Senin, 19 Maret 2012

Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Hukum Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Nama P.I.H dan P.T.H.I
P.I.H (Pengantar Ilmu Hukum) dan P.T.H.I (Pengantar Tata Hukum Indonesia) mempunyai hubungan yang sangat erat, oleh karena dalam kita membicarakan P.I.H tentu saja tidak bisa lepas pembicaraan itu dari P.T.H.I Hubungannya adalah terletak pada objeknya yaitu punya objek yang sama adalah Hukum yang dalam peninjauannya keduanya menggunakan sudut pandang yang berbeda. P.I.H meninjau objeknya dalam keadaan yang umum, abstrak, tidak terikat oleh keadaan waktu dan tempat. Jadi yang dipelajari oleh P.I.H adalah : Hukum pada umumnya yaitu mengenai Hakekat Hukum, Tujuan dan Sumber-sumber Hukum.
P.T.H.I meninjau objeknya dalam keadaan yang konkrit, khusus, terikat oleh keadaan waktu dan tempat. Jadi P.T.H.I, mempelajari hukum yang terikat pada keadaan tertentu, wakttu tertentu dan tempat tertentu yaitu Indonesia pada waktu dan keadaan sekarang ini. Maka dengan demikian maka objek dari pada P.T.H.I adalah Hukum yang berlaku sekarang di Indonesia, hukum yang berlaku sekarang di Indonesia disebut Hukum Positif. Ujudnya adalah keseluruhan aturan-aturan hukum yang saling berhubungan dan saling menentukan sifatnya yang berlaku dalam masyarakat hukum tertentu (Indonesia) yang berlaku sekarang ini. Hukum yang berlaku sekarang yang mempunyai ujud tersebut dinamakan Tata Hukum dan karena berlakunya di Indonesia maka disebut Tata Hukum Indonesia.
Dari pengertian di atas jelaslah bahwa P.T.H.I ini tidak membicarakan hukum yang pernah berlaku karena itu adalah merupakan objek dari Ilmu Sejarah Hukum. Juga tidak membicarakan hukum yang berlaku sekarang di Indonesia. Pengertian berlaku ini adalah memberikan akibat hukum pada peristiwa-peristiwa/kejadian-kejadian di dalam pergaulan hidup masyarakat. Hukum positif ini istilah asingnya Ius Constitutum, hukum yang dicita-citakan untuk berlaku istilahnya adalah Ius Constituendum. Berlaku dalam hal ini adalah di Indonesia. Perlu diketahui bahwa P.I.H adalah Pengantar dalam mempelajari P.T.H.I Jadi dengan demikian P.I.H ini adalah suatu ilmu (mata kuliah) dasar yang mengantar atau menunjukkan jalan ke arah cabang-cabang ilmu hukum. Berarti P.I.H ini adalah : Memberikan suatu pemandangan umum secara ringkas mengenai seluruh ilmu pengetahuan hukum mengenai kedudukan ilmu hukum di samping ilmu-ilmu yang lain, mengenai pengertian-pengertian dasar, azaz dan penggolongan-penggolongan hukum.
Ilmu pengetahuan hukum, juga ilmu ekonomi, ilmu jiwa, sosiologi dan lain-lain termasuk ilmu pengetahuan sosial yang mempunyai objek penyelidikannya pada tingkah laku manusia. Ilmu pengetahua hukum mempelajari tingkah laku manusia khususnya tentang kaidah-kaidah hidupnya mana yang harus dikerjakan dan mana yang harus dilarang untuk dikerjakan. Dengan perkembangan masyarakat sekarang ini maka ilmu pengetahuan hukum juga mengalami perkembangan sehingga dengan demikian ilmu pengetahuan hukum ini mempunyai spesialisasi seperti Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum Perdata, Hukum Dagang dan lain sebagainya. Ilmu pengetahuan hukum mempelajari kaidah-kaidah hukum hidup manusia, bagaimana kaidah-kaidah itu berlaku, diterima dan ditaati orang di dalam masyarakat. Jadi dengan demikian hukum diartikan sebagai kaidah (das sallen) sebagai gejala-gejala masyarakat (das sein), kaidah-kaidah ini adalah kaidah yang berlaku sekarang (hukum positif).
Ilmu hukum positif mencari konsalitas antara gejala hukum disekitar kita, supaya dapat menjelaskan segala hukum dan segala persoalannya. Ilmu hukum positif harus menguji apakah pangkal peninjauannya dan asasnya memang benar dan sesuai dengan perasaan hukum yang nyata ada pada masyarakat yang bersangkutan. Ilmu hukum positif agar dapat mencapai tujuannya diperlukan ilmu-ilmu pembantu yaitu :
1.      Sejarah Hukum
Menyelidiki sistim-sistim hukum yang pernah berlaku dan perkembangannya. Kita dapat mengerti hukum yang sekarang berlaku apabila telah memahami sejarah perkembangannya. Hukum yang sekarang berlaku banyak yang bersumber pada hukum yang dahulu.
2.      Sosiologi Hukum
Adalah untuk mengetahui kebenaran dari gejala-gejala riil dalam masyarakat.
3.      Perbandingan Hukum
Adalah mencari unsur/anasir-anasir yang mengandung kesamaan di dalam hukum yang berlaku pada beberapa negara dan pada beberapa zaman.
4.      Ilmu Hukum Sistimatis/Gogmatis
Mencari konsolitas antara masing-masing gejala hukum yang ditimbulkan dalam masyarakat, jadi berarti mencari azas/dasar/dasar suatu tata tertib hukum positif.
5.      Politik Hukum
Menyelidiki perubahan-perubahan apa yang harus diadakan didalam hukum sekarang supaya menjadi lebih sesuai dengan perasaan hukum yang ada pada masyarakat. Meneruskan perkembangan hukum dengan berusaha melenyapkan sebanyak-banyaknya ketegangan antar yang berlaku dengan perasaan yang ada dalam masyarakat (antara positivitas dan kebenaran sosial).

1.2  Definisi Hukum/Pengertian Hukum
Apakah hukum itu ? Atas pertanyaan itu banyak rumusan atau definisi tentang hukum, yang satu berbeda dengan yang lain tetapi semuanya betul. Banyaknya rumusan tentang hukum itu disebabkan amat luasnya lapangan hukum. Jadi lain masalahnya kalau kita ditanya apakah kursi itu ? Jawabnya : Kursi ialah suatu benda untuk tempat duduk yang dilengkapi dengan sandaran punggung. Oleh karena itu, kita tidak perlu menghafalkan rumusan-rumusan hukum yang penting ialah kita bisa memahami pengertian/makna dan intisari hukum.
Sebagaimana telah disebut di atas bahwa hukum, juga norma-norma lainnya hanya terdapat di dalam kehidupan manusia, jadi berarti tidak ada hukum jika di tempat itu tidak ada manusia (Ubisocitas). Contoh : Di tengah gurun pasir sahara di situ tidak ada manusia maka tidak ada huku. Manusia harus hidup bermasyarakat artinya harus hidup bersama dengan manusia lainnya, maka kalau dalam suatu daerah hanya hidup seorang manusia saja tentu di situ tak diperlukan adanya hukum karena hukum itu hakekatnya adalah untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat. Masyarakat yang bagaimanapun  sederhananya mereka tentu saja sudah mempunyai hukum, maka tidak benar kalau ada yang mengatakan bahwa dalam masyarakat bangsa Indonesia yang belum beradab tidak mempunyai hukum. Hukum mereka ini menurut ketentuan adat atau kebiasaan sendiri. Setiap bangsa di dunia mempunyai hukum meskipun hukum itu tidak sama atau serupa karena hukum mempunyai hubungan yang rapat dengan kemajuan dan perkembangan dari masyarakatnya. Masyarakat yang masih primitif akan sederhana pula hukumnya dan masyarakat yang sudah modern akan komplek pula hukumnya. Kebudayaan sesuatu bangsa mempunyai pengaruh kepada hukumnya. Bangsa yang mempunyai banyak kontak/hubungan dengan bangsa lain akan terjadi kontak atau percampuran dalam kebudayaannya pula, yang berarti terjadinya percampuran hukum dari bangsa itu dan ini diatur oleh hukum antar bangsa atau Hukum Internasional. Negara yang dijajah oleh negara lain sedikit banyak akan menerima kebudayaan penjajah termasuk penerimaan (receptie) atau peniruan dalam hukumnya dapat secara sukarela atau dengan paksaan. Contoh : Belanda waktu menjajah Indonesia, sampai sekarang masih ada hukum negeri Belanda yang berpengaruh atau masih dipakai di Indonesia misalnya Hukum Pidana. Jadi hukum dan masyarakatnya tak dapat dipisahkan, dengan kata lain ada paralel antara masyarakat dengan hukum.
Hukum adalah bermaksud mengatur tata tertib masyarakat. Agar tata terib masyarakat terselenggara maka hukum menentukan norma-normanya atau aturannya yang berisikan perintah atau larangan yang harus dipatuhi oleh setiap orang, oleh karena itu pelaksanaannya dapat dipaksakan, dan inilah keistimewaan dari hukum. Hukum juga membuat bermacam-macam petunjuk yang menentukan hubungan antara manusia dengan manusia yang lain dalam pergaulan hidup. Kaidah/norma dan atura itu misalnya : kamu tidak boleh membunuh. Kamu tidak boleh mencuri. Jika kamu membeli barang kamu harus meembayarnya, dsb.
Kembali kepada pertanyaa : “Apakah Hukum itu ?” Hukum = Ucht (Belanda) = law (inggris) = loi (Perancis) = ius (Latin). Mengenai definisi hukum ini ternyata tidak mudah orang memperoleh jawaban yang memuaskan. Sebagian besar Sarjana berpendapat tidak mungkin memberi definisi yang memuaskan mengenai apa yang disebut hukum itu.
Menurut Prof. Mr. L. J. Van Apeldoorn, tidak mungkin hukum itu dirumuskan dalam suatu kalimat pendek karena hukum itu mempunyai banyak sekali segi-segi. Ini adalah disebabkan karena hukum itu terjadi dengan adanya hubungan antara manusia di dalam masyarakat. Hubungan itu beranekaragam, sehingga apabila harus di berikan definisi tentang hukum, tentu akan beranekaragam pula.
Menurut G. W. Paton, definisi yang beranekaragam itu di sebabkan karena tiap-tiap Sarjana memberi definisi dari sudut pandangannya sendiri. Contoh : Untuk satu jenis objek saja misalnya sapi, dapat dikemukakan bermacam-macam definisi, tergantung siapa yang memberikan definisi tersebut, sapi menurut tukang jagal berbeda dengan sapi menurut sarjana peternakan. Begitu pula pandangan orang awam tentang hukum, tentu karena sifat awamnya lebih banyak tergantung pada pengalaman yang pernah didapat oleh orang itu. Orang yang punya saudara notaris sering melihat kitab Undang-undang maka ia memandang bahwa hukum itu adalah sedorotan pasal-pasal yang ada didalam Undang-undang. Akibatnya mereka menyakan hukum dengan Undang-undang karena didalam Undang-undang itu mereka melihat hukum. Sebenarnya tidak tepat, memang mereka telah melihat salah satuciri hukumitu didalam pasal-pasal undang-undang sebagai atturan-aturan mengenai tingkah laku. Tetapiini hanya sekedar  ciri belaka. Aturan mengenai tingkah laku ditetapkan oleh penguass atau negara. Dengan demikian kita tidak dapat memberikan definisi hukum sebagai aturan keseluruhan aturan tingkah ;laku yang ditetapkan oleh penguasa atau negara, ini kalau kita menganggap hukum sama dengan undang-undang.
Pernah berkembang suatu hari logismedalam zaman Revolusi Perancis, menandang satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Jadi hukum dapat disamakan dengan Undang-undang. Sekarang pandangan ini tidak dianut lagi, sekarang dakui bahwa undang-undang bukanlah satu-satunyasumber hukum. Kita mengenal Perjanjian, Traktat, Yurisprodensi. Malah undang-undang sendiri memberi kemungkinan berkembangnyasumber-sumber hukum yang lain selainundanf-undang, misalnya pasal 1338 B.W. (Burgerlijk wet book) memberi kemungkinan pada perjanjian sebagai sumber hukum yang sama dengan undang-undangbagi pihak-pihak yang membuatnya dan kalau perjajian itu dibuat secara sah.
Maka kalau ditinjau dari fahan kita sekarang mengenai sumber hukum, jelas bahwa kita tidak boleh menyamakan hukum dengan undang-undang. Tinjauan dari sudut sejarah fahan kita tidak dapat membenarkan hal ini. Di dalam sejarah dikenal suatu masa dimana Undang-undang tidak/belum dikenal, tetapi meskipun demikian kita tidak mengatakan bahwa pada waktu itu tidak ada hukum, sebab di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Sebagai orang awam mengenal hukum karens ia menghadapi suatu perkara, orang itu melihat polisi menangkap pencuri, atau melihat orang bersengketa melawan hakim atau melihat orang diproses perbal oleh jaksa. Orang ini berkesimpulan bashwa hukum itu tidak lain adalah polisi, Gedung Pengadilan, Hakim, Jaksa. Karena berdasarkan pe4ngalamanya orang itub melihat hukum dalam kdaan yang konkrit, terjema dalam suatu hubungan bukan sekedar dalam pasal-pasal. Bagi kitab hukum bukan sekedar pasal-pasaldalam undang-undang malah lebih dari itu.
Pandangan tersebut diatas melihat hukum hanya sepanjang yang menjelma di dalam Polisi, Jaksa, Gedung Pengadilan, Hakim. Tetapi yang sebenarnya lebih dari itu, karena pada hakekatnya hukum itu ada sejak manusia lahirhukum sudah bekerja, ini dapat kita lihat pada pasal 2B.W. Anak yang dalam kandungan dianggap telah lahir apa bila kepentinganya menghendaki. Ini membuktikan bahwa hukum itu sudah melindungiakan hak manusia sejak dalam kandungan. Hukum masih melindungi jenazahnya pada waktu orang itu meninggal. Sejak manusia itu lahir maka sejak itu ia mempunyai status subjek hukum, sebagai pendukung hak dan kewajiban. Sepanjang hidupnya setiap tingkah lakunya ia selalu dibawah kekuasaan hukum, ia tidak dapat berkendaraan seenaknya di jalan umum. Hukum mengatur bagaiman ia harus kawin, mendirikan rumah, dll. Jadi ternyata hukum terdapat di mana-mana selama ada masyarakat, selama ada pergaulan hidup manusia. Pergaulan itu dapat berjalan dengan tertib dan teratur adalah karena kekuasaan hukum.
Sebegitu jauh pembicaraan/uraian ini tapi kita belum dapat menemukan definisi dari hukum. Tetapi bagaimanapun juga kita harus mempunyai pedoman apa yang disebut hukum itu agar kita tidak keliru mempelajari objeknya. Untuk itu kita lihat pendapat beberapa Sarjana :
·         Mr. Dr. E. Utrecht
Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib dalam suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat.
·         Prof. Mr. Kusunadi Padjosisroyo
Hukum /aturan-aturan hukum itu adalah suatu lapangan dari keseluruhan aturan-aturan bertingkah laku dari orang-orang di dalam masyarakat. Dan dari inipun tidak memuaskan, Kusnadi menyamakan hukum dengan aturan hukum.
·         Mr. Dr. Kisch
Dalam bukunya “Net Recht In Indonesia” mengatakan Hukum yang banyak seginya serta yang meliputi segala lapangan itu menyebabkan orang tidak mungkin membuat suatu definisi apa hukumitu sebenarnya.
·         Prof. Sudiman, “Pengantar Tata Hukum di Indonesia”
Hukum adalah fikiran anggapan orang tentang adil dan tidak adil mengenai hubungan antara manusia.
Meskipun definisi di atas tidak memuaskan, tetapi ini adalah sekedar sebagai pedoman mengenal ciri-ciri hukum adalah :
1.      Keseluruhan aturan bertingkah laku dalam masyarakat.
2.      Harus ditaati oleh masyarakat.
3.      Harus ada sanksi yang tegas dan nyata.
Dengan demikian sekedar gambaran untuk memudahkan dalam mempelajari hukum itu, arti hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memakan, berisikan perintah, larangan atau yang lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Ia bermaksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.



