengenai perkara-perkara yang konkrit, yaitu
perkara-perkara yang diajukan kepadanya.
Keputusan
dari pembentuk undang-undang maupun hakim kedua-duanya mempunyai sifat
mengikat. Keputusan pembentuk undang-undang mengikat umum, sedang keputusan
hakim mengikat orang-orang / pihak-pihak yang bersangkutan dengan keputusan
itu. Tetapi kadang-kadang keputusan hakim juga mengikat umum misalnya :
keputusan hakim mengenai hak milik seseorang harus pula dihormati oleh
orang-orang lain.
Kadang-kadang hakim
memperoleh kesulitan di dalam menemukan undang-undang yang harus diterapkan
pada suatu perkara yang dihadapinya. Dalam hal ini ia tidak dapat menolak
perkara itu dengan alas an bahwa undang-undang tidak ada. Ia tetap diwajibkan
memberi keputusannya( periksa ps. 22 A.B dan pasal 14 ayat 1 UU No 14 tahun
1970 ). Dalam hal ini, ia dapat mencari keputusan-keputusan hakim yang
sederajat maupun hakimyang lebih tinggi. Demi alas an praktis, ia dapat
meneladani keputusan hakim terdahulu itu.
Di
Negara-negara Anglo-Sakson(Amerika Serikat misalnya ), di kenal ajaran procodent.
Hakim d asana wajib meneladan keputusan hakim yang terdahulu, baik dar hakim
yang sederajat, maupun yan lebih tinggi. Ajaran precedent tidak di kenal di
Indonesia. Meskipaun demikian hakim-hakim Indonesia sering kali menggunakan
jurisprudensi sebagai sumber hokum, kerapkali hakim-hakim Indonesia meneladan
keputusan hakim yang terdahulu, baik dari hakim yang sederajat maupun yang
lebih tinggi, untuk perkara-perkara sejenis yang ia hadapi. Ada beberapa alasan
mengapa mereka mengambil jurisprudensi sebai sumber hokum. Meskipun ajaran
precedent tidak di kenal di Indonesia.
1)
Alasan praktis
2)
Alasan-alasan psychologis.
3)
Alasan demi kesatuan hukum.
1) Alasan praktis.
Kalau
seorang hakim menghadapi suatu perkara yang sulit dikemukakan undang-undangnya,
maka mencari suatu jurisprudensi untuk perkara-perkara serupa yang dihadapinya
adalah jalan paling mudah. Jadi apa salahnya ia mencontoh saja keputusan hakim
yang terdahulu mengenai perkara-perkara yang di hadapinya.
2) Alasan-alasan psychologis.
a)
Keputusan hakim mempunyai kekuatan mengikat untuk dilaksanakan, ini harus
dihormati oelh siapapun ,terutama tentu saja oleh korps mereka sendiri
b)
Meskipun hakim adlah berdiri sendiri di dalam mengambil keputusan , artinya
tidak terikat oleh kekuasaan lain , tetapi disamping itu ada kewenangan dari
hakim yang lebih tingg untuk membatalkan keoutusan hakim yang lebih rendah di
dalam daerh hukumnya.
Jadi keputusan hakim
yang lebih tinggi harus dihormati oleh karena itu.kami heran karena ada
hakim-hakim yang menghidupkan kembali pasal-pasal yang telah dimatikan .
‘hazaid artikelen’ yang telah pernah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh hakim
agung yang pertama (mr. Kusumadja)di tahun 1947 di adakan kasus ‘peristiwa tiga
jul di jogjakarta, dihidupkan kembali oleh hakim-hakim pengadilan negeri akarta
pusat di dalam khasus harian nusantara.
Hal ini dinilai oleh
apnan buyung nasution sebagai mnghidupkan bangjai kembali
Keputusan
hakim mengenai suatu hal, lebihlebih dari keputusan mahkamah agng , sering
sering menjadi juris prudensi standar . sebagai contoh misalnya keputusan hoge
rair tanggal 31 jnuari 1919 mengenai on roach natigo daad ( perbuatan melawan
hukum)
3) Alasan demi kesatuan
hukum
Sebagi
warisan dari tata hukum india belanda , maka di indonesia terdapat keaneka
warnan hukum . di dalam mengusahkan terentuknya hukum nasional , maka keaneka
warnaan hukum ini sedapt dpatnya di hilangkan. Atau saling tidak dikurangi. Penggunaan
juris prudensi sebagai sumber hukum ikut membantu usaha mencapai kesatuan hukum
ini.
Doktrin
atau ajaran ajaran hukum. Doktrin sebagi sumber hukum adalah bersifat tidak
langsung . di dalam suatu negara , kadang-kadang terdapat orang-orang atau
sarjana sarjana yang melibatkan kepincangan –kepincangan di dalam masyrakat negara
itu dan juga pada hukumnya. Orang orang ini ingin memperbaikinya dengan jalan
mengemukan ajaran-ajaran atau doktrin doktrin itu sendiri apakah atau di
tetrima atau diterimakan atau tidak. Apabila ajaran itu sesuai dengan perasaan
hukum masyarakat itu, Tentulah ajaran itu diterima dan dianggap sebagai suatu
kemestian untuk ditaati. Tentu saja paktor subyektif dari orang-orang yang
mengemukakan ajaran itu berperan juga terhadap diterima atau tidaknya suatu
ajaran atau doktrin.
Contoh doktrin-doktrin
:
Ø Pancasila.
Ø Ajaran
Byakerahook tentang jarak 3 mil lautan territorial.
Ø Ajaran
mellengrafi tentang perbuatan melawan hukum.
Ø Ajaran
Gretiun (Hugo de Groot) mengenei tanggung jawab pidana negara-negara agressor.
Doktrin
ini memegang peranan penting di dalam hukum antar negara.
Bagi hukum nasional,
kebanyakan diakui sebagai sumber hukum yang tidak langsung. Dengan melalui
undang-undang atau keputusan hakim oleh suatu negara doktrin diambil sebagai
sumber hukum.
Contoh : ajaran Mollong
raff mengenai onrechtmatigo daad diambil oleh Hoge Read di dalam keputusannya
tanggal 31 januari 1919. Juga di dalam hukum islam, kita mengenal doktrin. Di
samping Al-qur’an, sunnah Nabi, Ijma’, dan qias, kita mengenal ajaran-ajaran
para ulama, misalnya ajaran-ajaran dari Imam Syafi’i, Imam Hambali, dan lain
sebagainya. Pengadilan mengambil doktrin sebagai dasar-dasar pernyataan hukum
karena adanya ketentuan pasal 22 AB yang memerintahkan hakim dalam hal
bagaimanapun harus mengambil keputusan di samping tidak adanya larangan untuk
menerima kewibawaan ilmu pengetahuan. Di samping sumber-sumber hukum yang
tertulis yang telah kita sebutkan di atas (kecuali doktrin) kita mengenal
sumber-sumber hukum yang tidak tertulis, yaitu yang berasal dari kebiasaan dan
adat.
Pada
umumnya kita menerima istilah “adat” sebagai kebiasaan-kebiasaan yang ada
hubungannya dengan kepercayaan dan istilah “kebiasaan” sebagai kebiasaan-kebiasaan yang tidak ada
hubungannya sama sekali dengan kepercayaan, misalnya kebiasaan-kebiasaan di
dalam hukum Tata Negara (disebut Convention) dan di dalam dunia perdagangan
(disebut usansi/usance).
Kebiasaan-kebiasaan
dan adat ini apabila telah berlangsung lama, dan kemudian oleh masyarakat
diterima sebagai suatu kemestian untuk ditaati (opinic neecetatis) dan
diberikan sanksi-sankssi tentulah terhadap pelanggaran-pelanggarannya, maka
kebiasaan dan tentu menjadi hukum kebiasaan dan hukum adat. Hendaknya kita
sadari bahwa baik peraturan perundang-undangan maupun peraturan-peraturan
kebiasaan/adat adalah bentuk-bentuk
penjelasaan dari pandang-pandangan (prasaan-perasaan) hukum dan lebih
tinggi lagi ada kesadaran-kesadaran hukum yang hidup di dalam himpunan
kaidah-kaidah yang dibuat oleh badan perundang-undangan dan berbentuk
undang-undang (tertulis) atau oleh masyarakat itu saendiri berbentuk kebiasaan-kebiasaan
atau adat. Kalau ini disertai sanksi-sanksi kita dapati hukum undang-undang dan
hukum kebiasaan (dan adat).
2.1.5
Sumber Hukum Abnormal.
Di
sampng sumber-sumber hukum yang normal secara panjang lebar kita uraikan di
atau yang timbul di dalam keadaan yang lain,keadaan-keadaan yang tidak normal
melahirkan sumber-sumber yang tidak normal pula.kalau sumber-sumber hukum yang
normal adalah sesuai dngan tertub hukum yang berlaku pada suatu negara pada
waktu itu, maka sumber hukum abnormal justru merupakaan aturan terhadap tertib
hukum yang berlaku pada saat itu. Hukum bersumber pada keadaan-keadaan tak
normal ini sering juga di sebut hukum revolusi.
Sebagai
sumber-sumber hukum abnormal dapat kita sebutkan antara lain: Proklamasi, coup
diletat yang berhasil dan lain-lain. Satu contoh:
Berdirinya
negara RI dan alat-alatnya serta di dalam melaksanaakan perbuatan-perbuatan
/hubungan-hubungan hukum selanjutnya, tapi dapat dicari dari sumber-sumber
hukum yang normal, tetapi juste
merupakaan tantangan terhadap tertib hukum yang berlaku pada waktu itu, yaitu
tertib hukum di dalam Tata Hukum Hindia Belanda.
Menurut
Prof.Hr. Drs. Notonegoro, sumber yang demikian disebut bersifat jurldis. Menurut
Apeldoorn yang merupakan sumber hukum adalah: undang-undang, kebiasaan dan
traktat.
Perjanjian
, peradilan (jurisprudensi) dan ajaran-ajaran hukum disebut sbagai
paktor-faktor yang membantu pembentukan
hukum.
2.2
Cara Menemukaan Hukum (Peafsiran Hukum)
Kadang-kadang
hakim mendapat kesulitan untuk mengambil suatu keputusaan karena undang-undang
atau perjanjian yang akan di pakai sebagai dasar hukum dari keputusaan itu
sulit dimengerti atau mempunyai pengertian dasar hukum dari keputusaan itu
sulit di mengerti atau mempunyai pengertian yang dapat di tafsirkan secara
dualistis. Sebagaimana kami sebutkan di atas, dalam hal dmikian ini,hakim tidak
boleh menolak untuk mengambil keputusaan. Hakim haruslah dapat menafsirkan
peraturan tersebut, sehigga dapat dipergunakan sebagai keputusan hukum di dalam
keputusannya. Ada bermacam-macam cara menafsirkan hukum.
1.
Penafsiran otentik (resmi) atau
penafsiran menurut undang-undang disini undang-undang sendiri yang memberi arti
istilah-istilah yang dipakai dalam undang-undang itu sendiri. Pengertian-
pengertian itu di dalam pasal-pasal suatu undang-undang dapat kita cari dari
penjelasan undang-undang tersebut, yang
dimaksud di dalam tambahan lembaran Negara R.I ( untuk tata hukum di Indonesia)
2.
Penafsiran menurut hakim sendiri,
undang-undang yang kurang jelas susunan dan arti kata-katanya ditafsirkan
sendiri oleh hakim di dalam mengadili suatu perkara. Penafsiran ini didasarkan
alasan-alasan terentu dan mengikat pihak-pihak yang bersangkutan.
3.
Penafsiran menurut ilmu pengetahuan, ada
bermacam-macam cara menafsirkan menurut
ilmu pengetahuan:
a) Penafsiran
secara gramatical, istilah di dalam undang-undang ditafsirkan menurut
pengertian yang dipakai sehari-hari.
b) Penafsiran
historis, di dalam penafsiran ini kita meninjau apa maksud pembuatan
undang-undang waktu undang-undang itu dibuat. Cara penafsiran yang demikian ini
didasarkan suatu pendapat bahwa undang-undang adalah suatu pernyataan kehendak
yang sadar dari pembuatnya, atas pertimbangan yang masak.
c) Penafsiran sistematis, undang-undang atau
peraturan perundang-undangan itu merupakan suatu sistem suatu kesatuan.
Kesemuanya tidak ada satu pasal pun yang dapat ditafsirkan secara berdiri
sendiri. Jadi di dalam menafsirkan suatu pasal dari undang-undang hendaknya
dihubungkan dengan pasal-pasal yang lain sebagai suatu sistem.
d) Penafsiran
teleologis, penafsiran dihubungkan dengan tujuan-tujuan tertentu yang terdapat
di dalam hidup bermasyarakat
4.
Selain itu kita masih mengenal cara
pnafsiran lain, yaitu:
a)
Penafsiran extensif
Di
sini kita memperluas pengertian yang terdapat di dalam peraturan itu. Contoh :
pengertian khomar di dalam hukum Islam, semula adalah hanya untuk suatu jenis
minuman yang dibuat dari sari buah anggur yang diragikan. Sifat khomar ini
adalah memabukan. Kemudian pengertian khomar ini adalah haram hukumnya.
Kemudian pengertian khomar ini diperluas menjadi tiap-tiap minuman yang
bersifat memabukan. Termasuk penafsiran extensif ini adalah penafsiran
analogis.
b.
Penafsiran restriktif
Di
sini pengertian hanya di batasi pada apa yang disebut oleh undang-undang itu
saja. Jadi kalau khomar ini kita tafsirkan secara restriktif, maka umat Islam
boleh minum wisky, bier, dan lain-lain minuman keras, asal tidak dibuat dari
buah anggur. Jadi penafsiran Extensif memperluas pengertian sampai apa yang
tersirat, tidak hanya yang tersurat saja seperti pada penafsiran restriktif.
BAB
III
BEBERAPA
PENGERTIAN DAN ISTILAH DI DALAM HUKUM
3.1
Hukum Dan Hak
Di
dalam ilmu hukum kita mengenal istilah “hukum”
yang di dalam bahasa inggrisnya dapat kita terjemahkan dengan “Law” dan
“Hak” yang dapat kita terjemahkan dengan “ Right”. Kadang-kadang kita
pergunakan istilah hukum Obyektif untuk
“Law” dan hukum Subyektif atau hak Subyektif untuk “Right”.
1) Hukum
obyektif, terdiri dari keseluruhan
aturan-aturan hukum yang bersifat umum, artinya berlaku umum, tidak terikat
oleh keadaan-keadaan yang kongkrit. Peraturan mengenai jual beli misalnya,
mengemukakan hak dan kewajiban pembeli dan penjual secara umum. Siapapun
orangnya, kapan dilakukan, barang-barang apa yang dijual. Jadi tidak terikat
oleh pembeli atau penjual tertentu, waktu tertentu, barang tertentu.
2) Hukum
atau hak subyektif, timbul dari penerapan peraturan-peraturan hukum yang
bersifat obyektif tadi pada kejadian-kejadian yang kongkrit.
Suatu contoh:
Pada tanggal 1 juli 1973 si A menjual sepeda merk
Gazelle kepada si B dengan harga Rp. 40.000,00 maka adalah hak dari si A untuk
menuntut bayaran harga sepeda itu sebanyak Rp. 40.000,00 kepada si B. Adalah
kewajiban dari A untuk menyeruhkan
sepeda Gazelle tersebut kepada B. Sesuai dengan waktu yang dijanjikan. Hak dari
si B untuk memperoleh penyerahan sepeda tersebut, serta kewajibannya untuk
menyerahkan uang harga sepeda tersebut
kepada si A sesuai dengan waktu yang
diperjanjikannya. Hak dan kewajiban yang timbul itu sifatnya subyektif. Terikat
oleh orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
contoh
lain :
Seorang
ibu melahirkan seorang bayi. Ini merupakan peristiwa hukum, yang mana timbul
hak dan kewajiban orang tua yang disebut kekuasaan orang tua (ouderlijke
macht). Aturan hukum mengenai kekuasaan orang tua ini adalah hukum obyektif.
Akibatnya, yaitu adanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu dari orang tua
tersebut (misalnya A) terhadap si bayi (B), merupakan hukum atau hak subyekif.