1.3  Hukum Sebagai Himpunan Kaidah-Kaidah Dan Hubungannya Dengan Kaidah Lainnya
Menurut kodratnya di mana-mana dan kapan saja hidup bersama-sama yaitu hidup dalam pergaulan dengan manusia lain. Menurut Aristoteles ahli filsafat Yunani, manusia adalah “ZOON POLITICON DE MEEN IS MEN SOCIAL WEZEN” (manusia adalah mahluk sosial) artinya manusia adalah mahluk yang hidup bergerombol atau hidup bersama-sama di dalam masyarakat. Hidup bersama-sama ini nampak sebagai perhubungan antara orang-orang (individu), misal hubungan antara suami dan istri kemudian meningkat merupakan rumah tangga keluarga, suku dan terus menjadi masyarakat bangsa yang lebih besar. Menurut ELWOOD yang menyebabkan manusia selain hidup bermasyarakat karena adanya dorongan yang terdapat dalam kodrat diri manusia sendiri yaitu :
1.      Hasrat untuk memenuhi kebutuhan makan minum
2.      Hasrat untuk membela diri
3.      Hasrat untuk mengadakan turunan/mengembangkan jiwa
Selain kodrat ini juga dengan ikatan tunggal sedarah karena :
1.      Senasib (persamaan nasib)
2.      Persamaan Agama
3.      Persamaan Budaya
4.      Persamaan Daerah.

Menurut Prof. Bonaan dalam bukunya Ilmu Masyarakat umum mengatakan bahwa manusia baru menjadi manusia setelah ia hidup bersama dengan manusia lain. Manusia adalah warga masyarakat, masing-masing anggota/warga masyarakat mempunyai kepentingan ada yang sama tetapi adapula yang kepentingannya tidak sama, ada yang bertentangan dan dapat menimbulkan kekacauan dalam masyarakat. Maka agar dalam melaksanakan kepentingannya itu atua dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, tiap-tiap anggota dapat melakukan dengan tenteram dan damai dengan tidak mendapat gangguan dari pihak lain maka perlu adanya “TATA ORDE ORDNUNG” yaitu aturan-aturan yang menjadi pedoman bagi segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup. Dengan adanya tata itu tiap-tiap anggota masyarakat tahu akan hak dan kewajibannya masing-masing sehingga kepentingan itu dapat dipelihara dan terjamin.
Tata atau aturan yang demikian disebut Kaidah atau Norma. Kaidah atau norma itu merupakan gejala sosial, yaitu gejala yang terdapat dalam masyarakat.
Norma mempunyai 2 macam isi :
1.      Perintah : ialah berwujud keharusan bagi seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu oleh karena akibatnya dipandang baik.
2.      Larangan : ialah yang berupa cegahan bagi sesorang untuk tidak berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dianggap tidak baik.
Norma-norma ini bertujuan untuk mengadakan tata tertib dalam masyarakat, dalam mempertahankannya diikuti dengan sanksi yang tegas berupa ancaman hukuman bagi yang melanggarnya. Ada 4 macam Norma yaitu :
1.      Norma Agama
Adalah peraturan atau kaidah yang sumbernya dari firman/perintah-perintah Tuhan melalui para Nabinya. Bagi orang yang beragama perintah Tuhan itu menjadi petunjuk atau pedoman di dalam sikap dan perbuatannya (way of life). Kaidah agama tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya tetapi juga mengatur hubungan kemasyarakatan, jadi mengatur Hablum minallah dan Hablum minan nas. Yang bersifat kemasyarakatan memberikan perlindungan terhadap kepentingan orang lain, hubungan manusia yang satu dengan yang lain, misalnya:
§  Membunuh itu dosa.
§  Hormatilah orangtuamu agar hidupan selamat dunia dan akhirat
§  Tidak boleh dusta, siapa yang dusta akan masuk neraka.
Bagi mereka yang melanggar norma agama akan mendapat sanksi yang berupa siksaan di neraka. Bagi meraka yang atheis tidak percaya akan adanya hukum itu sehingga norma agama tidak punya faedah bagi mereka. Ditaatinya norma ini adalah berdasarkan kepercayaan. Kepercayaan ini sumbernya adalah dari diri manusia itu sendiri, bagi yang percaya kaidah ini harus ditaati dan jika tidak maka berdosa, jadi takut akan dosa maka norma ini ditaati. Kaidah ini bersifat otonom karena bersumber dari diri sendiri dipertahankan atas daya pemaksa yang ada di dalam diri manusia itu sendiri.

2.      Norma Kesusilaan
Adalah kaidah yang bersumber pada kata hati atau insan kamil manusia, kaidah itu berupa bisikan-bisikan atau suara batin yang diakui dan diinsyafi oleh setiap orang dan ini menjadi dorongan atau pedoman dalam perbuatan dan sikapnya. Jadi dapat dirumuskan bahwa kaidah kesusilaan adalh keseluruhan aturan bertingkah laku manusia yang didasari pada kesadaran baik dan buruk berdasarkan ratio. Ratio (akal yang sehat) inilah yang merupakan alat yang membedakan manusia dengan hewan dengan ratio ini pula manusia dapat membedakan mana yang baik mana yang buruk. Ratio bersifat Universal artinya berlaku umum di mana saja. Contoh : 
·         Membunuh itu buruk. Akal yang sehat melarang manusia untuk membunuh.
·         Menolong orang yang sedang menderita itu baik, maka akal ynag sehat menganjurkan manusia untuk melakukannya.
Karena dasarnya ratio maka pengertian baik dan buruk itu bersi universal, yang buruk di Amerika juga buruk di Indonesia dan sebaliknya. Bagi orang yang melanggar kaidah kesusilaan ini akan mendapat sanksi yang bersifat otonom, artinya ancaman hukuman itu datangnya dari dalam diri pribadi orang itu sendiri yaitu berupa penyesalan, siksaan batin dan yang dapat berakibat pada jiwa raganya misalnya karena penyesalannya maka ia makin lama makin kurus bahkan sampai gila. Karena beradanya kaidah ini di dalam masyarakat tentu saja orang-orangnya ada yang susila dan ada yang a susila, berarti norma kesusilaan ini hanya diikuti oleh segolongan orang saja yaitu yang susila, yang moral. Dari contoh di atas jelas bagi kita bahwa isi norma agama sama dengan isi dari norma kesusilaan.

3.      Norma kesopanan (Tata Krama)
Ialah peraturan yang timbul dari pergaulan hidup segolongan manusia diikuti dan ditaati sebagai pedoman dalam tingkah laku terhadap sesama orang yang ada di sekelilingnya. Jelas bahwa asal kaidah kesopanan ini adalah terletak di luar manusia itu sendiri yaitu dari masyarakat tertentu misalnya :
Ø  Jangan menghina orang lain
Ø  Jangan meludah di depan orang lain
Ø  Berbicaralah dengan sopan, dsb.
Mengenai yang baik dan yang buruk, yang boleh dan tidak boleh dilakukan hanyalah bersifat setempat. Tidak universil, karenanya apa yang dianggap di Amerika mungkin dianggap buruk di Indonesia. Bagi orang yang melanggar kaidah kesopanan ini masyarakat memberikan sanksi-sanksi tertentu. Jadi ancaman sanksi ini yang memaksa manusia dalam masyarakat itu taat pada kaidah kesopanan. Sanksi itu misalnya dicemoohkan, ditertawakan, diasingkan dari pergaulan hidup, dianggap tidak lumrah, tidak sopan, dll. Kaidah kesopanan ini sumber dan cara mempertahankannya adalah terletak diluar diri manusia, maka kaidah ini punya sifat. Pada umumnya dalam menjalankan kaidah inin orang bersifat Hipakritis (munafik. Jawa : ngomandroko artinya yang nampak di luar berbeda dengan sikap batinnya, misalnya : Mahasiswa kalau bertemu dengan dosennya ia mengangguk tanda hormat, tapi dalam hatinya memaki-maki karena ujian dari dosen itu berulang kali tidak lulus.

4.      Norma Hukum
Ialah peraturan yang dibuat oleh negara dan berlakunya dipertahankan dengan paksaan alat-alat negara misalnya polisi, tentara, dsb. Jadi sifat khas dari norma ini ialah sifat memaksa, ini tidak boleh diartikan selalu dapat dipaksakan sebab pelaksanan peraturan hukum yang selalu dipaksakan dalam arti yang sebenarnya tidak mungkin tercapai. Sanksi terhadap yang melanggar aturan hukum bersifat heteronoon  artinya sanksi itu datangnya dari luar diri manusiayaitu dari kekuasaan lain, misalnya dari pemerintah. Paksaan disini tidak berarti sewenang-wenang melainkan harus bertujuan suatu tekanan. Untuk menghormati norma hukum ini jadi paksaan tidak boleh menjadi tujuan melainkan hanya sebagai alat saja. Kaidah hukum ini mempunyai fungsi untuk :
1.      Melengkapi kaidah-kaidah yang lain (agama, kesusilaan, kesopanan) dengan sanksi yang tegas dan nyata.
2.      Mengatur hal-hal yang belum diatur oleh kaidah-kaidah yang lain.
3.      Kadabg-kadang mengatur hal yang berlawanan dengan kaidah yang lain misal, memnuh adalah bertentangan dengan kaidah kesusilaan tapi kaidah hukum memungkinkan adanya hukuman mati.

Tata hukum mengadakan laidah-kaidahnya yang bersifat memaksa adalah untuk hidup dan kelangsungan masyarakatnya, yang berarti untuk perlindungan kepentingan orang-orang di dalam masyarakat itu. Tindakan-tindakan itu diperlukan, sehingga pelaksanaan tindakan itu tidak bisa diserahkan sedemikian saja kepada kehendak dari orang-orang itu. Paksaan hanya digunakan untuk menjamin ditaatinya peraturan-peraturan yang sangat dibutuhkan yaitu untuk kepentingan-kepentingan yang menjadi tujuan dari peraturan-peraturan itu. Persamaan dari keempat norma itu ialah :
1.      Norma-norma itu hanya terdapat dalam pergaulan hidup masyarakat.
2.      Norma itu mengatur tata tertib dalam pergaulan hidup.

Disamping persamaan ini terdapat pula perbedaan antar norma hukum dan norma agama, kesusilaan.

Norma Hukum
Norma Keagamaan dan Kesusilaan
1.      Tujuan nya :
Menyelenggarakan tata tertib dalam masyarakat dan memberi perlindungan terhadap manusia dan miliknya.

Memperbaiki diri manusia seseorang secara tidak langsung, juga menuju ke arah masyarakat yang teratur.
2.      Isinya :
Mengatur tingkah  laku dan perbuatan lahir manusia, di dalam hukum akan dirasakan puas kalu perbuatan manusia itu sudah sesuai dengan peraturan hukum.

Terutama mengatur sikap batin dari pribadi dan kehendak manusia dan tidak puas dengan kehendak atau perbuatan lahir saja.
3.      Sumber sanksinya :
Bersifat heteronoon, artinya sanksinya berasal dan dipaksakan oleh kekuasaan yang datang dari luar diri manusia.

Bersifat otonoon artinya sanksi berasal dari dan dipaksakan oleh suara batinnya sendiri.
4.      Ditaatinya
Kecuali rasa keadilan dari diri sendiri sebagai sumbernya, juga yang terutama karena perintah dari luar yang bersifat memaksa.

Karena sesuai dengan suara batinnya sendiri atau kepercayaanya sendiri.
5.      Pelaksanaannya
Selain memberikan hak-hak juga kewajiban seseorang (Attributief dan Normatief)

Hanya memberikan kewajiban saja tanpa hak-hak (Normatif)