Jelaslah
bahwa “right” atau hak subyektif adalah merupakan akibat hukum, yaitu hasil
penerapan suatu aturan hukum (hukum obyektif) terhadap peristiwa hukum yang
konkrit.
a) Hak
Mutlak
Yaitu hak yang dapat diberlakukan pada
setiap orang, berhadapan dengan itu ada kewajiban dari setiap orang untuk
bertingkah laku sesuai dengan hak itu. Kewajiban ini bersifat negatif, terdiri
dari sikap untuk tidak menghalangi orang yang mempunyai hak itu untuk
melaksanakan haknya. Contoh: hak milik atas suatu benda.
b) Hak
Relatif
yaitu hak yang memberikan kepadaseorang
atau beberapa orang tertentu, yang berkewajiban untuk mewujudkan apa yang
dikehendaki oleh adanya hak tersebut. Yang menjadi hal pokok adalah bahwa dari
orang lain tersebut diharapkan adanya suatu prestasi. Misalnya hak seorang atas
suatu piutang. Hak subyektif ini berdasar atas 2 dasar yaitu:
v Dasar
Hukum, adalah dasar yang berwujud peraturan-peraturan(hukum obyektif.
v Dasar
Senyatanya.
Yaitu dasar yang
bersifat khusus, berwujud peristiwa-peristiwa yang kongrit.
Hak subyektif dapat
dapat diperoleh dengan 2 cara, yaitu ;
1. Secara
asal
2. Secara
derifatif
1) Secara asal/ originair, apabila sebelum itu hak subyektif itu belum ada, misalnya, hak orang tua yang diperoleh dari lahirnya seorang bayi.
2) Secara derifatif, apabila hak itu sudah ada sebelumnya, tetapi pada ada pada orang lain. Misalnya hak dari orang yang memerintahkan, dengan meninggalnya orang itu lalu berpindah pada ahli waris.
Jadi disini ada perpindahan tempat hak, hak tersebut diterima oleh penerima hak dari peemberi hak atau pendahulu hak dalam keadaan semula, s3belum hak itu berpindah.Contoh; seorang penerima hak atas suatu gedung yang dibebani hypotik, akanmenerima hak milik atas gedung itu dengan beban hipotek pula.
3.2 Peristiwa Hukum
Hukum terjadi karena adanya peristiwa-peristiwa didalam masyarakat, yang menimbulkan hubungan-hubungan antara-antara anggota-anggata masyarakat, yang berwujud hak dan kewajiban sesamanya. Jadi selalu ada hubungsn antara peristiwa dan akibat. Peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang menimbulkan akibat yang demikian itu disebut peristiwa hukum.
Menurut Dormefer, yang disebut peristiwa hukum adalah peristiwa yang dirumuuskan didalam aturan hukum. Contoh; pasal 1457 KUH perdata memberirumusan mengenai jual beli sebagai suatu persetujuan antara 2 pihak. Dimana pihak yang satu berjanji untuk menyerahkan suatu barang dari pihak yang lain berjanji untuk untuk membayar hargannya.
Jadi jual beli adalah peristiwa hukum karena
telah dirumuskan dalam hukum.
Begitu pula pasal 360 KUHP merumuskan apa yang dinamakan
pencurian. Jadi pencurian adalah suatu peristiwa hukum. Jual beli, pencurian,
pembunuhan, sewa menyewa, hibah dan lain sebagainyaadalah peristiwa hukum.
Karena peritiwa peristiwa tersebut telah dirumuskan didalam aturan hukum.
Prof.
Mr. J.J Van Apeldoorn menyatakan bahwa peristiwa hukum adalah peristiwa
yang berdasarkan hukum yang dapat menimbulkan dan menghapuskan hak. Menurut
pendapat saya, perkataan berdasarkan hukum-hukum disini tidak hanya berarti
yang telah dirumuskan didalam aturan hukum-hukum saja tetapi juga berdasarkan
perjanjian dan sumber-sumber hukum yang lain, asal syarat dapat menimbulkan dan
menghapuskan hak dipenuhi.
contoh
: lahirnya seorang bayi. Akibat yang timbul adalah timbulnya kekuasaan orang
tua (ouderlijke macht).
Utrecht
member definisi peristiwa hukum sebagai : peristiwa kemasyarakatan yang
mempunyai akibat yang diatur oleh hukum. Jadi menurut utrech, yang penting yang
diatur oleh hukum itu adalah akibatnya. Jelaslah bahwa Utrecht tidak
mengesampingkan peristiwa-perisrtiwa yang terdapat didalam hukum adat. Asal
akibatnya diatur oleh hukum maka peristiwa tersebut peristiwa hukum.
Peristiwa hukum dapat
terdiri dari : Perbuatan manusia dan Bukan perbuatan manusia
1. Perbuatan
manusia
Perbuatan manusia ini dapat dibedakan
antara :
a.
Perbuatan yang dilarang
b.
Perbuatan yang diperbolehkan
Yaitu
suatu perbuatan mengurusi kepentingan orang lain yang sedang tidak dapat
mengurusi sendiri kepentingannya. Tanpamendapat kuasa dari orang tersebut. Dari
perbuatan ini timbul akibat hukum, yang berujud dan kewajiban antara mereka
(periksa pasal 1354 KUH. Perdata) yang akibatnya merupakan tujuan, si pelaku
melakukan perbuatan ini memang mempunyai tujuan untuk memperolah akibat dari
perbuatan itu. Ini yang dinamakan perbuatan hukum. Jadi perbuatan hukum adalah
perbuatan yang diperbolehkan yang sengaja dilakukan untuk menimbulkan akibat
hukum.
Contoh:
jual beli, kawi, mengadakan perjanjian sewa menyewa rumah dan lain sebagainya.
Kalau
akibat dari zaakwaarneming tadi adalah berujud peringkatan yang berdasarkan
undang-undang (vorbintenissen uit de wat) maka dari akibat-akibat perbuatan
hukum adalah perikatan yang berdasarkan persetujuan. Peraturan hukum ini
sebagian besar terdiri dari persetujuan-persetujuan, misalnya:jual beli, kawin,
dan lain sebagainya, tetapi ada pula yang bukan merupakan persetujuan,
misalnya: perbuatan hukum di dalam membuat surat wasiat (testamen).
Di dalam melakukan
perbuatan hukum, maka sebagian unsur mutlak adalah:
a) Khendak
dari yang melakukan perbuatan hukum itu
b) Ada
pernyataan khendak tersebut, hukum tidak memperhatikan sikap batin seseorang
kalau sikap batin itu tidak ternyata di dalam bentuk lahir.
Menyatakan
khendak pada azasnya tidak terikat oleh bentuk-bentuk tertentu (belanda:
vormfrij). Artinya, bentuknya terserah pada pihak-pihak yang menyatakan
khendaknya.ia dapat secara tegas-tegas menyatakan khendaknya, dapat pula secara
diam-diam. Secara tegas-tegas, artinya dinyatakan dengan suatu perbuatan yang
secara langsung memperiahatkan tujuanya, misalnya: menulis, memberi
tanda-tanda, bebicara, pendeknya perbuatan itu
dinyatakan dengan tulisan, isyarat, ucapan yang dimaksud untuk
menyatakan khendaknya.
Contoh: orang ingin membeli rokok. Ia dapat datang
ke warung dan mengatakan bahwa ia ingin membeli sebungkus rokok. Dapat pula ia
hanya menunjuk rokok yang dikehendaki dan mengacungkan satu jarinya.
Dapat pula ia menulis
pada sehelai kertas ( karena ia bisu) yang maksudnya ia ingin membeli sebungkus
rokok tertentu. Itu semua adalah bentuk pernyataan kehendak secara
tegas-tegasan. Secara diam-diam, artinya dengan suatu perbuatan tertentu
ternyata bahwa ia menghendaki suatu akibat hukum tertentu, tetapi ia
disimpulkan secara tidak langsung dari perbuatan tersebut.
Contoh: Seorang yang
naik Bus yang menuju ke Solo dapat disimpulkan bahwa ia ingin menumpang bus
tersebut ke Solo. Meskipun ia tidak menyatakan apa-apa kepada kondektur, maka
dari perbuatan itu timbul ikatan antara dia dengan perusahaan bus. Ia tidak
boleh menolak kalau kondektur minta
bayaran dan adalah menjadi haknya untuk diantar ke tempat tujuan (Solo).
Meskipun pada azasnya pernyataan khendak itu tidak
terikat pada bentuk-bentuk tertentu, tetapi ia ada perbuatan-perbuatan hukum
tertentu yang menghendaki pernyataan kehendak dalam bentuk-bentuk tertentu. Misalnya
mendirikan perseroan terbatas menghendaki adanya pernyataan kehendak di dalam
bentuk tertulis , bahkan dengan akte
autentik yaitu akte Notaris. Jadi di dalam mendirikan P.T. ini tidak boleh orang menyatakan khendaknya dengan akte
di bawah tangan, apalagi dengan hanya sekedar pernyataan lisan saja. Catatan:
Akte adalah surat yang sengaja diadakan untuk pembuktian. Akte autentik adalah
akte resmi, yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat-pejabat tertentu (Notaris,
Hakim, pamongpraja dan lain sebagainya). Notaris ini dapat digolongkan sebagai
pejabat, karena ia sebenarnya adalah pegawai negeri.keistimewaanya ialah bahwa
ia tidak digaji. Penghasilanya diperoleh dari pelayanannya kepada masyarakat.
Perbuatan-perbuatan hukum yang berujud perjanjian harus
dipenuhi syarat-syarat yang tercantum di dalam pasal 1320 B.W. (unsur-unsur
naturalis). Untuk itu dipersilahkan
melihat kembali bab mengenai sumber-sumber hukum.
2. Bukan
Perbuatan Manusia
Ini
terjadi dari kejadian-kejadian fisik yang dialami manusia, yaitu: lahir, umur
dan matinya orang. Kejadian-kejadian di luar diri manusia, misalnya: rumah sewa
disambar petir sampai habis terbakar dan lain sebagainya.
Catatan :
Ada pembagian peristiwa
hukum secara lain, dengan kriteria yang bermacam macam :
a) kalau
kriterianya banyaknya peristiwa ,ada peristiwa hukum tunggal dan peristiwa
hukum rangkap.
b) kalau
kriterianya adalah mengenai lamanya peristiwa hukum yang sepintas lalu dan
peristiwa hukum yang terjadi terus menerus beberapa waktu.
c) kalau
kriterianya adalah aktivitas manusia didalam peristiwa hukum ,ada peristiwa
hukum yang positif dan ada peristiwa hukum yang negatif .
3.3
Akibat Hukum
peristiwa hukum membawa suatu akibat .akibat yang
dilekatkan pada hukum ini disebut akibat hukum.
ada 3 macam akibat
hukum :
1. Oleh
suatu peristiwa hukum dapat timbul berubah atau berakhir suatu keadaan hukum. Contoh
:
a) kenyataan
seseorang telah berumur 21 tahun penuh adalah suatu pristiwa hukum .dari
pristiwa hukum itu timbul suatu keadaan hukum yaitu cakap bertindak.
b) wanita
yang belum kawin mempunyai status ( suatu keadaan hukum ) gadis. perkawinannya
merubah dari status gadis ke status isteri atau perkawinannya mengkahiri status
gadisnya.
2.
Oleh suatu pristiwa hukum dapat timbul
,berubah ,atau berakhir suatu hubungan hukum.
a) sebelum
kawin a dan b tidak ada hubungan hukum apa apa .dengan perkawinan mereka
timbullah hubungan hukum diantara mereka yaitu yang didalam BW disebut maritale
macht ( kekuasaan suami )
b) perceraian
mereka mengakhiri hubungan hukum tersebut.
c) perceraian
antara suami isteri yang sudah mempunyai anak (menurut BW )merubah hubungan
hukum yang bernama kekuasaan orang tua .( ourderlijke macht )menjadi hubungan
hukum yang bernama perwalian (voogdij)
3.
Akibat hukum yang ketiga adalah yang
dinamakan sanksi( sanctio).
Sanksi adalah akibat hukum yang
dilekatkan pada pelanggaran terhadap suatu aturan hukum. Ujudnya adalah berupa
suatu penderitaan yang ditimpakan kepada orang-orang yang melakukan pelanggaran
tersebut. Tujuan sanski adalah untuk mempertahankan norma-norma hukum yang
obyektif dan hak-hak subyektif yang timbul dari padanya. Contoh:
a)
Ancaman pidana penjara terhadap
pencurian bertujuan agar orang tidak mencuri. Di sini dipertahankan norma hukum
obyektif (mengenai hak milik) dan dilindungi hak subyektif (hak milik)
seseorang dari orang-prang yang mengganggunya.
b)
Ancaman keharusan mengganti kerugian
bagi orang yang melakukan wan-prestatie bertujuan agar orang tidak melanggar
suatu persetujuan. Dengan demikian hak
subyektif yang timbul dari persetujuan itu dilindungi/tidak dilanggar.
Sanksi
berujud paksaan psychis maupun paksaan psychis. Paksaan psychis berujud
ancaman-ancaman di dalam Undang-undang terhadap pelanggar Undang-undang. Paksaan
psychis berujud tindakan yang nyata yang
berupa kekerasan, misalnya tindakan polisi, dimasukan ke dalam penjara dan
lain-lain.
Pada
umumnya, di belakang paksaan psychis selalu ada paksaan psychis, misalnya di
dalam ketentuan-ketentuan hukum perdata, paksaan psychis belum tentu disertai
dengan paksaan psychis. Pada perjanjian yang bersifat timbal balik paksaan
psychis ini tidak disertai dengan paksaan psychis. Paksaan psychis disini
berujud ancaman batalnya perjanjian yang menimbulkan suatu perikatan tersebut.
Ketakutan akan dibatalkannya perjanjian yang menimbulkan suatu perikatan cukup
dapat mencegah pelanggaran-pelanggaran terhadap perjanjian.
Contoh: Orang menyewa
rumah bertujuan agar ia keluarganya dapat terlindung dari panas dan hujan.
Ketakutan kehilangan tempat berlindung karena pembatalan perjanjian sewa menyewa
rumah tersebut akan mencegah ia melanggar perjanjian, meskipun tidak ada
paksaan physiknya.
Mengenai syarat batal ini, dipersilahkan membaca
pasal-pasal 1266 dan 1267 B.W Alat-alat pemaksa baru digunakan negara di dalam
mempertahnkan hukum, kalau sudah lebih dulu ditentukan hak-hak subyektif dari
pihak,dengan menetapkan apa hubunganya suatu perkara atau suatu kejadian yang
kongkrit. Penetapan apa hukumnya suatu kejadian yang kongkrit ini dengan
keputusan hakim (vonnis). Vonnis ini alas hak (titel) dari pelaksana hukum
subyektif. Arena vonnis ini d sebut executorialo titel. Alas hak tidak hanya
timbul karena keputusan hakim, juga akte-akte otentik, keputusan-keputusan
wasit, hasil perdamaian yang dibuat di muka hakim adalah titel. Tetapi tidak
semuanya adalah executorialo titel.
Dengan adanya kejadian-kejadian kongkrit yang harus
diputus oleh pengadilan, kita mengenal istilah perkara. Istilah perkara yang
mengandung dua arti, yaitu:
a) Ada
sengketa, yaitu apabila hak yang dianggap ada oleh pihak yang satu, disangkal
oleh pihak yang lain.
b) Tidak
ada sengketa, orang menghadap hakim hanya ingin mendapatkan kepastian mengenai
suatu hal, bukan minta peradilan.
Misalnya:
minta penetapan seorang anak angkat, seorang yang dinyatakan pailit dan lain
sebagainya.
3.4
Hubungan Hukum
Hubungan
hukum dapat terjadi antara subyek hukum dengan subyek hukum, dapatpula antara
subyek hukum dengan obyek hukum (barang)
1. Hubungan
hukum antara subyek hukum dengan subyek hukum adalah suatu wewenang yang ada
pada seseorang untuk menentukan sesuatu dari orang lain (tertentu) dan di balik
itu ada kewajiban dari orang lain itu untuk bertingkah laku sesuai dengan
wewenang yang ada itu.
Contoh:
hubungan hukum antara suami istri, pembeli dengan penjual dan lain sebagainya.
Jadi hubungan hukum antara subyek dengan
subyek ditandai oleh adanya hak dan kewajiban antara pihak tersebut, baik
secara sepihak, maupun secara timbal balik.
2.
Hubungan
hukum antara subyek hukum dengan barang adalah suatu wewenang yang ada pada
seseorang untuk menguasai sesuatu dan di pihak lain ada kewajiban dari setiap
orang untuk bertingkah laku sesuai dengan wewewnang yang ada itu. Kewajiban
dari orang lain itu berwujud suati sikap untuk tidak menghalangi orang yang
berhak untuk melaksanakan haknya. Hubungan hukum ini adalah merupakan akibat
hukum. Jadi timbulnya karena adanya peristiwa-peristiwa hukum.
3.5 Subjek Hukum
Segala sesuatu yang dapat mendukung hak dan
kewajiban di dalam lalu lintas hukum disebut subyek hukum. Prof. Mr. Djojonigano menggunakan istilah orang
untuk subyek hukum yang dibedakan dengan istilah manusia. Orang adalah gejala
hidup bermasyarakat, manusia adalah gejala biologis. Rupanya beliau memperoleh
istilah ini dengan menterjemahkan langsung dari istilah person.