1.4 Tujuan Hukum (Zweck Des Recht)
Yang mempunyai tujuan sebenarnya adalah manusia, hukum hanya sebagai alat manusia untuk mencapai tujuannya, yaitu masyarakat yang tertib dan damai. Tetapi karena manusia dan hukum tak dapat dipisah-pisahkan maka dikatakan dengan tujuan hukum. Kecuali tata tertib dalam pergaulan masyarakat, hukum juga mengatur bagaimana orang-orang memperoleh penghidupan yang memuaskan di dalam masyarakat baik materiil maupun spiritual dan kesusilaan. Kepuasan rohani menjamin setiap orang itu bebas melaksanakan agama dan kepercayaan, apabila itu memang sudah jelas dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 29 yaitu kebebasan memeluk agama dan beribadah menurut kepercayaan masing-masing. Dalam hal kepuasaan materil hukum memberikan perlindungan untuk memiliki dan menikmati harta kekayaannya. Seseorang tidak dibenarkan tanpa hak mengambil harta kepunyaan orang lain. Pemilik dilindungi dalam menikmati hartanya asal saja tidak sampai mengganggu ketentraman umum.
Hukum juga mengatur supaya selalu terjamin kesusilaan di dalam masyarakat. Yang dituju oleh hukum ialah ketertiban masyarakat suatu peraturan hukum adalah untuk keperluan penghidupan di dalam masyarakat demi kebaikan dan ketentraman bersama. Hukum mengutamakan masyarakatnya bukan kepentingan perorangan atau gollongan, hukum juga menjaga dan melindungi hak-hak dan menentukan kewajiban-kewajiban anggota masyarakat agar dapat tercipta suatu penghidupan masyarakat yang teratur dan damai adil dan makmur. Kepentingan dan keinginan seseorang adakalanya sejalan dengan orang lain tetapi adakalanya bertentangan malah menimbulkan perselisihan, maka hukum dapat mendamaikan yang bertentangan atau mengatur jangan sampai terjadi perselisihan dengan menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sesama anggota masyarakat.
Ada beberapa pendapat mengenai tujuan hukum, yaitu :
1.      Aristoteles, bukunya Rhetorica mengatakan :
Tujuan hukum adalah membuat adanya keadilan jadi mempunyai tugas yang suci yaitu memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Aristoteles membedakan 2 macam keadilan yaitu :
·         Keadilan distributif, ialah memberikan kepada orang jatahnya berdasarkan jasanya. Jadi memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya berdasarkan azaz keseimbangan.
·         Keadialan komutatif, ialah keadilan yang memberikan kepada setiap orang bagian yang sama. Jadi memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya berdasarkan azaz kesamaan.
Anggapan Aristoteles ini pincang sebab apa yang dirasakan adil pada tiap-tiap orang itu berbeda-beda. Oleh seorang dianggap adil mungkin oleh orang lain tidak adil misal tentang pelebaran jalan, bagi yang memang pekarangan halaman rumahnya luas ia merasa karena dengan pelebaran jalan maka kelas jalannya jadi naik jadi bagi orang ini adalah adil, tapi bagi orang yang tanahnya memang sempit ini dirasakan cukup berat karena tanahnya habis terpotong oleh jalan. Maka apakah untuk menerapkan keadilan ini harus dibuat 2 peraturan yang mengaturnya? Ini tidak mungkin sebab peraturan harus bersifat umum meskipun ada pengecualian-pengecualian.
2.      Menurut Utiliteits Theorie. (Pandangan yang pragmatis)
Tujuan hukum adalah kemanfaatan bagi masyarakat. Pandangan ini pada pokoknya berbunyi : Hukum menjamin bahagia sebanyak-banyaknya bagi orang yang sebanyak-banyaknya. Pandangan ini sangat sempit dan tidak meemuaskan.
3.      Bellefreid
Isi hukum harus ditentukan oleh 2 azaz yaitu azaz keadilan dan azaz kemanfaatan.
4.      Van Kan
Hukm bertujuan menjaga kepentingan-kepentingan tiap-tiap manusia agar kepentingan itu tidak terganggu. Di sini terkandung kepentingan mana yang lebih diutamakan, kepentingan masyarakatkah atau kepentingan individu, individu sebagai anggota masyarakat di dalam masyarakat itu.
5.      Prof. Van. Apeldoorn
Tujuan hukum adalah mengatur tata tertib masyarakat secara adil dan dengan jalan damai. Hukum menghendaki adanya perdamaian. Perdamaian dipertahankan oleh hukum dengan jalan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu, kehormatannya, kemerdekaannya, jiwanya, harta bendanya, dsb terhadap yang merugikannya. Hukum mempertahankan perdamaian dengan jalan menimbang kepentingan-kepentingan yang bertentangan dengan cara teliti dan mengadakan keseimbangan diantaranya. Berarti dengan demikian hukum dapat mencapai tujuannya kalau peraturannya secara adil, artinya peraturan itu terdapat keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi berarti setiap orang memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi bagiannya.
6.      Utrecht
Tujuan hukum adalah menjadi adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia, menjamin keadilan dan harus berguna, bila perlu yang adil dikorbankan untuk yang berguna. Dari pendapat Utricht ini kami berpendapat bahwa suatu peraturan hukum yang yang baik harus mengandung 2 unsur yaitu mengembankan keadilan untuk yang berguna dan menjamin kepastian hukum. Peraturan yang selalu berubah-ubah tidak adakan menjamin adanya kepastian hukum bahkan kan kehilangan authority (wibawa) nya. Wibawa ini menurut Prof. O. Notohamijoyo, SH adalah sisihan daripada ketaatan. Wibawa itu ditaati tapi kalau kuasa ditakuti.
Wibawa ini ada 2 macam yaitu :
Ø  Wibawa Jabatan yaitu wibawa yang diperoleh karena fungsi dalam ikatan atau verband, misalnya keluarga, perusahaan, negara. Wibawa ini menebal karena tindakan-tindakan yang tertib menurut wewenang jabatannya, karena penghormatan tata ikatannya. Sekarang pejabat dapat menambah wibawanya dengan bertindak yang tertib menurut wewenangnya dan dengan menjunjung tata ikatan yang menjadi tugas pemeliharaannya. Pejabat dapat kehilangan wibawanya karena tindakan yang sewenang-wenang dan dengan merusak tata ikatan yang harus dipelihara.
Ø  Wibawa Pribadi yaitu wibawa yang berasal dari kualitas atau mutu yang luar biasa yang dikaruniakan oleh Tuhan kepada seseorang, ini dapat dijumpai didalam bidang religi, kesusilaan, ilmu, kesenian, tehnik. Wibawa ini akan bertambah kuat dengan adanya kesusilaan yang tinggi dan menurun dengan merosotnya akhlak.

Kapankah hukum itu berwibawa? Hukum itu berwibawa apabila ditaati oleh pejabat hukum dan orang-orang. Dalam hal ini wibawanya akan bertambah jika :
1.      Memperoleh dukungan dalam masyarakat.
2.      Hukum itu dalam pembentukannya tidak diisolasikan dari norma sosial lain bahkan disambungkan dan disesuaikan dengan norma sosial yang berlaku.
3.      Ada kesadaran hukum dari masyarakat hukumnya.
4.      Ada kesadaran hukum yang bertugas untuk memelihara hukum.
Tugas dari pejabat hukum yaitu PANCAWARNA :
1.      Melakukan Yustitialisasi hukum artinya keputusannya memperhitungkan kemanfaatan harus diintikan keadilan.
2.      Pneumatisasi dari pada hukum artinya merahasiakan hukum. Ia harus dijiwai dengan roh yang takut dan tunduk kepad Allah.
3.      Integrasi dari pada hukum maksudnya : Realisasi dari pada hukum dalam keputusan pejabat hukum harus mengintegrasikan hukum in concreto (konkrit) dalam keseluruhan bidang hukum. Keputusan pejabat hukum tidak boleh merupakan Fremdkarpet (unsur asing) melainkan bagian yang integral dari pada sistem hukum nasional kita.
4.      Tatalisasi dari pada hukum. Keputusan pejabat hukum di samping di integrasikan dalam huukum nasional ia juga hrus di tatalisasikan dalm aspek-aspek kenyataan yang lalu. Jadi pejabat hukum wajib mengkonkritkan keputusannya dalam kenyataan kehidupan sosial dan ekonomi di Indonesia.
5.      Personalisasi dari Hukum
Mengkhususkan keputusan pejabat hukum kepada personal (kepribadian) dari pihak-pihak yang menccari keadilan. Dalam personalisasi dari pada hukum itu memuncaklah tanggung jawab pengadilan sebagai pengayoman (tempat mencari keadilan). Hakim harus memberikan pengayoman kepada manusia-manusia sebagai pribadi yang mencari keadilan.

Melihat dari tugas-tugas pejabat hukum ini, bagi kita seolah-olah hukum itu tidak akan tergoyahkan oleh siapapun juga. Tetapi walaupun demikian wibawa hukum akan melemah apabila :
1.      Hukum tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari norna-norma sosial bukan hukum, misal melemahnya Value System dalam masyarakat akibat modernisasi, dengan datangnya idiologi-idiologi dengan nilai-nilai baru.
2.      Norma hukum tidak sesuai dengan norma sosialyang bukan hukum. Misal hukum dibentuk dengan terlau progresif sehingga dirasakan sebagai sebagai norma-norma asing dari rakyat, tidak merasa terikat dengan norma itu.
3.      Tidak ada kesadaran hukum dan kesadaran norma yang semestinya dari masyarakat.
4.      Pejabat hukum tidak sadar akan kewajibanya yang mulia untuk memelihara hukum negara, mengkorupsikan hukum ini terjadi karena :
§  Kurang kesadaran bernegara
§  Kurang mengerti tujuan dalam fungsi hukum dalam pembangunan masyarakat negara
§  Kuurang bertanggung jawab
§  Melemhnya akhlak
§  Sikap masa bodoh
§  Mencari untung untuk diri sendiri
5.      Pemerintah pusat dan daerah berusaha membongkar hukum yang berlaku untuk maksut tertentu. Pemerintah seharusnya mendukung hukum dengan kewibawaanya malah menghormati hukum yang berlaku.

            Dengan adanya faktor-faktor yang menyebabkan lemahnya wibawa hukum ini maka bagi kita perlu mengetahui apa yang menjadi tugas dari hukum itu.yaitu:
  1. Menciptakan tata (orde) dalam masyarakat.misalnya dalam berjalan kita harus sebelah kiri,mengejar mobil di depan dari sebelah kanan.Dalam hal ini yang menonjol Utilitas yaitu kegunaan/kemanfaatan.
  2. Mendatangkan keseimbangan dan damai antara kepentingan manusia dalam masyarakat.Yaitu memberikan pada masing-masing bagiannya dengan prestasi seimbang dengan kontra prestasi.Jadi hukum sebagai neraca,kepentingan pihak satu ditimbang dengan kepentingan pihak lain.
  3. Menjamin kebebasan masing-masing untuk mengembangkan kepribadiannya ,untuk menikmati hak-hak nya dan menunaikan kewajiban-kewajibannya.(memberi kesempatan kepada masing-masing untuk berkreatif).
  4. Memberikan tanggung jawab sesuai dengan mutu masing-masing (memberikan masing-masing bagiannya dengan memperhitungkan kualitas masing-masing).
  5. Mengetahui pidana (hukuman) bagi yang melakukan kejahatan.jadi memberikan kepada masing-masing bagian hukumannya sesuai dengan deliknya (masalah)nya.

Di dalam semua dharma (tugas) ini hukum memberikan pengayoman kepada semua orang yang menjadi keadilan dan tata masyarakat.

1.5 Mengapa Orang Taat Pada Hukum ?
Untuk mencapai tujuannya hukum harus ditaati tidak mungkin ada tata tertib kalau hukum tidak ditaati,juga tidak mungkin ada keadilan kemanfaatan dan kepastian hukum kalau hukum tidak ditaati.Yang menjadi masalah ialah:Apabila sebabnya orang taat pada hukum?Dorongan-dorongan apa yang menyebabkan orang taat pada hukum.Untuk ini ada bermacam-macam teori mengapa orang taat pada hukum.
1.      Teori Teokrasi (Teori Ketuhanan)
Orang taat pada hukum karena hukum itu adalah kehendak tuhan.Hukum berasal dari penguasa,sedangkan penguasa adalah wakil tuhan di dunia.Jadi hukum adalah manifestasi dari kehendak tuhan,jadi sudah seharusnya manusia mentaatinya.       
2.      Teori Hukum Alam (Teori Perjajjian Masyarakat)
Manusia dalam keadaan alam (manusia ini abstrakto manusia status naturalis) adalah manusia yang terlepas dari masyarakat (masyarakat yang sudah memiliki ratio) ini adalah hal untuk membedakan baik dan buruknya. Dengan ratio ini manusia menyadari bahwa hidup sendiri-sendiri tidak baikkarena tidak dapat memenuhi tugas-tugas kemanusiaannya. Kemudian individu-individu yang terlepas itu mengadakan perjanjian untuk bekerjasama, agar dalam kerjasama itu ada koordinasi maka mereka menunjuk seseorang untuk memimpin kerjasama itu, kepada siapa orang-orang itu akan tunduk. Kerjasama inilah yang akan berkembang menjadi suatu negara. Jadi menurut ini orang taat kepada hukum karenaorang tidak menyerahkan kekuasaannya kepada penguasa untuk menetapkan peraturan-peraturan bagi dirinya. Jadi orang taat pada hukum karena kehendak mereka sendiri. Tapi teori ini jauh dari kenyataan sifatnya terlalu teoritis sebab menurut kenyataannya tidak ada manusia yang terlepas dari masyarakat, manusia lahir dengan sendirinya sudah ada dalam masyarakat yang terkecil yaitu keluarga.
3.      Teori Kekuatan
Dalam keadaan akan manusia itu punya perbedaan-perbedaanbaik dari fisik maupun mental, disini hukum sudah ada yaitu hukum rimba artinya yang kuat yang berkuasa. Orang yang kuat mengalahkan yang lemah dan mengusai serta memperalatnya. Orang-orang yang kuat inilah yang menetapkan aturan-aturan bagaimana seharusnya bertingkah laku. Jadi orang taat kepada hukum adalah karena adanya paksaan (macth,power) dari yang kuat.
4.      Teori Kedaulatan Negara
Hukum adalah kehendak negara. Negara mempunyai kekuatan (macth.power) untuk memaksa warga negaranya mentaati hukum. Jadi orang taat pada hukum karena negar menghendaki demikian, negara punya kekuatan yang tidak terbatas untuk memaksa warga negaranya taat pada hukum. Pendapat Jelinek.
5.      Teori Kedaulatan Hukum (Prof. Krabbe)
Orang taat pada hukum karena hukum itu berasal dariperasaan hukum tiap-tiap orang. Jadi masing-masing orang itu sudah mempunyai perasaan bagaimanakah hukum ituseharusnya. Hukum yang sesuai dengan perasaan masing-masing orang itulah yang berjalan baginya.
Timbul pertanyaan,untuk satu hal saja tentu harus ada banyak peraturan agar dapat memuaskan perasaan hukum setiap orang karena masing-masing orang punya perasaan hukum yang berbeda-beda.Dengan adanya pertanyaan ini,maka teori krabe bukan perasaan hukum masing-masing orang yang menentukan hukum tetapi perasaan hukum yang ada pada sebagian besar anggota masyarakat.
Teori kedaulatan hukum punya kelemahan-kelemahan yaitu:
1.      Bagi Negara yang tak ada DPR atau ada DPR hanya merupakan trompet pemerintah saja,maka teori ini tak dapat diterapkan.
2.      Ini hanya berlaku(dapat)diterapkan pada Negara yang mengenal demokrasi dengan system pemisahan kekuasaan yang murni,missal Amerika Serikat.Indonesia meskipun punya DPR tapi keputusan diambil dengan musyawarah dan mufakat.
3.      Peraturan hukum tidak hanya terdiri dari UU yang ditetapkan oleh DPR tapi ada KEPRES,keputusan menteri dan lain-lain.Mungkin peraturan ini ditetapkan atas dasar pertimbangan subjektif dari pejabat-pejabat.
4.      Sendiri  tidak dapat membuktikan perasaan hukum masyarakat terbesar itu sungguh-sungguh ada.
6.      Etricht
Sebab-sebab orang taat pada hukum:
1.      Orang menerima karena peraturan itu dirasakan sungguh-sungguh sebagai hukum.
2.      Orang menerima aturan itu karena ia menghendaki tata tertib dalam masyarakat.
3.      Baru dirasakan sebagai hukum kalau mereka memperoleh akibat/sanksi dari suatu pelanggaran terhadap aturan tersebut.
4.      Mereka taat karena adanya paksaan rasial mereka takut dikatakan sebagai makhluk sosial.
Dari berbagai teori mengapa orang taat pada hukum sebagaimana tersebut di atas,ini semua bisa mencapai sasarannya jika manusia itu sendiri menyadari akan dirinya masing-masing bahwa manusia itu adalah sebagai makhluk hukum. Manusia sebagai makhluk hukum maksudnya adalah manusia sebagai makhluk sosial yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang serba modern yang berlandasan norma-norma yang berlaku sesuai dengan pancasila dan undang–undang dasar 1945.jadi bukanlah sebagai masyarakat jahiliyah yang penuh kezaliman.
Sedangkan yang dimaksud dengan masyarakat modern disini adalah masyarakat yang penuh akan kesadaraan hukum ,peradaban yang baik serta mengikuti kemajuan yaitu teknologi modern dengan demekian konsekuensinya bahwa tiap manusia itu harus terikat oleh ketentuan baik hukum tuhan ,hukum negara ,hukum antar negara atau golongan dan hukum warga negara terikat dalam hal ini adalah dalam arti yang mungkin sebagai warga negara secara langsung karena ia berada di tenga-tengah masyarakat dan sebagai anggota masyarakat dan ada pula ,yang terikat belum secara langsung karna warga negara asing
            Jadi dengan demikian kalau seluruh masyarakat sudah menyadari akan hal yang demikian berarti tak seorang pun boleh berbuat bebas leluasa tampa mengindahkan ketentuan hukum,larangan ini kalau dilanggar mendapat sangsi (dosa bagi agama) dan besar kecilnya kesalahan adalah tergantung dari pelaku itu sendiri ,sedangkan bagi orang yang memiliki kesadaran dan tanggung jawab yang tinggi terhadap negara tentu saja pelangaran tipis kemungkinan untuk dilakukan, tapi sebaliknya bagi mereka yang tidak mempunyai kesadan dan tanggung jawab yang tinggi sering berbuat diluar hukum. Ucapan-ucapan dari pejabat negara di media massa yang berusaha menghimbau aparat bawahannya dan masyarakat umumnya agar disadari bahwa penegakkan hukum itu pada hakikatnya bukanlah hanya tanggung jawa aparat tapi menjadi tanggung jawab kita semua. Di ujung pandang beberapa waktu yang lalu dalam pekan Pendidikan Politik Kader Bangsa yang diselenggarakan oleh DPP SOKSI Sulsel (Sulawesi Selatan), tiga pejabat negara masing-masing Ketua Mahkamah Agung Mudjono, SH. Jaksa Agung Ismail Saleh, SH. Dan Kapolri Awaluddin Djamin mengulang dan menegaskan himbauan tersebut.
Ketiga pejabat negara itu mengakui secara jujur bahwa ketertiban hukum dimulai dari Penegak hukum itu sendiri, jadi aparat penegak hukum sebagai kunci penegakkan hukum sebab: Pertama: Sebagian besar masyarakat kita masih menganut nilai-nilai yang berorientasi ke atas, apa yang datang dari atas cenderung untuk dituruti, bahkan untuk masyarakat yang tinggal di desa hukum itu identik dengan pejabat atau aparat.
Kedua: Politik hukum kita sebagaimana tertera dalam GSHN diarahkan untuk korunifikasi dan terkodifikasi seraya memupuk kesadaran hukum masyarakat. Aparat penegak hukum adalah cermin dari Unifikasi itu sendiri.