Ada dua macam subyek hukum yaitu:
1.
Yang
berwujud manusia. Ini disebut natuurlijke person
2.
Badan
Hukum disebut juga rechtsperson.
A. Manusia sebagai subyek hukum
Semua manusia adalah subyek hukum. Status
sebagai subyek hukum ini mulai sejak manusia dilahirkan dan berakhir pada saat kematiannya.
Di dalam hal ini kita mengenal suatu fiksi hukum, yaitu apabila kepentingan
menghendaki, maka status subyek hukum itu dapat di mulai sejak seorang anak
masih di dalam kandungan. Jadi ia di anggap sudah lahir, sehingga sudah
berstatus subyek hukum. Dengan demikian ia sudah menjadi pendukung hak dan
kewajibannya. Kepentingan yang dimaksud adalah kepentingan yang menyangkut soal
warisan (periksa pasal 2 B.W.). Tetapi apabila ia kemudian ternyata dilahirkan
mati ia dianggap tak pernah ada. Lembaga fiksi hukum disini dimaksud untuk
melindungi anak yanga ada di dalam kandungan, agar ia tidak terlantar nanti
karena kematian ayahnya. Dengan diperhitungkan dia sebagai subyek hukum, maka
ia berhak atas warisan ayahnya Seperti
disebutkan di atas, maka setiap manusia adalah pendukung hak dan kewajiban.
Bahkan apa yang dinamakan kematian perdata, yaitu kehilangan semua hak karena
putusan pengadilan adalah tidak mungkin (lihat ps. 3 BW). Memang
sebagai sidang tambahan,orang dapat di cabut beberapa hak nya tertentu ( lihat
pasal 10 KUHP) tetapi tidak untuk selama-lamanya,melainkan hanya bersifat
sementara saja.
Contoh: Seorang tentara
yang melakukan desersi,selain dapat dihukum dengan pidana pokok,misal nya
penjara,dapat di tambah dengan pidana tambahanberupa pencabutan haknya untuk
memasuki Angkatan bersenjata.
Meskipun
menurut hukum setiap orang adalah memiliki hak-hak,tetapi tidak semua orang
cakap bertindak sendiri di dalam melaksanakan hak-hak nya.
Orang-orang ini di
dalam melaksana kan hak-hak nya (melakukan perbuatan hukum atau mengadakan
hubungan-hubungan hukum) harus diwakili atau dengan seizin orang-orang yang
oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap itu adalah :
a.
Orang yang belum dewasa,Dewasa menurut
B.W.adalah apabila seseorang telah berumur 21 tahun penuh,atau kalau sebelum
itu,ia sudah kawin
b.
Mereka yang di tempatkan dibawah kuratil
(curatelo,pengampunan).
c.
Wanita di dalam perkawinan di dalam
hal-hal yang di tentukan oleh undang-undang (telah dicabut dengan edaran
mahkamah agung no. 3 tahun 1963)
Catatan :
Ukuran dewasa (cukup
umur) untuk tiap-tiap sistem hukum adalah berbeda-berbeda.
-
Di dalam B.W,umur 21 tahun penuh,atau
kalau sebelum umur itu sudah kawin.
-
Di dalam hukum islam ada istilah
aqil-baliq.istilah itu menunjukkan bahwa di dalam hukum islam,selain umur
tertentu juga faktor berakal adalah menentukan kedewasaan orang.
Jadi
orang yang umur nya sudah cukup tetapi tidak waras otak nya di anggap belum
aqil-balig Juga tanda-tanda tertentu pada fisiknya,dan
pengalaman-pengalaman/kejadian-kejadian tertentu yang menimpa fisiknya
merupakan ukuran kedewasaan seseorang.misalnya: Di tempat-tempat tertentu sudah
tumbuh bulu,dada (wanita) mulai berkembang,menstruasi,mimpi bahagia dan lain
sebagai nya.
-
Di dalam hukum adat ( jawa),pada umumnya
kedewasaan seseorang di ukur dari kemampuan seseorang untuk mencari nafkah
sendiri (jawa : megawo).
Pada umumnya kecakapan
bertindak (juridis) ini sejajar dengan kecakapan rill seseorang. Artinya orang
yang secara juridis dinyatakan tidak cukup (onbekwaan), pada umumnya secara
rill jugga tidak cakap.
Contoh : Anak kecil baik juridis maupun
rillnya dia memang betul-betul tidak cakap, lain halnya dengan seorang pemuda
yang berumur 18 tahun . Rillnya dia cakap tetapi juridis (menurut B.W) ia tidak
cakap.
Selain
ketidak cakapan umum, kita mengenal ketidak cakapan khusus. Ketidak cakapan
umum adalah ketidak cakapan yang sifatnya umum, yaitu semua perbuatan atau perhubungan hukum. Ketidakcakapan khusus
adalah ketidak cakapan seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum atau mengadakan hubungan-hubungan
hukum tertentu berhubung keadaan khusus dari orang tersebut yang berhubungan
dengan / hubungan-hubungan huukum ters ebut. Contoh; Seorang terdakwa menurut U.U. no. 14 tahun
1970 mempunyai hak ingkar, yaitu hak untuk menolak hakim yang akan mengadilinya
dengan alasan-alasan tertentu.
Dengan
demikian hakim tersebut tidak cakap ( tidak wenang) untuk mengadili orang
tersebut . Secara umum ia cakap bertindak, tetapi untuk perbuatan hukum
mengadili orang tertentu tadi ia tidak wenang. Seorang pejabat lelang secara
umum adalah cakap bertindak . Tetapi untuk membeli barang-barang yang di bawah
kekuasaanya untuk dilelang ia tidak cakap (lebih tepat tidak wenang).
1. Badan
Hukum
Setelah
manusia , ada badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan, yang di dalam hukum
dimungkinkan untuk mempunyai hak-hak dan kewajiban dan kekayaan sendiri, serta
dapat ikut serta di dalam lain hutas hukum. Dapat menggugat maupun digugat di
depan pengadilan. Badan-badan atau perkumpulan –perkumpulan semacam itu disebut
Badan Hukum ( Rochtspersoon)
Contohnya
; Perseroan terbatas, Koperasi, Yayasan, Negara, Propinsi, Kota madya dan lain
sebagainya.
Badan
hukum ini ada dua macam yaitu:
a. Badan
hukum di dalam lingkungan hukum privat,
b. Badan
hukum didalam lingkungan hukum publik,
.
3.6
Penyalahgunaan Hak
Setiap
orang ialah subyek hukum, dengan demikian setiap orang mempunyai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban. Tetapi didalam melakukan haknya, subyek-subyek hukum tidak
sama sekali bebas. Pelaksanaan atau pengunaan hak ini dibatasi oleh
undang-undang dan kepentingan umum.
Hak
milik merupakan hak yang benar-benar mutlak, artinya orang boleh berbuat apa
saja terhadap hak miliknya. Sekarang, perbuatan-perbuatan yang pada hakikatnya
ialah pengunaan hak milik dapat di golongkan sebagai perbuatan yang melawan
hukum apabila hanya di dorong oleh kepentingan yang tidak patut, semata-mata
dimaksudkan untuk menganggu, sebagai contoh saya kemukakan suatu jurisprudensi,
yaitu keputusan hakim di colmar (prancis) tanggal 2 mei 1855 yang terkenal
sebagai arrost (keputusan hakim) mengenai cerobong asap induk perkaranya ialah sebagai berikut: Seorang
di dalam di gugat oleh tetangganya karena ia membuat cerobong asap yang
demikian besar dan tingginya sehingga menghalangi tetangganya untuk memperoleh
pemandangan yang indah. Gugat ini dikabulkan oleh pengadilan colmar dasar si
pemilik cerobong asap diharuskan membongkar cerobongnya. Pembuatan cerobong
asap yang demikian besar dan tingginya di pandang oleh pengadilan sebagai hak
mempunyai alasan yang patut karena cerobong asap yang kecil dan tidak terlalu
tinggi adalah sudah cukup (perlu diketahui bahwa cerobong asap pada waktu itu
di situ merupakan hak yang tidak untuk tungku pemanas pada musim dingin). Ada
hubunganya dengan masalah penyalah gunaan hak adalah azas kemasyarakatan dari
hak milik.