Tak ada yang disebut sebagai Hakim, Jaksa, Polisi Batak. Minangkabau, atau Toraja. Yang ada Jaksa, Polisi, Hakim Indonesia dan punya ruang lingkup wewenang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sikap tindak aparat ini memudahkan tumbuhnya rasa kesatuan di antara berbagai kelompok masyarakat kita yang sampai saat ini masih tebal rasa komunitinya. Tapi masih perlu pejabat-pejabat kita mengulang-ulang himbauan agar peranan sentral aparat penegak hukum ini diperhatikan? Barangkali pesan-pesan itu kurang efektif sebab hukum hal yang luar biasa kalau baru kemarin kita mendengar, membaca himbauan penegak hukum tapi hari ini kita mendapat berita yang menggambarkan keadaan sebaliknya. Seolah-olah himbauan itu sisambut dengan keogahan atau kebosanan.
Di dalam kehidupan masyarakat kita penerimaan pesan oleh seseorang banyak ditentukan oleh pengalaman, pengetahuan dan lingkungan yang membentuk kerangka acuan sikap tindakannya setiap pesan yang datang padanya terlebih dahulu akan disaring lewat kerangka acuan ini.Dan karenanya nilai sebuah pesan tak selamanya ditentukan oleh pesan itu sendiri tapi juga oleh kerangka acuan sipenerima.Untuk pesan yang sifatnya masih baru,artinya diluar kerangka acuanya biasanya penerima banyak tergantung pada nilai pesan itu sendiri dalam arti seberapa jelas ia dirumuskan dan disebarkan.Tapi untuk pesan yang sudah pernah ia terima akan banyak ditentukan oleh krangka acuanya.Pesan-pesan hukum kita bagi sebagian masyarakat masih terbilang baru.Tradisi hukum disetiap kelompok masyarakat kita ditandai dengan hukum tidak tertulis.Sementara hukum yang hendak dibagikan sekarang ini banyak bersifat tertulis,dan  karena ketertulisan inilah timbul masalah kesadaran hukum yang menurut GBHN kita perlu ditumbuh kembangkan.
Dalam masyarakat yang memiliki tradisi hukum tak tertulis seperti masyarakat sebelum merdeka hukum itu tumbuh dari bawah.Suatu patokan sikap tidak baru menjadi hukum apabila sesuai dengan keadilan dari masyarakat.Sekarang dengan makin banyaknya hukum yang tertulis yang datang dari atas ada kemungkinan ia tak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat dimana hukum itu hendak ditegakkan,maka disinilah yang membutuhkan penumbuhan kesadaran hukum itu.Aparat penegak hukum kita mempunyai latar belakang budaya yang berbeda-beda,ada yang budaya dimana atasan atau yang dituakan tak boleh diprotes dan ada yang boleh diprotes.
Dalam kelompok budaya yang boleh diprotes atasan ini masih terdapat berbagai ungkapan.Ada yang mengungkapkan dalam bentuk sindiran-sindiran ada yang dengan cara berkumpul dalam suatu acara tertentu berharap agar diperhatikan atasan adapula yang mengungkapkanya dengan jalan meningalkan atasanya pergi mencari tempat yang baru. Bagi seseorang yang menjadi aparat hukum banyak sedikitnya akan terpengaruh oleh konsep budaya seperti ini. Bagi seseorang yang berasal dari budaya protes terhadap atasan memaksa. Cara sindiran akan amat peka terhadap protes yang dilakukan secara terus terang. Mendengar ungkapan terus terang cenderung akan ditanggapinya dengan sikap reaktif karena dipandangnya protes tapi sudah mengancam kedudukanya. Sebaliknya orang yang berasal dari latar budaya dimana protes diungkapkan terus terang akan merasa tak ada apa-apa alias buta terhadap sindiran-sindiranya. Tapi terhadap protes terus terang tidak ia anggap sebagai pengancam kedudukan, malah protes semacam ini akan ia tanggapi secara responsif sebab ia berpendapat bahwa kedudukannya akan terancam manakala ia meniadakan protes ini, ia justru harus bertindak sepandai mungkin agar protes ini dapat ia arahkan sesuai kepentingannya.
Di dalam masyarakat kita tampaknya lebih dominan konsep diri di mana segala protes harus dalam bentuk sindiran-sindiran, karena nya sering kita melihat reaktif dari sementara aparat kita bila mendengar protes, dan dari sini lah ayal munculnya rasa diri paling berkuasa sehingga digunakan berlebih-lebihan. Di sana sini kita mulai melihat dari beberapa pejabat negara melalui merangsang tumbuh nya responsif dalam menghadapi kritik atau protes seperti dikatakan jaksa agung Ismail Saleh. S.H pada pendidikan politik SOKSI “Kantor Pak Awalludin (POLRI) dan Kantor Jaksa Agung terbuka lebar untuk seluruh kritik yang di lontarkan bahkan pintu hati mereka terbuka untuk di kritik. Tapi melihat pengalaman selama ini besar dugaan kita keterbukaan itu akan lebih kecil dilaksanakan, Pucuk pimpian memperoleh sumbu nilai yang berlainan dengan bawahan,di samping pengetahuan aparat penegak hukum kita khusus nya polisi masih belum tahu yang sebenarnya, juga faktor lingkungan sangat besar peranannya.
Aparat penegak hukum selayaknya tak semena-mena karena ini akan menghambat pembangunan, penegak hukum seharusnya memperlancar pembangunan karenanya berlaku sebagai abdi rakyat, bagi pimpinan mudah menarik konsolitiknya, tapi bagi bawahan bukan mudah untuk memahaminya. Celakanya pesan belum masuk dalam acuannya mereka sudah dihadapkan dengan lingkungan yang penuh ragam kata. Berbagai kata yang semula menurut kerangka acuan nya berarti tertentu telah merubah atau diubah menjadi tertentu. Misalnya : Menahan seseorang tanpa dasr hukum dianggap tidak melanggar hukum karena “menahan” dialihkan dengan arti “mengamankan”. Inilah penyebab tak sampai nya ke sasaran segala pesan dari pimpinan. Jadi pada akhirnya adalah tergantung dari pada pribadi aparat penegak hukum dan masyarakat itu sendiri.

1.6 Pembagian Hukum Di Dalam Lapangan-Lapangan Hukum
(Penggolongan Hukum, Klarifikasi Hukum)

Hukum digolong-golongkan di dalam lapangan-lapangan hukum. Tergantung ukuran yang kita pakai di dalam penggolongan itu, dapatkah kita membagi-bagi lapangan-lapangan di dalam bermacam-macam penggolongan.
Tata Hukukm Indonesia pernah mengenal pasal-pasal 102 dan 108 UUDS R.I yang menyebut-nyebut lapangan-lapangan hukum. Pasal 102 menyebut lapangan : Hukum Perdata, Hukum Dagang, Hukum Pidana Sipil, Hukum Pidana Militer, Hukum Acara Perdata, dan Hukum Acara Pidana Selain itu oleh pasal 102 masih disebut-sebut mengenai asuan dan Kekuasaan Pengadilan. Pasal 108 menyebut satu lapangan hukum lagi.Yaitu Hukum Usaha. Kedua pasal dalam UUDS itu tidak menyebut semua lapangan hukum didalam Tata Hukum Indonesia,karena memang bukan maksud bentu UUD untuk membagi-bagi lapangan-lapangan hukum didalam pasal-pasal tersebut. Pasal 102 hanya menyebutkan lapangan-lapangan hukum mana yang harus diatur dengan Undang-undang dalam kitab-kitab hukum atau kodifikasikan. Kodifikasi berasal dari kata “codex” yang artinya kitab hukum. Pasal 108 hanya hanya menentukan siapa yang harus memutuskan sengkete-sengketa mengenai Hukum Tata Usaaha.

1). Cara penggolongan yang pertama, kita kenal sebagai cara penggolongan tradisional – klassik. Kriteria apa yang dipakai tidaklah disebut-sebu. Di dalam penggolongan ini disebut :
            a. Hukum Tata Negara
            b. Hukum Tata Usaha Negara
            c. Hukum Perdata
            d. Hukum Dagang
            e. Hukum Pidana(Sipil dan Militer)
            f. Hukum Acara yang di bagi dalam :
                        - Hukum Acara Pidana
                        - Hukum Acara Perdata
           
Penggolongan ini dinamakan penggolongan secara tradisional – klassik karena sudah lama dikenal dan senantisa dipakai dalam banyak tata hukum, terutama di Eropa dan juga tata hukum India Belanda dulu. Rupanya Pasal 102 dan 108 UUDS tidak pula lepas dari tradisi ini.

2). Penggolongan hukum menurut kepentingan-kepentingan yang dilindungi.
(Utrecht menyebut penggolongan ini menurut isinya.)

Menurut van kan, hukum bertujuan melindungi kepentingan-kepentingan manusia, agar kepentingan itu tidak dapat diganggu). Berdasarkan kepentingan mana yang dilindungi , maka kita dapat menggolongkan hukum di dalam 2 golongan, yaitu:
a.    Hukum Privat, yaitu keseluruhan aturan-aturan hukum yang melindungi kepentingan masing-masing individu sebagai anggota masyarakat.
b.     Hukum Publik, yaitu keseluruhan aturan-aturan hukum yang melindungi kepentingan-kepentingan umum, kepentingan masyarakat.
Pada hemat kami, tidak ada satu golongan hukum yang semata-mata melindungi salah satu kepentingan saja, baik itu kepentingan-kepentingan individu maupun kepentingan masyarakat. Pada umumnya hanyalah bahwa pertimbangan kepentingan manakah yang dominan, kepentingan umum ataukah individualah yang menentukan di dalam golongan hukum mana suatu aturan hukum ditempatkan. Hukum publik ataukah hukum privat. Di dalam praktek, memang jarang ada suatu peraturan yang semata-mata mengurus mengurus kepentingan publik atau kepentingan masyarakat. Bahkan di dalam perkembangan hukum akhir-akhir ini, lapangan hukum publik menjadi semakin luas, karena ada hal-hal yang dulu merupakan kepentingan privat semata-mata, sekarang sudah dicampuri oleh penguasa.
Menurut Gustar Radbruch, selain dua kepentingan tersebut, masih ada kepentingan lain yang tidak dapat/sukar untuk digolongkan di dalam kepentingan publik maupun privat. Hukum yang mengurus kepentingan ketiga ini, hendaknya dijadikan satu golongan hukum tersendiri. Karena masalah-masalah itulah maka banyak sarjana yang tidak menyukai cara penggolongan ini. Tetapi menurut kenyataan, di dalam hukum positif, penggolongan dengan cara  tersebut di atas (oleh Prof. Kusumadi disebut pembagi duaan) masih selalu dipakai.
Mr. Soediman Kartohadiprojo di dalam bukunya “Pengantar Hukum di Indonesia” di ddalam uraiannya mengenai hukum yang berlaku di Indonesia masih menggunakan “pembagi duaan” hukum ini. Hanya saja, kriteria yang beliau pakai adalah berlainan. Menurut beliau dalam perkembangan hukum itu dipengaruhi oleh dua unsur, yaitu: Unsur kesadaran hukum masyarakat dan Unsur politik hukum negara. Apakah di dalam perkembangannya unsur kesadaran hukum masyarakat yang lebih berpengaruh, maka dapat digolongkan di dalam hukum privat. Apabila unsur politik hukum negara yang lebih berpengaruh, maka kita dapati hukum publik.)

3). Penggolongan hukum menurut sumbernya.
Menurut sumbernya kita dapat menggolongkan hukum di dalam:
a.       Hukum Undang-undang, yaitu hukum yang bersumber pada peraturan (perundang-undangan).
b.      Hukum kebiasaan/adat, yaitu hukum yang bersumber pada kebiasaan/adat.
c.       Hukum perjanjiaan, yaitu hukum yang bersumber pada perjanjian.
d.      Hukum traktat, yaitu hukum yang bersumber pada perjanjian-perjanjian antar negara.
e.       Hukum jurisprudensi, yaitu hukum yang sumbernya adalah keputusan hakim.
f.       Hukum doktrin, yaitu hukum yang bersumber pada ajaran-ajaran hukum (doktrin)
g.      Hukum revolusi, yaitu hukum yang bersumber pada keadaan-keadaan tidak normal, yang terjadinya sesungguhnya merupakan tantangan terhadap tertib hukum yang berlaku pada saat itu.