Hak
milik mengatakan bahwa hak milik sekarang ini bukan merupakan hak mutlak lagi.
Masyarakat hukum sekitarnya
kadang-kadang mempunyai hak yang lebih besar dari pemiliknya sendiri.
Azas kemasyarakatan dari hak milik ini terutama mengenai tanah adalah sangat
penting. Pasal 26 ayat 3 UUDS mengatakan bahwa hak milik itu adalah fungsi
sosial. Pasal ini adalah merupakan manifestasi dari azas kemasyarakatan dari
hak milik tersebut.
Contoh:
kemungkinan dicabutnya hak milik atas tanah untuk kepentingan umum, misalnya untuk
pelebaran jalan, bangunan-bangunan bagi kepentingan umum dll.
Kemungkinan dicabutnya
hak milik atas tanah untuk kepentingan umum, misalnya untuk pelebaran jalan,
bangunan-bangunan bagi kepentingan umum dll. Tentu saja didalam pencabutan hak
milik ini selain dengan alasan untuk kepentingan umum, harus diperhatikan
pengganti kerugian yang pantas.
Dengan
demikian kami sudahi uraian mengenai pengertian-pengertian dan istilah-istilah
yang penting di dalam hokum/tata hukum. Istilah-istilah yang lain tidak kami
bicarakan secara tersendiri, tetapi berhubungan dengan uraian-uraian didalam
bab-bab lain didalam resume ini. Ini bukan berarti bahwa istilah tersebut
kurang penting, tetapi kami memandang akan lebih tepat membicarakan
istilah-istilah tersebut didalam hubungannya dengan istilsh-istilsh lain.
BAB
IV
HUKUM
DI INDONESIA
4.1 Pengertian Tata Hukum Indonesia
Tata hukum sering disebut hukum
positif, yaitu hukum yang berlaku sekarang pada suatu tempat tertentu. Tata
hukum Indonesia adalah hukum yang berlaku sekarang di Indonesia (ius
constitutum). Istilah berlaku berarti memberikan akibat-akibat hukum. Menurut
Prof.Mr. Kusmadi Pudjosewojo. Hukum yang berlaku terdiri dan diujudkan oleh
ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan hukum yang saling berhubungan dan saling
menentukan. Misalnya aturan hukum mengenai perceraian tertentu berhubungan
dengan turan-aturan hukum megenai perkawinan. Karenanya aturan-aturan hukumtadi
merupakan suatu susunan tatanan. Suatu Tata hukum.
4.2 Fungsi Tata Hukum
Adalah
untuk menata, menyusun, mengatur tertib kehidupan masyarakat. Tata hukum itu
sah, berlaku bagi suatu masyarakat tertentu, dan juga dibuat, ditetapkan dan
dipertetapkan atas daya penguasa (authority) masyarakat.
4.3 Masyarakat Hukum
Masyarakat
yang menetapkan tata hukumnya sendiri dan karena itu ikut serta sendiri di
dalam berlakunya tata hukum itu, dinamakan masyarakat hukum.
1. Membuat
contohnya apa yang dilakukan oleh Badan Pembentuk Undang-undang di dalam
menetapkan suatu Undang-undang yang rencananya dibuat sendiri oleh badan
tersebut. Dibicarakan, disetuji, disahkan dan kemudian diundangkan di dalam
Lembaran Negara.
2. Mengambil
oper
Kadang kadang peraturan yang di berlakukan dalam suatu
Negara bukanlah suatu peraturan yang orisinil, artinya buatan bentuk peraturan
itu sendiri. Ini banyak sekali terjadi dinegara Negara bekas jajahan. Seperti
Indonesia.
Dengan merdekanya suatu Negara, maka peraturan peraturan
yang dapat dibuat untuk mengatur tata tertip suatu Negara itu jauh dari
memadai. Kalau pada saat itu peraturan peraturan yang lama di anggap tidak
berlaku lagi, maka akan terjadi kekosongan ( vacuum ). Banyak hal-hal yang
tidak ada peraturnya, karena karena membuat suatu peraturan memerlukan waktu.
Dalam hal ini pengoporon aturan – aturan yang lama adalah jalan yamh paling
praktis.
Di Indonesia pengomporan ini secara umum dilakukan dengan
pasal II Aturan Pelalihan UUD 1945. Didalam pasal ini dinyatakan bahwa semua
badan dan peraturan peraturan yang ada masih berlaku selama belum diganti
dengan yang baru dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Tetapi pengambilan oper dapat pula dilakukan secara
khusus dengan dengan suatu
undang-undang. Contohnya pengambilan opera wetbook van strafrech voor Nederland
indic menjadi kitap undang-undang pidana Indonesia melalui kitap undang-undang
nomer satu tahun 1946 diperlakukan di Indonesia denag undang-undang tuju
puluhtahun 1958. Masyarakat hukum ada bermacam-macam, yang kecil adalah dosa
yang besar, yang besar dalm bentuk modern adalah Negara.
4.4
Kapankah Indonesia memiliki Tatanan
Hukum Sendiri ?
Jawaban pertanyaan di atas sama dengan jawaban peranyaan
kapankah Indonesia itu ada. Untuk menjawab peranyaan itu dapat lah di kemukan
dua jawaban.
1.
Negara Indonesia ada, sejak tanggal
tujuh belas agustus sribu sembilan ratus empat puluh lima.jadi tatanan hukum
Indonesia sudah hadir sejak saat itu juga.
2.
Negara Indonesia hadir sejak delapan
belas agustus sribu sembilan ratus empat puluh lima. Yaitu sejak mulai
berlakunya UUD 1945. UUD 1945 inilah yang merupakan tatanan hukum pertama bagi
Indonesia. UUD 1945 itu pula dengan pasal II aturan peralilahn mengambil oper
aturan-aturan hukum di dalam tata hukum yang berlaku sebelum itu.
-
Pandangan pertama mengakui adanya sumber
hukum yang abnormal. Proklamasi adalah sumber hukum, jadi dengan adanya
proklamasi, sudah ada tata hukum yang pertama di Indonesia.
-
Pandangan kedua memandang seakan – akan
dengan adanya proklamasi, negara Indonesia belum ada. Yang ada baru proses
pelepasan diri dari penjajahan, yaitu pernyataan kemerdekaan Indonesia. Dengan
demikian negara Indonesia baru berdiri sejak adanya UUD 1945. Dari kalimat “
Kemudian dari pada itu disusunlah kemerdekaan kebangsaan indonesia itu didalam
suatu undang-undang dasar negara Indonesia, menunjukan bahwa negara Indonesia
itu baru ada sejak tanggal 18 agustus 1945.
Menurut
Prof.Kusumadi, pernyataan tersebut diatas adalah berarti :
a. Menegarakan
Indonesia, menjadi Indonesia suatu negara.
b. Pada
saat itu juga menetapkan tata hukum Indonesia sekedar yang tertulis.
Prof.Kusumadi
sendiri beranggapan bahwa Tata Hukum Indonesia mulai ada sejak tanggal 17
Agustus 1945. Ini sebenarnya aneh. Bukanlah pernyataan menegarakan Indonesia
dan menetapkan Tata Hukum Indonesia itu baru dilakukan pada tanggal 18 agustus
1945 ?. jadi menurut pendapat kami, ada suatu yang kontradiktif dari pendapat
Prof.Kusumadi ini.
Saya
sendiri berpendapat bahwa Tata Hukum Indonesia mulai ada sejak tanggal 17
Agustus 1945, sebab saya sendiri mengakui adanya sumber – sumber hukum yang
abnormal ( hukum revolusi ), asal kemudian itu diakui oleh masyarakat sebagai suatu kenyataan. Jadi
mempunyai authority ( gozag ). Lagipula kalau Tata Hukum Indonesia baru ada
sejak tanggal 18 Agustus 1945, lalu tata hukum apakah yang berlaku pada tanggal
17 Agustus 1945 ? apakah tata hukum yang ditetapkan oleh tentara pendudukan
jepang ? ataukah tata hukum Hindia Belanda ? saya kira tidak sepantasnya bahwa
untuk suatu bangsa yang merdeka masih
diperlakukan tata hukum asing. Atau tidak ada tata hukum yang berlaku pada
waktu itu ? hal itu tidak mungkin. Mungkin pada waktu itu ada “ Chaos “, tetapi
tidak boleh dikatakan ada hukum. Jadi kesimpulanya, Tata Hukum Indonesia yang
berlaku. Proses menegarakan Indonesia itu sudah dimulai sejak adanya proklamasi
. jadi proklamasi tidak sekedar proses pelepasan diri dari penjajahan. Tata
Hukum Hindia Belanda dikenal pembagian golongan-golongan rakyat, yang
masing-masing menganut sistem hukum perdata yang berlainan.