4). Penggolongan hukum menurut luas berlakunya.

a.       Kalau yang dimaksud luas berlakunya ini adalah batas-batas negara, kita mengenal:
1)      Hukum Nasional, yaitu hukum yang berlakunya di dalam batas-batas suatu negara.
2)      Hukum Internasional, yaitu hukum yang berlakunya melampaui batas-batas suatu negara.
b.      Di dalam batas-batas negara luas berlakunya hukumpun berbeda-beda.
1)      Kalau berlakunya di dalam lingkungan yang lebih luas, maka kita sebut hukum umum (ius general)
2)      Kalau berlakunya di dalam lingkungan yang lebih sempit kita sebut Hukum Khusus (ius special, ius particulare).
Mengenai Hukum Khusus ini dapat di golong-golongkan lagi:
a)      Mengenai tempatnya (ius particulare)
Contoh:
·         Hukum Pajak Indonesia (Umum)
·         Hukum Pajak untuk D.I.Y. (Khusus)
b)      Mengenai orangnya
Contoh:
·         Hukum Pidana Sipil (Umum)
·         Hukum Pidana Militer (Khusus)
c)      Mengenai perbuatan hukumnya
Contoh:
·         Hukum Perdata (Umum), mengatur perbuatan-perbuatan/hubungan-hubungan hokum antara subyek-subyek hokum secara umum.
·         Hukum Dagang(Hukum Perdata Khusus), mengatur perbuatan-perbuatan/hubungan-hubungan hokum bagi orang-orang yang menjalankan perusahaan. Menjalankan perusahaan disini merupakan perbuatan/hubungan hokum perdata yang sifatnya khusus. b) dan c) ini yang disebut ius speciale.
Penggolongan hukum menjadi Hukum Umum dan Hukum Khusus ini mengandung suatu konsekuensi yang berwujud suatu adagium yang berbunyi: “Lex specialis dorogat legi generali”. Secara letterlijk adagium tersebut dapat diterjemahkan dengan: Undang-Undang Khusus menglahkan Undang-Undang Umum. Perkataan Undang-undang (lex) ini seharusnya (sekarang) dibaca sebagai hokum (ius), karena adagium itu berlaku baik bagi hokum Undang-Undang maupun hokum yang berasal dari sumber-sumber lain. Digunakan perkataan lex dan bukan ius, karena pengaruh paham logisme, yaitu paham yang mengatakan bahwa di luar Unang-Undang tidak ada hukum. Jadi hokum disamakan dengan Undang-Undang.
Maksud dari adagium ini adalah: Apabila mengenai hal itu ada dua peraturan, serta bersifat umum, satu bersifat khusus, maka peraturan yang khususlah yang dipakai. Di dalam hukum positif Indonesia, adagium ini dijelaskan dalam pasal 1 K.U.H.D. , yang isinya adalah bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata berlaku juga bagi hal-hal yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang ini (K.U.H.D)  kecuali apabila di dalam K.U.H.D diatur sendiri secara menyimpang. Jadi kalau di dalam KUHD diatur sendiri secara menyimpang dari KUHD perdata, maka ketentuan di KUHD-lah yang dipakai.
Contoh : Periksa pasal 1881 K.U.H. Perdata dan pasal 7 K.U.H.D.

5. Penggolongan Hukum menurut sanksinya.
(sering juga disebut penggolongan hukum menurut sifatnya)

Menurut sanksinya hukum digolongkan menjadi :
a.       Hukum pemaksa (yang bersifat memaksa) nis :1602 BW Majikan
b.      Hukum pelengkap (yang bersifat mengatur dan melengkapi). Misal : 1579 BW sewa menyewa.
Sebenarnya istilah-istilah itu tidak tepat, karena semua hukum masih bersifat memaksa dan juga bersifat mengatur .
a)                  Hukum pemaksa adalah aturan hukum yang tidak bisa dikesampingkan oleh perjanjian. Jadi hukum pemaksa itu tidak bisa dikuasai oleh kehendak individu. Dalam keadaan bagaimanapun hukum pemaksa ini harus ditaati, jadi mempunyai pemaksaan mutlak. Semua aturan di dalam hukum pemaksa adalah hukum pemaksa, sedangkan hukum perdata sebagian bersifat memaksa, sebagian lagi bersifat mengatur atau pelengkap.

b)                  Hukum Pengatur Atau Pelengkap, adalah keseluruhan aturan hukum yang dapat dikesampingkan oleh perjanjian antar pihak-pihak. Aturan-aturan hukum perdata sebagian lagi bersifatpelengkap/pengatur.

Ada berbagai cara untuk mengatur mengenal apakah suatu aturan suatu hukum itu pengantar/pemaksa.
1)      Didalam peraturan itu sendiri dapat dilihat bahwa peraturan itu bersifat memaksa, atau hanya pelengkap/pengatur, karena ada kalimat yang mengatakan hal itu.
Kalimat “kecuali jika diperjanjikan lain” menunjukan bahwa suatu aturan hukum itu mempunyai sifat pengatur/pelengkap, sedang kalimat”tiap-tiap janji yang bertentangan dengan ketentuan ini adalah batal”menunjukan sifat pemaksa dari suatu aturan hukum.
2)      Didalam sisti undang-undang itu dapat dilihat apakah itu pelengkap atau pemaksa.
Didalam memahami suatu pasal dari suatu undang-undang, kita tidak boleh menafsirkannya secara berdiri sendiri terlepas dari yang lain. Dari hubungannya dengan ketentuan-ketentuan lain itu, dapatlah kita mengetahui apakah suatu aturan hokum itu berisi pemaksa/pengatur.
3)      Dengan Jalan Penafsiran
Suatu aturan hokum yang apabila kita tefsirkan sebagai pelengkap tidak dapat mencapai tujuannya, maka aturan itu adalah pemaksa.

Akibat pelanggaran terhadap aturan hokum pemaksa itu ada tiga macam, yaitu:
a.       Batal
b.      Dapat dibatalkan
c.       Tidak ada akibat apa-apa.
Contoh:
v  Batal. Lihat pasal 1602 B.W. yang isinya “majikan wajib membayar upah buruh pada waktu yang sudah ditentukan”.
v  Perkawinan yang dilakukan sebelum 300 hari dari pecahnya perkawinan sebelumnya bagi  seorang janda dapat dibatalkan (B.H.).
v  Seperti contoh nomor dua di atas, bagi yang melekukan tidak ada akibat apa-apa. Akibat berupa sanksi dapat dikenakan pada pejabat-pejabat yang menikahkan mereka.

6. Penggolongan Hukum Menurut Struturnya (Susunannya)
Aturan hukum itu bersusun bertingkat-tingkat yang satu lebih tinggi dari yang lain dan sebaliknya. Aturan tertinggi terdapat di dalam UUD, dibawahnya terdapat Undang-Udang, kemudian Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah seperti Peraturan Provinsi, Kota Madya, Kabupaten, Desa dan peraturan-peraturan bertingkat-tingkat diatur secara hierarchies.
Konsekuensi dari keadaan ini adalah adanya suatu azas yang berbunyi:
1.      Kalau ada suatu hal diatur oleh dua peraturan yang berbeda tingkatannya, maka yang berlaku adalah peraturan yang lebih tinggi. Jadi, peraturan yang lebih rendah tidak berlaku.
2.      Suatu ketentuan di dalam suatu peraturan tidak dapat ditiadakan atau diubah oleh aturan yang lebih rendah. Misalnya, suatu ketentuan di dalam UUD tidak dapat diubah atau ditiadakan oleh Undang-Undang. Yang dapat mengubah/mengadakannya adalah hanya pembentuk UUD sendiri, kecuali kalau ada delegasi kewenangan perundang-undangan yaitu kewenangan yang dikuasakan kepada yang lebih rendah atau pemberian kewenangan kepada badan lain dari biasanya wenang. Delegasi kewenangan perundang-undangan ini kerap kali terjadi, misalnyadi dalam suatu pasal Undang-Undang ditentukan bahwa “mengenai hal-hal ini, boleh diatur, diubah atau ditiadakan dengan Peraturan Pemerintah”. Ini bararti bahwa ada delegasi kewenangan perundang-undangan dari Pembentuk Undang-Undang (Presiden+DPR) kepada Pemerintah (Presiden)
3.      Suatu aturan hukum hanya boleh diubah atau ditiadakan dengan aturan hukum yang dibuat oleh penguasa yang lebh tinggi atau paling sedikit sederajat, kecuali di dalam hal delegasi kewenangan perundang-undangan tadi.
1.7  Struktuktur Hukum di Indonesia
Di dalam Tata Hukum Indonesia, menurut strukturnya peraturan yang mempunyai paling tinggi adalah Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar yang berlaku sekarang di Indonesia UUD yang dikenal sebagai UUD 1945 yang berlaku kembali sejak tanggal 5 Juli 1959. Jadi secara formal UUD 1945 dapat juga disebut sebagai UUD 1959. Undang-Undang Dasar ini hanya memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat dasar. Lebih-lebih UUD 1945 yang hanya membuat 37 pasal dan beberapa pasal aturan tambahan dan aturan peralihan, sifatnya “hanya memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat dasar” ini sangat menonjol. Beberapa ketentuan-ketentuan di dalam UUD tersebut masih perlu diatur lebih khusus, untuk menyelenggarakan ketentuan-ketentuan di dalam UUD itu. Undang-Undang yang menyelenggarakan sebuah ketentuan di dalam UUD disebut Undang-Undang Organik. Misalnya Undang-Undang yang melaksanakan ketentuan dari pasal-pasal 24 dan 25 UUD 1945 adalah Undang-Undang Organik, yang namanya Undang-Undang Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No 14 Tahun 1970) diperlakukan di wilayah Indonesia dengan Undang-Undang No 70 tahun 1958.
Demikianlah selanjutnya, mungkin di dalam suatu pasal Undang-Undang ditentukan bahwa mengenai hal-hal tertentulebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Di dalam Tata Hukum Indonesia menurut UUD 1945 ini kita akan membahas mengenai apa yang dinamakan Undang-Undang Pokok, misalnya: Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Pokok Pers,lain sebagainya.Ini di perlukan karena sifat UUD 1945 yang terlalu “garis besar” tersebut.
Jadi dari UUD memancar ke Undang-Undang terus ke Peraturan pemerintah, Peraturan Mentri, dan seterusnya.
Konsekuensinya adalah bahwa 1) suatu peraturan itu harus berpangkal kepada peraturan yang lain. Ini berarti bahwa suatu peraturan itu isi atau jiwanya harus sesuai dengan isi atau jiwa pangkalanya. Artinya unsur-unsur yang ada pada peraturan indukharuslah terdapat di dalam peraturan tersebut. Jadi suatu peraturan itu,baik buruknya,sah tidaknya dapat di lihat dari peraturan yang lebih tinggi tadi Konsekuensi selanjutnya adalah bahwa 2) tiap peraturan itu harus dapat di kembalikan kepada UUD. Jadi suatu peraturan yang bertentangan dengan UUD adalah tidak sah. Siapakah yanmg berhak menyatakan tidak sah itu? DEngan demikian kita mengenal apa yang di sebut hak menguji Undang-Undang.

Ada 2 macam hak yang menguji Undang-Undang.
1)      Hak menguji apakah suatu peraturan itu isinya bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau tidak. Kalau bertentangan, dapat menyatakan peraturan tersebut tidak sah.Ini di namakan hak menguji materil.
2)      Hak menguji apakah peraturan itu mengenal cara terjadinya dan cara pengundanganya sudah sesuai dengan atruran-aturan yang berlaku atau tidak.Kalau tidak,tidak sah.Misalnya, suatu peraturean yang di namakan Undang-Undang,tetapi ternyata hanya di tetapkan oleh Presiden sendiri.Ini tidak formil.

Siapakah yang berhak menguji undang-undang ini ?
Yang berhak adalah hakim. Pada asasnya hakim mempunyai hak itu,kecuali kalau memang tegas-tegas di larang. Larangan itu kadang-kadang terdapat di dalam Undang-Undang Dasar,kadang-kadang juga di dalam Undang-Undang.

 Bagaimanakah keadaanya di Indonesia ?
Untuk meninjau hal ini, marilah kita melihat UUD Belanda (grondwst Belanda),yang sesensialisnya ternyata di ambil oleh konstitusi R.I.S maupun oleh UUDS PS.124 ayat  2 grondwet mengatakan bahwa : Undang-Undang tidak dapat di ganggu gugat. Perkataan undang-undang di sini harus di artikan. Bahkan tegas-tegas dilarang untuk menguji sahnya Undang-Undang terhadap UUD, tetapi untuk menguji peraturan-peraturan lain yang tingkatnya di bawah Undang-Undang diperbolehkan. Pasal 95 ayat 2 Konstitusi R.I.S. memuat ketentuan yang sama dengan pasal 124 ayat 2 Grondwet Belanda. Demikian pula pasal 124 ayat 2 UUDS. Pada umumnya para sarjana sepaham, bahwa yang dilarang adalah menguji Undang-Undang secara materiil, sedang menguji tentang cara terjadinya Undang-Undang itu apakah sudah memenuhi syarat-syarat sebagai Undang-Undang, tidaklah dilarang, meskipun ini hampir-hampir tidak perlu.

Bagaimanakah keadaannya di Indonesia di bawah UUD 1945 baik sebelum berlakunya konstitusi R.I.S. maupun sesudah 5 Juli 1959 ? Di dalam UUD 1945 tidak ada ketentuan apa-apa mengenai hal ini. Lalu pandangan manakah yang akan kita pakai ?
1)   Kita dapat berpendirian seperti jaman Hindia Belanda. Jaman R.I.S. maupun jaman berlakunya UUDS.
2)   Dapat pula kita berpendirian seperti pada negara-negara demokratis lainnya, yang Undang-Undang Dasarnya tidak memuat ketentuan mengenai hak menguji ini, tetapi yang mengakui adanya hak menguji, baik dalam arti materiil maupun formil.
Prof. Kleintjes, mengenai hak menguji ini mengatakan bahwa dalam arti formil maupun materil hak menguji Undang-Undang itu terletak di dalam sifat tugas hakim. Menurut hukum dengan sendirinya hak menguji itu ada pada hakim, kecuali apabila hak menguji itu dicabut dari padanya. Dan ini bukan hanya merupakan kewenangan belaka tetapi mengandung arti kewajiban.
    