Pembagian golongan rakyat itu berdasarkan pasal 163 I.S.
itu golongan rakyat dibedakan menjadi :
a. Golongan
Eropa
b. Golongan
Bumi Putera
c. Golongan
Timur Asing
Pembagian
ini pada mulanya adalah didasarkan atas pandangan bahwa kebutuhan hukum dan
perasaan keadilan sangat berbeda pada golongan Indonesia (dan yang dipersamakan
dengan mereka), dibandingkan dengan pada golongan orang Eropa (dan yang
disamakan dengan mereka). Pembagian itu makin lama makin lebih menyakiti hati
orang yang bukan Eropa, karena mereka memandang pembedaan itu sebagai
diskriminasi kebangsaan yang tidak sesuai lagi didalam masyarakat abad ke-20
ini.
Untuk
golongan Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka (misalnya orang-orang
Jepang) berlaku hukum perdata barat (B.W. dan W.v.K.). Bagi golongan rakyat
(bumi putera) tunduk pada aturan-aturan untuk orang Bumi Putera (hukum adat)
dengan kemungkinan penundukan diri terhadap hukum perdata yang berlaku bagi
golongan Eropa. Baik secara keseluruhan maupun untuk perbuatan-perbuatan hukum
tertentu. Adapula kemungkinan lain yang “Colijkatolling,” yaitu “mempersamakan
dengan” orang Eropa (pasal 163 5 I.S.). Bagi Golongan Timur Asia Tionghoa pada
pokoknya berlaku B.W. dan W.v.K. dengan beberapa pengecualian antara lain
mengenai syarat-syarat dan cara-cara untuk melakukan perkawinan. Lin dari pada
itu ada pula peraturan tersendiri mengenai kongsi, adopsi dan tentang pegawai
pencatatan sipil. Bagi golongan Timur Asing lainnya berlaku B.W. dan W.v.K.
tetapi pengecualian-pengecualiannya lebih banyak dari Golongan Timur Asia
Tionghoa, yaitu mengenai perkawinan, keluarga, warisan dan beberapa yang lain.
Untuk itu bagi mereka berlaku hukum adat mereka masing-masing. Jadi jelaslah
bahwa mengenai hukum perdata di Indonesia dan pluralisme hukum. Belum ada
Unifikasi hukum.
Menurut
UUDS RI, manusia didalam wilayah Republik Indonesia dibagi atas 3 golongan,
yaitu :
a. Warga
Negara
b. Penduduk
c. (setiap)
orang (jadi termaksud a dan b) dan orang-orang berada didalam wilayah negara,
yang dengan ijin atau tanpa ijin berada disini. Tetapi belum mempunyai
kedudukan sebagai penduduk
Yang
kita persoaalkan disini hanyalah orang-orang
yang merupakan warga negara Republik Indonesia saja. Bagi warga negara
R.I keturunan Eropa (yang berasal dari golongan Eropa), baginya masih
diperlukan Hukum Perdata Eropa (B.W dan W.v.K.), dan bagi warga negara yang
termasuk golongan kecil Tionghon dan Arab tetaplah berlaku peraturan-peraturan
yang ditetapkan pada tahun 1917 dan 1924 khusus untuk kedua golongan itu. Jadi
disini kewarganegaraan hanya menentukkan nasionalitet, dan sekali-kali tidak
disangkutkan dengan Hukum Perdata yang berlaku bagi mereka.
Jelaslah
bahwa sekarang ini masih tetap ada pluralisme didalam lapangan Hukum Perdata.
Keadaan ini tidak boleh diabaikan berlarut-larut.
Pasal
102 UUDS pernah memerintahkan kodifikasi
beberapa lapangan hukum diantaranya Hukum Perdata. Ini berarti bahwa terhadap
Hukum Perdata juga dikehendaki adanya unifikasi. Hanya saja, didalam kodifikasi
itu kita harus memperhatikan perbedaan-perbedaan didalam kebutuhan hukum
golongan rakyat (pasal 25 ayat 2 UUDS), terutama mengenai hukum keluarga mereka.
Pada hemat saya, yang diperhatikan hendaknya bukan perbedaan-perbedaan didalam
kebutuhan hukum golongan rakyat saja, tetapi juga harus diperhatikan perbedaan
didalam kebutuhan hukum yang berdasarkan perbedaan agama.
Misalnya
didalam menyusun rencana Undang-Undang Perkawinan, hendak nya kebutuhan hukum
yang berdasarkan perbedaan agama ini diperhatikan. Jadi tidak dapatlah kita
membuat Undang-Undang Perkawinan yang berlaku untuk semua orang dengan agama
yang berbeda-beda, karena masalah keperdataan biasa, tetapi berhubungan dengan
masalah kepercayaan.
4.5
Hukum Perdata Perselisihan
Dengan tidak adanya unifikasi hukum di dalam lapangan
hukum perdata ini menimbulkan suatu problema, yaitu : bagaimanakan orang-orang
yang tunduk pada sistem hukum perdata yang berbeda-beda itu mengadakan hubungan
hukum, atau hukum manakah yang dipakai kalau orang-orang itu mengadakan
hubungan hukum satu sama lain.
Contoh : Seorang warga
negara Indonesia keturunan Eropa kawin dengan seorang warga negara Indonesia
asli. Hukum manakah yang dipakai ?
Karena nampaknya memang ada “perselisihan” maka hukum
perdata yang menyangkut orang-orang yang tunduk pada sistem hukum perdata yang
berlainan ini sering disebut Hukum Perdata Perselisihan. Penamaan ini
sesungguhnya tidak tepat, karena sesungguhnya di sini tidak ada perselisihan.
Yang ada adalah masalah pilihan hukum.
Karena saya lebih
cenderung untuk menggunakan istilah hukum antara atau hukum antar sistem hukum.
Di Indonesia kita mengenal bermacam-macam hukum antara :
a). Hukum Antar
Golongan atau Hukum Intergentil
Persoalan hukum Intergentil timbul, kalau terjadi
hubungan antara orang-orang yang menganut sistem hukum perdata yang berbeda
berdasarkan pasal 163 I.S. tersebut diatas. Persoalan hukum Intergentil inilah
terutama yang merupakan warisan dari hukum Himdia Belanda.
b). Hukum Antar Agama
Bagi kami (penulis) adanya Hukum Antar Agama adalah suatu
yang mustahil. Tidak mungkin dikompromikan dua sistem hukum yang berasal dari
kepercayaan.
Contoh : Agama Islam
memperbolehkan perkawinan antara pria Islam dengan wanita-wanita Akhlil Kitab
(Yahudi dan Nasrani). Agama Kristen memperbolehkan perkawinan antara pria
Kristen dengan wanita Islam (atau lain-lain agama). Adakah ini mungkin
dikompromikan ?
c). Hukum Antar Daerah
Indonesia dibagi-bagi di dalam banyak daerah Hukum Adat.
Hubungan Hukum antara orang-orang yang mengalami sistem Hukum Adat yang
berlainan inilah yang menjadi persoalan di dalam Hukum Antar Daerah.
d). Hukum antar bagian
Ini
hanya ada pada jaman hindia belanda atau jaman republik indonesia serikat Pada
jaman hindia belanda negeri belanda mempunyai
jajahan jajahan lain selain hindia belanda (yang sekarang merupakan
daerah jajahan republik indonesia ) jajahan lain itu misalnya suriename
hubunggan hukum antara daerah daerah jajahan
yang berbeda ini lah yang menjadi masalah dari hukum antar bagiaan juga di jaman
R.I.S kita mengenal di negeri negeri bagian misalnya indonesia timur dan
republik indonesia ( yogyakarta ) hubunggan antar orang orang dari negeri
negeri yang berlainnan ini juga menjadi masalah hukum antar bagian.
e). Hukum perdata
internasional
Ini
adalah hukum perdata yang menyagkut hubunggan hukum antara orang orang yang
tunduk pada sistim hukum yang berlainan di mana tersangkut beberapa negara
.ini bukan arisan dari tata hukum hindia
belanda ,melainkan ajar di dalam hubungan internasional.
f)
.Hukum Antar Waktu
Ini
terjadi karena adanya perubahan
perubahan di dalam aturan aturan hukum
biasanya aturan hukum yang baru sudah memuat aturan peralihan untuk
menampung keadaan keadaan yang timbul dari perubahan perubahan antar hukum itu
,misalnya apa yang terdapat dalam pasal
II aturan peralihan UUD 1945. Tetapi karena hukum peralihan itu tidak ada maka kita di
harapkan pada masalah pilihan hukum mana
yang akan di pakai mengenayai ini sudah ada pedoman pedoman nya .untuk hukum
pidana misalnya maka yang di pakai adalah aturan hukum yang paling menguntung
kan terdakwa dan lain sebagainya . Keadaan yang saya maksud di dalam permulaan
anak yang menyangkut ke anekawarnaan hukum yang menjadi persoalan di dalam
hukum intewrgentil karena nya pembentuk undang undang di dalam
mengusahakan terbentuk nya hukuman
perdata yang bersifat nasional ,masalah kesatuan hukum ni haruslah di
perhatikan terhadap kebutuhan kebutuhan hukum dari masing masing golongan, juga
ketentuan hukum yang bersangkutan dengan agama, terutama didalam masalah hukum
keluarga. Kebiasaan atau adat itu kemudian oleh masyarakat diterima sebagai
suatu kemestian untuk diterima dan ditaati dan diberi sanksi bagi
pelanggar-pelanggarnya (sebagai ciri dari hukum) maka adat dan kebiasaan tadi
lalu menjadi Hukum Adat dan Hukum Kebiasaan.
Hukum
Adat ini bukan merupakan lapangan hokum tersendiri, melainkan meliputi semua
lapangan hokum, yang merupakan bagian yang tidak tertulis. Dengan demikian
terdapat Hukum Tata Negara per-Undang-Undangan dan Hukum Tata Negara Adat
(Kebiasaan). Hukum Tata Usaha per-Undang-undangan dan Hukum Tata Usaha Adat
(kebiasaan) dan seterusnya. Hukum Adat (kebiasaan) mengenai lapangan hokum
perdata menjadi lebih penting dari lapangan hokum lain, karena di dalam hokum
Perdata ini masalahnya dapat dikuasai oleh pihak-pihak. Meskipun demikian kita
boleh melupakan hokum adat (kebiasaan) di dalam lapangan hokum lain, misalnya
di dalam lapangan Hukum Tata Negara (convontion) , di dalam lapangan Hukum
acara yang berujud kebiasaan di dalam praktek-praktek pengadilan, misalnya
mengenai pengusahaan perdamaian oleh Hakim.
Menurut
pasal 130 ayat 1 I.S. Hakim wajib mengusahakan perdamaian antara pihak-pihak
yang bersangkutan di dalam perkara peradilan pada permulaan sidang, sedang
prakteknya, pengusahaan perdamaian itu dapat di lakukan setiap waktu selama
proses pengadilan, selama belum ada keputusan hakim.
Perimbangan
kedudukan Hukum Adat dan Hukum Per-Undang-Undangan di dalam Tata Hukum
Indonesia. Undang-Undang Dasar yang sekarang berlaku, tidak menyebutkan apa
mengenai hal ini. Sekedar petunjuk dapat dikemukakan bahwa:
a. Dengan
adanya Undang-Undang Dasar menunjukkan bahwa RI mengutamakan hokum yang
tertulis.
b. Pernah
adanya pasal 102 UUDS yang memerintahkan kodifikasi pada beberapa lapangan
hukum menunjukkan bahwa RI mementingkan hukum yang tertulis.
c. Undang-Undang
dasar (yang sekarang berlaku) banyak mengemukakan hal-hal yang harus diatur
lebih lanjut dengan Undang-Undang menunjukan bahwa RI mengutamakan hukum yang
tertulis.
d.
Pasal-pasal
32, 43, ayat 4, 104 ayat 1, UUDS menyebut hukum adat dan hukum tidak tertulis
di samping aturan-aturan Undang-Undang. Pasal 14, 13 ayat 2 dan 16 ayat 2 menyebut
aturan hokum saja. Menurut prof. kusumadi ini termasuk aturan hokum tidak
tertulis. Penyebutan aturan-aturan hokum yang tidak tertulis atau hokum adat
dalam suatu nafas dengan Undang-Undang dan penggunaan istilah aturan hokum yang
meliputi Undang-Undang dan hokum tidak tertulis menunjukan bahwa di dalam hokum
yang asli mandiri sederajat dengan Undang-undang.
Tetapi
di dalam UUD 1945 tidak menyebutkan apa-apa. Dalam hal ini menurut prof.
kusumadi kita dapat mempunyai pendirian 2 macam:
1. Sama
seperti dalam masa berlakunya UUDS.
2. Tidak
dapat ditarik kesimpulan apapun.
Dalam
hal ini kita harus mengingat pasal II aturan peralihan UUD 1945. Berdasarkan
aturan peralihan tersebut, kita anggap masih berlaku peraturan Tata Hukum
sebelum 17 agustus 1945 tentang imbangan kedudukan antara Undang-Undang dan
hokum yang tidak tertulis. Dan Tata Hukum sebelum 17 agustus 1945 kita mengenal
ketentuan pasal 15 AB, yang sampai sekarang belum ada ketentuan, sehingga dapat
dikatakan masih berlaku. Atau dianggap bertentangan dengan hakekat Tata Hukum
Indonesia seperti tercermin di dalam UUd 1945, sehingga pasal 15 AB. Bunyi
pasal 15 AB adalah: “selain dari pada pengecualian yang telah ditetapkan
tentang Bumi Putra dan orang-orang yang dipersamakan dengan mereka, maka
kebiasaan tidak mrenimbulan hokum kecuali hanya apabila Undang-Undang menunjuk
kepada itu”. Ketentuan dalam pasal 15 AB itu bertentangan dengan aliran
yang berlaku sekarang, bahwa kebiasaan
juga sumber hokum yang mandiri, sama sederajat dengan Undang-Undang. Karenanya
hakim hendaknya menerapkan hokum kebiasaan dalam hal Undang-Undang menunjuk
kepada itu.
Sebuah
Undang-undang, padahal yang dipersoalkan adalah hokum manakah yang lebih
berkuasa, Undang-Undang atau hokum adat kebiasaankah? Kalau kita berpegangan
pada pasal 15 AB maka sebetulnya kita sudah memilih, bahwa Undang-Undanglah
yang diberi penghargaan tertinggi. Maka soal harus kita pecahkan diluar pasal
15 AB, malahan lebih tegas lagi. Diluar Undang-Undang apapun juga, sebagai
kesimpulan mengenai imbangan antara hukum adat/kebiasaan dengan hokum
per-Undang-Undangan, dapatlah kami kemukakan behwa:
-
Pasal 15 AB tidak boleh kita pergunakan
lagi, karena bertentangan dengan paham yang berlaku saat ini.
-
Dengan adanya pasal 27 ayat 1, Pasal 40
UU no. 14 tahun 1970 maka harus kita anggap bahwa pasal 15 sudah dicabut.
-
Dengan demikian berlakunya
adat/kebiasaan sebagai sumber hokum tidak usah dengan penunjukann
Undang-undang.
-
Di dalam praktek hakim selalu lebih
mengutamakan Undang-Undang daripada adat/kebiasaan, karena alasan kepastian
hukum.
Dengan
demikian kita sadari uraian kamii mengenai hokum di Indonesia, uraian ini
hanyalah pemandangan hokum belaka, belum sampai pada uraian mengenai lapangan
hokum materiil positif. Uraian lebih lanjut mengenai hal ini kami serahkan
kepada dosen-dosen yang bersangkutan. Mengenai hukum acara dan susunan dan
kekuasaan kehakiman, akan kami bahas dalam Bab V, yang karena panjangnya, kami
jadikan bagian ke-2 dari resume ini.
BAB
V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas, penulis
dapat menarik kesimpulan ringkas guna memberikan penjelasan lebih kepada
penulis khususnya,dan para pembaca pada umumnya kedepan.
Negara
Republik Indonesia memang mengutamakan hukum yang berlaku baik tertulis maupun
tidak. Memang seharusnya demikianlah bagi suatu negara yang modern. Hal ini
tidak berarti hukum yang tidak tertulis dilalaikan.
thanks.. :)
BalasHapusizin copy beberapa bagian. terimakasih
BalasHapusskrang saya paham perbedaan phi dan pih yang mendasar. terima kasih admin
BalasHapussipp. komplit banget ya, bener2 niat bikin artikel.
BalasHapuspuas bacanya
BalasHapus