            Di dalam Tata Hukum Indonesia sekarang ini, sudah terdapat ketentuan yang tegas mengenai hak menguji ini, yaitu ketentuan yang terdapat di dalam pasal 26 U.U. No. 14 Tahun 1970 yang berbunyi :
“Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendang Undang-Undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Kalau pada pasal 124 ayat 2 Grondwet Belanda pasa 95 ayat 2 Konstitusi R.I.S. dan pasal 130 ayat 2 UUDS larangan itu dinyatakan secara langsung maka dalam pasal 26 U.U. No. 14 Tahun 1997 ini dinyatakan secara tidak langsung. Di sini yang disebutkan adalah yang boleh diuji. Jadi, yang tidak disebut (undang-undang ke atas) tidak boleh diuji.
Siapakah yang berhak menyatakan tidak berlaku suatu Undang-Undang kalau ternyata Undang-Undang ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar? mempunyai hak ini adalah pembentuk Undang-Undang sendiri.

A.    Di Bawah Undang-Undang Dasar ada Ketetapan/Keputusan  M.P.R
Di dalam Undang-Udang Dasar sendiri tidak menyebutkan adanya suatu peraturan yang bernama Ketetapan/Keputusan M.P.R. tetapi Undang-Undang Dasar menyebut-nyebut tentang tugas-tugas dan wewenang M.P.R. di dalam bentuk keputusan dan ketetapan M.P.R.  inilah M.P.R. menerangkan peraturan-peraturan misalnya ketetapan M.P.R. mengenai garis-garis besar haluan negara adalah bedasarkan wewenang M.P.R. yang terdapat di dalam pasal 3 U.U.D. 1945.
Catatan :Berdasarkan aturan dari Pemerintah kepada D.P.R . (surat tanggal 20 agustus 1959 no. 2262/HK/59 dan tanggl 22 september 1959 no. 2775/HK/59) maka tindakan M.P.R. berdasarkan pasal 2 dan 3 U.U.D. 1945 dinamakan keputusan M.P.R. jadi keputusan MPR ini memang bersumber pada UUD, tetapi tidak memberi nama. Hal ini berlaku untuk peraturan –peraturan laju. Misalnya Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Keputusan Mentri dan lain sebagainya.
B.     Setingkat Di bawah Keputusan/Ketetapan MPR Kita Mengenal Apa yang Di Sebut Undang-Undang
Pengertian Undang-Undang di sini adalah dalam arti formil (sempit) yaitu suatu bentuk peraturan yang ditetapkan oleh presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (pasal 5 ayat 1) UUD 1945.
C.     Setingkat Di Bawah Undang-Undang Ada Suatu Bentuk Peraturan Yang Dinamakan Peraturan Pemerintah
Ada 2 macam peraturan pemerntah menurut UUD 1945,
1.      Peraturan Pemerintah pasal 22 UUD 1945 yang disebuut Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Peperpu). Di dalam konstitusi RIS dan UUDS peraturan semacam ini disebut Undang-undang Darurat. Peperpu ditetapkan oleh Presiden atas tanggung  jawab sendiri, di dalm hal-hal ada sesuatu yang harus segera diatur dengan undang-undang, tetapi untuk menanti proses pembentukan Undang-Undang akan terlalu lama. Peperpu ini dapat segera diperlakukan setelah di Undangkan, tetapi harus segera dibawa/dibicarakan di dalam sidang DPR pada sidang pertama di dalam masa sidang Peperpu itu diperlukan. Kalau disetujui DPR maka peperpu ini menjadi Undang-Undang. Kalua DPR tidak setuju maka Peperpu ini dicabut.
2.      Peraturan Pemerintah menurut pasal 5 ayat 2 UUD 1945 (diangkat PP), yaitu peraturan pemerintah yang bertugas menyelenggarakan/melaksanakan Undang-Undang. Ditetapkan oleh presiden.

Dibawah P.P. maupun peperpu ini masih ada peraturan-perturan lain yang merupakn peraturan-peraturan pelaksanaan, misalnya : Peraturan Mentri, Peraturan Daerah seperti Peraturan Propinsi, Kotamadya, Kabupaten, Desa dan lain sebagainya.

7. Penggolongan Hukum menurut Isinya.
Di dalam literatur-literatur, penggolongan secara ini tidak disebutkan apa kriterianya. Penamaan Penggolongan hukum menurut isinya ini adalah pendapat penulis sendiri. Menurut isinya, hukum dapat digolongkan menjadi 2 golongan yaitu :
a.)        Hukum Materiil, yaitu keseluruhan aturanhukum yang mengatur tingkah laku manusia sebagai subyek hukum dan Badan Hukum di dalam melakukan hubungan hukum satu sama lain dan dalam melakukan tugasnya, mengenai perbuatan-perbuatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan serta sanksinya bagi yang melakukan dan lain sebagainya. Pendeknya keseluruhan aturan hukum yang mengatur  tingkah laku manusia dan Badan Hukum di dalam masyarakat.
b.)        Hukum Formil, yaitu keseluruhan aturan-aturan hukum yang mengatur cara-cara mempertahankan hukum Materiil (norma-norma dan hak-hak yang timbul daripadanya), ataupun menegakan kembali apabila terjadi pelanggara-pelanggaran atasnya.

Hukum formil ini diperlukan disamping hukum materiil karen :
1)      Hukum materiil tidak mengatur cara-cara mempertahankannya apabila terjadi pelanggaran.
2)      Manusia mempunyai kecendrungan untuk tidak mentaati hukum.
3)      Kadang-kadang kepentingan-kepentingan yan gdiatur dalam hukum materiil itu saling bentrok satu sama lain,sehingga perlu aturan untuk menyelesaikannya.
Seringkali orang menghubungkan Hukum Formil dengan Hukum Acara. Ini tidak tepat. Hukum Acara hanya mengatur cara-cara mempertahankan Hukum Materiil melalui siding pengadilan. Padahal orang di dalam mempertahankan Hukum (perdata) materiil dapat melalui jalan lain, misalnya melalui pewasitan. Jelas bahwa Hukum Acara sesungguhnya lebih sempit dari Hukum Formil.

8. Penggolongan Hukum menurut Bentuknya

a.Hukum Tertulis
b.Hukum Tidak Tertulis
Hukum tertulis kita kenal sebagai hukum undang-undang atau Hukum Perundang-Undangan,sedangkan hukum tidak tertulis kita kenal sebagai hukum kebiasaan dan hokum adat.

9.Selain cara-cara penggolongan hukum yang telah kami uraikan di atas, ada cara penggolongan lain, misalnya cara-cara penggolongan berdasarkan segi-segi kehidupan tertentu di dalam masyarakat. Misalnya : Hukum Pajak, Hukum Agraris, Hukum Kepegawaian dan lain sebagainya, yang pada umumnya merupakan spesialisasi cara-cara penggolongan yang telah kami sebutkan di atas.
10. Agar lebih lengkap kami kemukakan cara penggolongan yang dikemukakan oleh Prof. Mr. Soediman Kartohadiprodjo yang telah kami sebut di dalam cara penggolongan no. 2, hanya di sini akan kami perinci. Menurut beliau, beginilah keadaan hokum di Indonesia.
Hukum Di Indonesia
Hukum Perdata
Hukum Publik
1.      Hukum Perdata Barat                             1. Hukum Tata Negara
a.       Hukum Sipil                                     2. Hukum Tata Usaha Negara
b.      Hukum Dagang                                3. Hukum Pidana
2.      Hukum Perdata Adat                              4. Hukum Acara  
3.      Hukum Perdata Perselisihan                   5. Hukum Acara Perdata
                                                                6. Hukum Antar Negara


3. Hukum Perdata Perselisihan
a.       Hukum Antar Golongan
b.      Hukum Antar Agama
c.       ………..
d.      Hukum Bagian
e.       Hukum Perdata Internasional
f.       Hukum Antar Waktu
Istilah Hukum Perdata Perselisihan banyak tidak disetujui oleh para sarjana, karena sesungguhnya istilah itu tidak tepat. Di sini tidak ada perselisihan. Yang ada adalah masalah pilihan hukum. Uraian lebih lanjut mengenai hal ini kami tulis dalam Bab IV.

BAB II
TEMPAT DAN CARA MENEMUKAN HUKUM

2.1 Sumber - Sumber hukum
2.1.1 Pengertian
Kalau kita membicarakan istilah sumber maka istilah sumber ini mepunyai 2 pengertian :
a.       Sumber dari arti asal , misalnya suur atau mata air yang erupakan sumber air
b.      Sumber dalam arti tempat kita menyimpan dan mengambil sesuatu , misalnya kolam air atau bk mandi .
Dalam pengertian pertama, sumber disini dalam arti cara yang tidak langsung berhubungan dengan pemakai , sedangkan dalam hal ke dua , sumber disini dalam arti langsung berhubugan dengan pemakai. Sumber hukum pun mempunyai pengertian yang sama dengan pengertian-pengertin tersebut di atas. Undang udang misalnya , di dala pengertian sebagai sumber hukum tempat kita menyimpan dan mengambil (mempergunakan kembali ) aturan aturan hukum sebagai pedoman di dalam kita bertingkah laku . kebisaan dan adat adalah : sumber hukum dalam arti asal, sedangkan hukum kebiasan dan hukum adat adalh sumber hukum dalam arti tempat kit menyimpan dan mengambil suatu aturan hukum sebagai pedoman di dalam kita bertingkah laku . perasaan hukum adalah sumber dalam arti pertama, undang undang , peranjian , hukum kebiasaan adalah sumber dalam arti kedua .

2.1.2 Pembagian sumber-sumber hukum
Sumber hukum dapat kita bedakan dala 2 golongan bosar yaitu :
a.       Sumber hukum yang normal
Sumber hukum yang ormal ini teradi secara normal yaitu sesuai dengan tertib hukum yang berlaku pada suatu negara tertentu .
b.      Sumber huku abnormal
Sumber hukum abnormal ini kalau kita cari asalnya lebih lanjut , ternyta bahkan merupakan tantangan terhadap tertib hukum yang berlaku pada satu negara pada waktu itu . karenanya hukum yang bersumber pada keadaan keadaan tak normal ini sering disebut hukum revolusi .
a)      Sumber hukum normal dapat kita bedakan lagi di dalam :
1.sumber hukum yang bertulis
2. sumber hukum yang tidak tertulis

1) sumber hukum tertulis terdiri dari :
·         Undang-undang
·         Perjanjian
·         Traktat
·         Jurisprudensi
Undang-undang
Pengertian undang-undang disini harus kita artikan udang-undang dalam arti materiil/luas,yaitu meliputi semua perturan yang berlaku,artinya mempunyai kekuatan mengikat umum.UUDS menyebutnya sebagai perturan perundanng-undangan .
Dalm arti luas ini undand-undang melipti :
a)      UUD yaiutu suatu bentuk peraturan yang mengatur hal-hal yang bersifat dasar di dalam suatu negara.
Indonesia sejak merdeka secara materiil pernah mengenal 3 UUD,yaitu :UUD 1945,konstiusi RIS dan UUDS RI
Secara formil pernah mengenal UUD yaitu :
UUD 1945 yang mulai berlaku sejak 18 agustus 45.konstitusi RIS yang mulai berlaku sejak 27 desember 49.UUDS yang mulai berlaku sejak 17 agustus 50 dan UUD 59 yang mulai berlaku 5 juli 59dan materinya sama dengan UUD 45.
b)      Undang-undang dalam arti formil/sempit,suatu bentuk peraturan yang  mendpat nama undang-undang karna cara terjadinya .untuk RI suatu peraturan di namakan undang-undang kalau di tetapkan oleh presiden bersama DPR .di negara belanda,yang di namakan undang-undang adalah peraturan-peraturan yang di tetapkan raja belanda bersama dengan staten general.
c)      Menurut UUDS RI yang di namakan undang-undang adalah peraturan-peraturrran yang di tetapkan ole pemerintah bersama-sama DPR. Menurut konstitusi RIS yang dinamakan undang-undang  adalah peraturan yang di tetapkan oleh pemerintah (federal)    dan DPR atau senat RIS.
d)     Peraturan pemerintah UUD 1945 mengenal 2 macam peraturan pemerintah yaitu P.P  menurut pasal 22 dan peraturan pemerintah menurut pasal 5 ayat 2 UUD 1945.
e)      Peraturan-peraturan pelaksanaan lainya.
2.1.3 Perjanjian
Perjanjian ini penting sebagai  sumber hukum,karena ternyata norma-norma yang telah tertuang di dalam undang-undang menjadi baku, sehingga ketinggalan dari perkembangan zaman lagi pula tidak mungkin undang-undang mengatur semua hal di dalam masyarakat. Jadi perjanjian adalah mengisi kekosongan di dalam undang-undang .selain itu juga melengkapi undang-undang   dengan kemungkinan-kemungkinan untuk penyimpanan dari peraturan-peraturan yang sifatnya bukan pemaksaan.
Contoh: Di dalam perkembangan hukum perdata,timbulah hal-hal yang baru yang di dalam undang-undang hukum perdata belum diatur.di sisi peranan perjanjian sangat penting  agar perhubungan hukum yang belum diatur oleh undang-undang ittu dapat di lakukan.
            Undang-undang  sendiri  member kemungkinan perjanjian sebagai sumber hukum.di dalam pasal 1338 B.W ( Burgo like wetbeck,K.U.H. perdata) dikatakan bahwa perjanjian yang di buat secara sah,berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pahak yang mengadakannya.
            Bagaimana agar suatu perjanjian itu sah,dapat kita lihat di dalam pasal 1320 B.W. ada  4 syarat agar suatu perjanjian itu sah menurut pasal 1320 B.W :
1.      Harus dilakaukan oleh orang-orang yang cakap melakukan perbuatan hukum.
2.      Harus di dasarkan atas sepakat dari pihak-pihak yang membuat perjanjian itu. Dianggap tidak ada kata sepakat kalau perjanjian itu terjadi karena kekeliruan, paksaan atau penipuan.
3.      Harus ada alasan (kausa) yang diperbolehkan, artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
4.      Harus mengenai objek tertentu.
Keempat unsur untuk sahnya perjanjian itu disebut unsur natraliadi dalam perjanjian, yaitu unsur-unsur yang harus ada dalam tiap-tiap  perjanjian (perjanjian pada umumnya).
Selain itu masih ada unsur-unsur lain untuk tiap jenis perjanjian, umpamanya pembayaran atu penyarahan dalam jual beli, ini dinamakan essensialia. Sedang unsur tambahan, yang merupakan ketentuan khusus dalam perjanjian, disebut unsur accidentalia, wilayahnya mengenai tempat dan pembayaran dan lain-lain.



2.1.4 Traktat
            Kadang-adang perjanjian itu dibuat orang  didalam mewakili kepentingan dari negara atau pemerintahannya disatu pihak. Persetujuan demikian itu disebut persetujuan antar negara atau traktat Persetujuan antar negara ini dapat bersifat bilateral, yaitu apabila pihak-pihak didalam persetujuan itu hanya 2 negara saja, misalnya persetujuan mengenai dwi kewarganegaraan antara republik Indonesia dengan RRC, dapat pula bersifat multilateral apabila yang menjadi pihak dalam persetujuan itu adalah lebih dari 2 negara, misalnya persetujuan mengenai pengiriman pos dan lain-lain.
Jurisprudensial atau keputusan hakim.
Ada persamaan dan perbedaan anara hakim dan pembuat Undang-Undang.
1.      Persamaan :
- Kedua-duanya adalah petugas hukum.
            - Kedua-duanya bertugas memebentuk hukum.
2.      Perbedaan:
-          Pembentuk Undang-Undang membentuk hukum in abstrato yang berwujud peraturan-peraturan yang bersifat umum
-          Hakim membuat hokum in konkreto, yaitu berwujud keputusan - keputusan mengenai perkara-perkara yang konkrit, yaitu perkara-perkara yang diajukan kepadanya.
Keputusan dari pembentuk undang-undang maupun hakim kedua-duanya mempunyai sifat mengikat. Keputusan pembentuk undang-undang mengikat umum, sedang keputusan hakim mengikat orang-orang / pihak-pihak yang bersangkutan dengan keputusan itu. Tetapi kadang-kadang keputusan hakim juga mengikat umum misalnya : keputusan hakim mengenai hak milik seseorang harus pula dihormati oleh orang-orang lain.
Kadang-kadang hakim memperoleh kesulitan di dalam menemukan undang-undang yang harus diterapkan pada suatu perkara yang dihadapinya. Dalam hal ini ia tidak dapat menolak perkara itu dengan alas an bahwa undang-undang tidak ada. Ia tetap diwajibkan memberi keputusannya( periksa ps. 22 A.B dan pasal 14 ayat 1 UU No 14 tahun 1970 ). Dalam hal ini, ia dapat mencari keputusan-keputusan hakim yang sederajat maupun hakimyang lebih tinggi. Demi alas an praktis, ia dapat meneladani keputusan hakim terdahulu itu.
Di Negara-negara Anglo-Sakson(Amerika Serikat misalnya ), di kenal ajaran procodent. Hakim d asana wajib meneladan keputusan hakim yang terdahulu, baik dar hakim yang sederajat, maupun yan lebih tinggi. Ajaran precedent tidak di kenal di Indonesia. Meskipaun demikian hakim-hakim Indonesia sering kali menggunakan jurisprudensi sebagai sumber hokum, kerapkali hakim-hakim Indonesia meneladan keputusan hakim yang terdahulu, baik dari hakim yang sederajat maupun yang lebih tinggi, untuk perkara-perkara sejenis yang ia hadapi. Ada beberapa alasan mengapa mereka mengambil jurisprudensi sebai sumber hokum. Meskipun ajaran precedent tidak di kenal di Indonesia.
1)         Alasan praktis
2)         Alasan-alasan psychologis.
3)         Alasan demi kesatuan hukum.

1)      Alasan praktis.
Kalau seorang hakim menghadapi suatu perkara yang sulit dikemukakan undang-undangnya, maka mencari suatu jurisprudensi untuk perkara-perkara serupa yang dihadapinya adalah jalan paling mudah. Jadi apa salahnya ia mencontoh saja keputusan hakim yang terdahulu mengenai perkara-perkara yang di hadapinya.
2)      Alasan-alasan psychologis.
a) Keputusan hakim mempunyai kekuatan mengikat untuk dilaksanakan, ini harus dihormati oelh siapapun ,terutama tentu saja oleh korps mereka sendiri
b) Meskipun hakim adlah berdiri sendiri di dalam mengambil keputusan , artinya tidak terikat oleh kekuasaan lain , tetapi disamping itu ada kewenangan dari hakim yang lebih tingg untuk membatalkan keoutusan hakim yang lebih rendah di dalam daerh hukumnya.
Jadi keputusan hakim yang lebih tinggi harus dihormati oleh karena itu.kami heran karena ada hakim-hakim yang menghidupkan kembali pasal-pasal yang telah dimatikan . ‘hazaid artikelen’ yang telah pernah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh hakim agung yang pertama (mr. Kusumadja)di tahun 1947 di adakan kasus ‘peristiwa tiga jul di jogjakarta, dihidupkan kembali oleh hakim-hakim pengadilan negeri akarta pusat di dalam khasus harian nusantara.
Hal ini dinilai oleh apnan buyung nasution sebagai mnghidupkan bangjai kembali
Keputusan hakim mengenai suatu hal, lebihlebih dari keputusan mahkamah agng , sering sering menjadi juris prudensi standar . sebagai contoh misalnya keputusan hoge rair tanggal 31 jnuari 1919 mengenai on roach natigo daad ( perbuatan melawan hukum)


3) Alasan demi kesatuan hukum
Sebagi warisan dari tata hukum india belanda , maka di indonesia terdapat keaneka warnan hukum . di dalam mengusahkan terentuknya hukum nasional , maka keaneka warnaan hukum ini sedapt dpatnya di hilangkan. Atau saling tidak dikurangi. Penggunaan juris prudensi sebagai sumber hukum ikut membantu usaha mencapai kesatuan hukum ini.
Doktrin atau ajaran ajaran hukum. Doktrin sebagi sumber hukum adalah bersifat tidak langsung . di dalam suatu negara , kadang-kadang terdapat orang-orang atau sarjana sarjana yang melibatkan kepincangan –kepincangan di dalam masyrakat negara itu dan juga pada hukumnya. Orang orang ini ingin memperbaikinya dengan jalan mengemukan ajaran-ajaran atau doktrin doktrin itu sendiri apakah atau di tetrima atau diterimakan atau tidak. Apabila ajaran itu sesuai dengan perasaan hukum masyarakat itu, Tentulah ajaran itu diterima dan dianggap sebagai suatu kemestian untuk ditaati. Tentu saja paktor subyektif dari orang-orang yang mengemukakan ajaran itu berperan juga terhadap diterima atau tidaknya suatu ajaran atau doktrin.
Contoh doktrin-doktrin :
Ø  Pancasila.
Ø  Ajaran Byakerahook tentang jarak 3 mil lautan territorial.
Ø  Ajaran mellengrafi tentang perbuatan melawan hukum.
Ø  Ajaran Gretiun (Hugo de Groot) mengenei tanggung jawab pidana negara-negara agressor.
Doktrin ini memegang peranan penting di dalam hukum antar negara.
Bagi hukum nasional, kebanyakan diakui sebagai sumber hukum yang tidak langsung. Dengan melalui undang-undang atau keputusan hakim oleh suatu negara doktrin diambil sebagai sumber hukum.
Contoh : ajaran Mollong raff mengenai onrechtmatigo daad diambil oleh Hoge Read di dalam keputusannya tanggal 31 januari 1919. Juga di dalam hukum islam, kita mengenal doktrin. Di samping Al-qur’an, sunnah Nabi, Ijma’, dan qias, kita mengenal ajaran-ajaran para ulama, misalnya ajaran-ajaran dari Imam Syafi’i, Imam Hambali, dan lain sebagainya. Pengadilan mengambil doktrin sebagai dasar-dasar pernyataan hukum karena adanya ketentuan pasal 22 AB yang memerintahkan hakim dalam hal bagaimanapun harus mengambil keputusan di samping tidak adanya larangan untuk menerima kewibawaan ilmu pengetahuan. Di samping sumber-sumber hukum yang tertulis yang telah kita sebutkan di atas (kecuali doktrin) kita mengenal sumber-sumber hukum yang tidak tertulis, yaitu yang berasal dari kebiasaan dan adat.
Pada umumnya kita menerima istilah “adat” sebagai kebiasaan-kebiasaan yang ada hubungannya dengan kepercayaan dan istilah “kebiasaan”  sebagai kebiasaan-kebiasaan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan kepercayaan, misalnya kebiasaan-kebiasaan di dalam hukum Tata Negara (disebut Convention) dan di dalam dunia perdagangan (disebut usansi/usance).
Kebiasaan-kebiasaan dan adat ini apabila telah berlangsung lama, dan kemudian oleh masyarakat diterima sebagai suatu kemestian untuk ditaati (opinic neecetatis) dan diberikan sanksi-sankssi tentulah terhadap pelanggaran-pelanggarannya, maka kebiasaan dan tentu menjadi hukum kebiasaan dan hukum adat. Hendaknya kita sadari bahwa baik peraturan perundang-undangan maupun peraturan-peraturan kebiasaan/adat adalah bentuk-bentuk  penjelasaan dari pandang-pandangan (prasaan-perasaan) hukum dan lebih tinggi lagi ada kesadaran-kesadaran hukum yang hidup di dalam himpunan kaidah-kaidah yang dibuat oleh badan perundang-undangan dan berbentuk undang-undang (tertulis) atau oleh masyarakat itu saendiri berbentuk kebiasaan-kebiasaan atau adat. Kalau ini disertai sanksi-sanksi kita dapati hukum undang-undang dan hukum kebiasaan (dan adat).

2.1.5 Sumber Hukum Abnormal.
Di sampng sumber-sumber hukum yang normal secara panjang lebar kita uraikan di atau yang timbul di dalam keadaan yang lain,keadaan-keadaan yang tidak normal melahirkan sumber-sumber yang tidak normal pula.kalau sumber-sumber hukum yang normal adalah sesuai dngan tertub hukum yang berlaku pada suatu negara pada waktu itu, maka sumber hukum abnormal justru merupakaan aturan terhadap tertib hukum yang berlaku pada saat itu. Hukum bersumber pada keadaan-keadaan tak normal ini sering juga di sebut hukum revolusi.
Sebagai sumber-sumber hukum abnormal dapat kita sebutkan antara lain: Proklamasi, coup diletat yang berhasil dan lain-lain. Satu contoh:
Berdirinya negara RI dan alat-alatnya serta di dalam melaksanaakan perbuatan-perbuatan /hubungan-hubungan hukum selanjutnya, tapi dapat dicari dari sumber-sumber hukum yang normal, tetapi  juste merupakaan tantangan terhadap tertib hukum yang berlaku pada waktu itu, yaitu tertib hukum di dalam Tata Hukum Hindia Belanda.
Menurut Prof.Hr. Drs. Notonegoro, sumber yang demikian disebut bersifat jurldis. Menurut Apeldoorn yang merupakan sumber hukum adalah: undang-undang, kebiasaan dan traktat.
Perjanjian , peradilan (jurisprudensi) dan ajaran-ajaran hukum disebut sbagai paktor-faktor  yang membantu pembentukan hukum.

2.2 Cara Menemukaan Hukum (Peafsiran Hukum)
Kadang-kadang hakim mendapat kesulitan untuk mengambil suatu keputusaan karena undang-undang atau perjanjian yang akan di pakai sebagai dasar hukum dari keputusaan itu sulit dimengerti atau mempunyai pengertian dasar hukum dari keputusaan itu sulit di mengerti atau mempunyai pengertian yang dapat di tafsirkan secara dualistis. Sebagaimana kami sebutkan di atas, dalam hal dmikian ini,hakim tidak boleh menolak untuk mengambil keputusaan. Hakim haruslah dapat menafsirkan peraturan tersebut, sehigga dapat dipergunakan sebagai keputusan hukum di dalam keputusannya. Ada bermacam-macam cara menafsirkan hukum.
      1.            Penafsiran otentik (resmi) atau penafsiran menurut undang-undang disini undang-undang sendiri yang memberi arti istilah-istilah yang dipakai dalam undang-undang itu sendiri. Pengertian- pengertian itu di dalam pasal-pasal suatu undang-undang dapat kita cari dari penjelasan  undang-undang tersebut, yang dimaksud di dalam tambahan lembaran Negara R.I ( untuk tata hukum di Indonesia)
      2.            Penafsiran menurut hakim sendiri, undang-undang yang kurang jelas susunan dan arti kata-katanya ditafsirkan sendiri oleh hakim di dalam mengadili suatu perkara. Penafsiran ini didasarkan alasan-alasan terentu dan mengikat pihak-pihak yang bersangkutan.
      3.            Penafsiran menurut ilmu pengetahuan, ada bermacam-macam  cara menafsirkan menurut ilmu pengetahuan:
a)      Penafsiran secara gramatical, istilah di dalam undang-undang ditafsirkan menurut pengertian yang dipakai sehari-hari.
b)      Penafsiran historis, di dalam penafsiran ini kita meninjau apa maksud pembuatan undang-undang waktu undang-undang itu dibuat. Cara penafsiran yang demikian ini didasarkan suatu pendapat bahwa undang-undang adalah suatu pernyataan kehendak yang sadar dari pembuatnya, atas pertimbangan yang masak.
c)       Penafsiran sistematis, undang-undang atau peraturan perundang-undangan itu merupakan suatu sistem suatu kesatuan. Kesemuanya tidak ada satu pasal pun yang dapat ditafsirkan secara berdiri sendiri. Jadi di dalam menafsirkan suatu pasal dari undang-undang hendaknya dihubungkan dengan pasal-pasal yang lain sebagai suatu sistem.
d)     Penafsiran teleologis, penafsiran dihubungkan dengan tujuan-tujuan tertentu yang terdapat di dalam hidup bermasyarakat
      4.            Selain itu kita masih mengenal cara pnafsiran lain, yaitu:
a) Penafsiran extensif
Di sini kita memperluas pengertian yang terdapat di dalam peraturan itu. Contoh : pengertian khomar di dalam hukum Islam, semula adalah hanya untuk suatu jenis minuman yang dibuat dari sari buah anggur yang diragikan. Sifat khomar ini adalah memabukan. Kemudian pengertian khomar ini adalah haram hukumnya. Kemudian pengertian khomar ini diperluas menjadi tiap-tiap minuman yang bersifat memabukan. Termasuk penafsiran extensif ini adalah penafsiran analogis.
b. Penafsiran restriktif
Di sini pengertian hanya di batasi pada apa yang disebut oleh undang-undang itu saja. Jadi kalau khomar ini kita tafsirkan secara restriktif, maka umat Islam boleh minum wisky, bier, dan lain-lain minuman keras, asal tidak dibuat dari buah anggur. Jadi penafsiran Extensif memperluas pengertian sampai apa yang tersirat, tidak hanya yang tersurat saja seperti pada penafsiran restriktif.

BAB III
BEBERAPA PENGERTIAN DAN ISTILAH  DI DALAM HUKUM

3.1 Hukum Dan Hak
Di dalam ilmu hukum kita mengenal istilah “hukum”  yang di dalam bahasa inggrisnya dapat kita terjemahkan dengan “Law” dan “Hak” yang dapat kita terjemahkan dengan “ Right”. Kadang-kadang kita pergunakan istilah hukum Obyektif untuk  “Law”  dan hukum Subyektif  atau hak Subyektif untuk  “Right”.
1)      Hukum obyektif,  terdiri dari keseluruhan aturan-aturan hukum yang bersifat umum, artinya berlaku umum, tidak terikat oleh keadaan-keadaan yang kongkrit. Peraturan mengenai jual beli misalnya, mengemukakan hak dan kewajiban pembeli dan penjual secara umum. Siapapun orangnya, kapan dilakukan, barang-barang apa yang dijual. Jadi tidak terikat oleh pembeli atau penjual tertentu, waktu tertentu, barang tertentu.
2)      Hukum atau hak subyektif, timbul dari penerapan peraturan-peraturan hukum yang bersifat obyektif tadi pada kejadian-kejadian yang kongkrit.
Suatu contoh:
Pada tanggal 1 juli 1973 si A menjual sepeda merk Gazelle kepada si B dengan harga Rp. 40.000,00 maka adalah hak dari si A untuk menuntut bayaran harga sepeda itu sebanyak Rp. 40.000,00 kepada si B. Adalah kewajiban dari A untuk  menyeruhkan sepeda Gazelle tersebut kepada B. Sesuai dengan waktu yang dijanjikan. Hak dari si B untuk memperoleh penyerahan sepeda tersebut, serta kewajibannya untuk menyerahkan  uang harga sepeda tersebut kepada si A  sesuai dengan waktu yang diperjanjikannya. Hak dan kewajiban yang timbul itu sifatnya subyektif. Terikat oleh orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
contoh lain :
Seorang ibu melahirkan seorang bayi. Ini merupakan peristiwa hukum, yang mana timbul hak dan kewajiban orang tua yang disebut kekuasaan orang tua (ouderlijke macht). Aturan hukum mengenai kekuasaan orang tua ini adalah hukum obyektif. Akibatnya, yaitu adanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu dari orang tua tersebut (misalnya A) terhadap si bayi (B), merupakan hukum atau hak subyekif.
Jelaslah bahwa “right” atau hak subyektif adalah merupakan akibat hukum, yaitu hasil penerapan suatu aturan hukum (hukum obyektif) terhadap peristiwa hukum yang konkrit.
a)      Hak Mutlak
Yaitu hak yang dapat diberlakukan pada setiap orang, berhadapan dengan itu ada kewajiban dari setiap orang untuk bertingkah laku sesuai dengan hak itu. Kewajiban ini bersifat negatif, terdiri dari sikap untuk tidak menghalangi orang yang mempunyai hak itu untuk melaksanakan haknya. Contoh: hak milik atas suatu benda.
b)      Hak Relatif
yaitu hak yang memberikan kepadaseorang atau beberapa orang tertentu, yang berkewajiban untuk mewujudkan apa yang dikehendaki oleh adanya hak tersebut. Yang menjadi hal pokok adalah bahwa dari orang lain tersebut diharapkan adanya suatu prestasi. Misalnya hak seorang atas suatu piutang. Hak subyektif ini berdasar atas 2 dasar yaitu:
v  Dasar Hukum, adalah dasar yang berwujud peraturan-peraturan(hukum obyektif.
v  Dasar Senyatanya.
Yaitu dasar yang bersifat khusus, berwujud peristiwa-peristiwa yang kongrit.
Hak subyektif dapat dapat diperoleh dengan 2 cara, yaitu ;
1.      Secara asal
2.      Secara derifatif

1)      Secara asal/ originair, apabila sebelum itu hak subyektif itu belum ada, misalnya, hak orang tua yang diperoleh dari lahirnya seorang bayi.

2)      Secara derifatif, apabila hak itu sudah ada sebelumnya, tetapi pada ada pada orang lain. Misalnya hak dari orang yang memerintahkan, dengan meninggalnya orang itu lalu berpindah pada ahli waris.

Jadi disini ada perpindahan tempat hak, hak tersebut diterima oleh penerima hak dari peemberi hak  atau pendahulu hak dalam keadaan semula, s3belum hak itu berpindah.Contoh; seorang penerima hak atas suatu gedung yang dibebani hypotik, akanmenerima hak milik atas gedung itu dengan beban hipotek pula.


3.2 Peristiwa Hukum

Hukum terjadi karena adanya peristiwa-peristiwa didalam masyarakat, yang menimbulkan hubungan-hubungan antara-antara anggota-anggata masyarakat, yang berwujud hak dan kewajiban sesamanya. Jadi selalu ada hubungsn antara peristiwa dan akibat. Peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang menimbulkan akibat yang demikian itu disebut peristiwa hukum.

Menurut Dormefer, yang disebut peristiwa hukum adalah peristiwa yang dirumuuskan didalam aturan hukum. Contoh; pasal 1457 KUH perdata memberirumusan mengenai jual beli sebagai suatu persetujuan antara 2 pihak. Dimana pihak yang satu berjanji untuk menyerahkan suatu barang dari pihak yang lain berjanji untuk untuk membayar hargannya.

 Jadi jual beli adalah peristiwa hukum karena telah dirumuskan dalam hukum.
            Begitu pula pasal 360 KUHP merumuskan apa yang dinamakan pencurian. Jadi pencurian adalah suatu peristiwa hukum. Jual beli, pencurian, pembunuhan, sewa menyewa, hibah dan lain sebagainyaadalah peristiwa hukum. Karena peritiwa peristiwa tersebut telah dirumuskan didalam aturan hukum.
Prof. Mr. J.J Van Apeldoorn menyatakan bahwa peristiwa hukum adalah peristiwa yang berdasarkan hukum yang dapat menimbulkan dan menghapuskan hak. Menurut pendapat saya, perkataan berdasarkan hukum-hukum disini tidak hanya berarti yang telah dirumuskan didalam aturan hukum-hukum saja tetapi juga berdasarkan perjanjian dan sumber-sumber hukum yang lain, asal syarat dapat menimbulkan dan menghapuskan hak dipenuhi.
contoh : lahirnya seorang bayi. Akibat yang timbul adalah timbulnya kekuasaan orang tua (ouderlijke macht).

Utrecht member definisi peristiwa hukum sebagai : peristiwa kemasyarakatan yang mempunyai akibat yang diatur oleh hukum. Jadi menurut utrech, yang penting yang diatur oleh hukum itu adalah akibatnya. Jelaslah bahwa Utrecht tidak mengesampingkan peristiwa-perisrtiwa yang terdapat didalam hukum adat. Asal akibatnya diatur oleh hukum maka peristiwa tersebut peristiwa hukum.

Peristiwa hukum dapat terdiri dari : Perbuatan manusia dan Bukan perbuatan manusia
1.      Perbuatan manusia
Perbuatan manusia ini dapat dibedakan antara :
a.         Perbuatan yang dilarang
b.        Perbuatan yang diperbolehkan
Yaitu suatu perbuatan mengurusi kepentingan orang lain yang sedang tidak dapat mengurusi sendiri kepentingannya. Tanpamendapat kuasa dari orang tersebut. Dari perbuatan ini timbul akibat hukum, yang berujud dan kewajiban antara mereka (periksa pasal 1354 KUH. Perdata) yang akibatnya merupakan tujuan, si pelaku melakukan perbuatan ini memang mempunyai tujuan untuk memperolah akibat dari perbuatan itu. Ini yang dinamakan perbuatan hukum. Jadi perbuatan hukum adalah perbuatan yang diperbolehkan yang sengaja dilakukan untuk menimbulkan akibat hukum.
Contoh: jual beli, kawi, mengadakan perjanjian sewa menyewa rumah dan lain sebagainya.
Kalau akibat dari zaakwaarneming tadi adalah berujud peringkatan yang berdasarkan undang-undang (vorbintenissen uit de wat) maka dari akibat-akibat perbuatan hukum adalah perikatan yang berdasarkan persetujuan. Peraturan hukum ini sebagian besar terdiri dari persetujuan-persetujuan, misalnya:jual beli, kawin, dan lain sebagainya, tetapi ada pula yang bukan merupakan persetujuan, misalnya: perbuatan hukum di dalam membuat surat wasiat (testamen).
Di dalam melakukan perbuatan hukum, maka sebagian unsur mutlak adalah:
a)      Khendak dari yang melakukan perbuatan hukum itu
b)      Ada pernyataan khendak tersebut, hukum tidak memperhatikan sikap batin seseorang kalau sikap batin itu tidak ternyata di dalam bentuk lahir.
            Menyatakan khendak pada azasnya tidak terikat oleh bentuk-bentuk tertentu (belanda: vormfrij). Artinya, bentuknya terserah pada pihak-pihak yang menyatakan khendaknya.ia dapat secara tegas-tegas menyatakan khendaknya, dapat pula secara diam-diam. Secara tegas-tegas, artinya dinyatakan dengan suatu perbuatan yang secara langsung memperiahatkan tujuanya, misalnya: menulis, memberi tanda-tanda, bebicara, pendeknya perbuatan itu  dinyatakan dengan tulisan, isyarat, ucapan yang dimaksud untuk menyatakan khendaknya.
Contoh: orang ingin membeli rokok. Ia dapat datang ke warung dan mengatakan bahwa ia ingin membeli sebungkus rokok. Dapat pula ia hanya menunjuk rokok yang dikehendaki dan mengacungkan satu jarinya.
            Dapat pula ia menulis pada sehelai kertas ( karena ia bisu) yang maksudnya ia ingin membeli sebungkus rokok tertentu. Itu semua adalah bentuk pernyataan kehendak secara tegas-tegasan. Secara diam-diam, artinya dengan suatu perbuatan tertentu ternyata bahwa ia menghendaki suatu akibat hukum tertentu, tetapi ia disimpulkan secara tidak langsung dari perbuatan tersebut.
Contoh: Seorang yang naik Bus yang menuju ke Solo dapat disimpulkan bahwa ia ingin menumpang bus tersebut ke Solo. Meskipun ia tidak menyatakan apa-apa kepada kondektur, maka dari perbuatan itu timbul ikatan antara dia dengan perusahaan bus. Ia tidak boleh menolak kalau kondektur  minta bayaran dan adalah menjadi haknya untuk diantar ke tempat tujuan (Solo).
            Meskipun pada azasnya pernyataan khendak itu tidak terikat pada bentuk-bentuk tertentu, tetapi ia ada perbuatan-perbuatan hukum tertentu yang menghendaki pernyataan kehendak dalam bentuk-bentuk tertentu. Misalnya mendirikan perseroan terbatas menghendaki adanya pernyataan kehendak di dalam bentuk tertulis , bahkan  dengan akte autentik yaitu akte Notaris. Jadi di dalam mendirikan P.T. ini tidak  boleh orang menyatakan khendaknya dengan akte di bawah tangan, apalagi dengan hanya sekedar pernyataan lisan saja. Catatan: Akte adalah surat yang sengaja diadakan untuk pembuktian. Akte autentik adalah akte resmi, yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat-pejabat tertentu (Notaris, Hakim, pamongpraja dan lain sebagainya). Notaris ini dapat digolongkan sebagai pejabat, karena ia sebenarnya adalah pegawai negeri.keistimewaanya ialah bahwa ia tidak digaji. Penghasilanya diperoleh dari pelayanannya kepada masyarakat.
            Perbuatan-perbuatan hukum yang berujud perjanjian harus dipenuhi syarat-syarat yang tercantum di dalam pasal 1320 B.W. (unsur-unsur naturalis).  Untuk itu dipersilahkan melihat kembali bab mengenai sumber-sumber hukum.
2.      Bukan Perbuatan Manusia
Ini terjadi dari kejadian-kejadian fisik yang dialami manusia, yaitu: lahir, umur dan matinya orang. Kejadian-kejadian di luar diri manusia, misalnya: rumah sewa disambar petir sampai habis terbakar dan lain sebagainya.
Catatan :
Ada pembagian peristiwa hukum secara lain, dengan kriteria yang bermacam macam :
a)      kalau kriterianya banyaknya peristiwa ,ada peristiwa hukum tunggal dan peristiwa hukum rangkap.
b)      kalau kriterianya adalah mengenai lamanya peristiwa hukum yang sepintas lalu dan peristiwa hukum yang terjadi terus menerus beberapa waktu.
c)      kalau kriterianya adalah aktivitas manusia didalam peristiwa hukum ,ada peristiwa hukum yang positif dan ada peristiwa hukum yang negatif .

3.3 Akibat Hukum
            peristiwa hukum membawa suatu akibat .akibat yang dilekatkan pada hukum ini disebut akibat hukum.
ada 3 macam akibat hukum :
1.      Oleh suatu peristiwa hukum dapat timbul berubah atau berakhir suatu keadaan hukum. Contoh :
a)      kenyataan seseorang telah berumur 21 tahun penuh adalah suatu pristiwa hukum .dari pristiwa hukum itu timbul suatu keadaan hukum yaitu cakap bertindak.
b)      wanita yang belum kawin mempunyai status ( suatu keadaan hukum ) gadis. perkawinannya merubah dari status gadis ke status isteri atau perkawinannya mengkahiri status gadisnya.
2.      Oleh suatu pristiwa hukum dapat timbul ,berubah ,atau berakhir suatu hubungan hukum.
a)      sebelum kawin a dan b tidak ada hubungan hukum apa apa .dengan perkawinan mereka timbullah hubungan hukum diantara mereka yaitu yang didalam BW disebut maritale macht  ( kekuasaan suami )
b)      perceraian mereka mengakhiri hubungan hukum tersebut.
c)      perceraian antara suami isteri yang sudah mempunyai anak (menurut BW )merubah hubungan hukum yang bernama kekuasaan orang tua .( ourderlijke macht )menjadi hubungan hukum yang bernama perwalian (voogdij)

3.      Akibat hukum yang ketiga adalah yang dinamakan sanksi( sanctio).
       Sanksi adalah akibat hukum yang dilekatkan pada pelanggaran terhadap suatu aturan hukum. Ujudnya adalah berupa suatu penderitaan yang ditimpakan kepada orang-orang yang melakukan pelanggaran tersebut. Tujuan sanski adalah untuk mempertahankan norma-norma hukum yang obyektif dan hak-hak subyektif yang timbul dari padanya. Contoh:
a)         Ancaman pidana penjara terhadap pencurian bertujuan agar orang tidak mencuri. Di sini dipertahankan norma hukum obyektif (mengenai hak milik) dan dilindungi hak subyektif (hak milik) seseorang dari orang-prang yang mengganggunya.
b)        Ancaman keharusan mengganti kerugian bagi orang yang melakukan wan-prestatie bertujuan agar orang tidak melanggar suatu persetujuan.  Dengan demikian hak subyektif yang timbul dari persetujuan itu dilindungi/tidak dilanggar.

       Sanksi berujud paksaan psychis maupun paksaan psychis. Paksaan psychis berujud ancaman-ancaman di dalam Undang-undang terhadap pelanggar Undang-undang. Paksaan psychis berujud tindakan yang  nyata yang berupa kekerasan, misalnya tindakan polisi, dimasukan ke dalam penjara dan lain-lain.
       Pada umumnya, di belakang paksaan psychis selalu ada paksaan psychis, misalnya di dalam ketentuan-ketentuan hukum perdata, paksaan psychis belum tentu disertai dengan paksaan psychis. Pada perjanjian yang bersifat timbal balik paksaan psychis ini tidak disertai dengan paksaan psychis. Paksaan psychis disini berujud ancaman batalnya perjanjian yang menimbulkan suatu perikatan tersebut. Ketakutan akan dibatalkannya perjanjian yang menimbulkan suatu perikatan cukup dapat mencegah pelanggaran-pelanggaran terhadap perjanjian.
Contoh: Orang menyewa rumah bertujuan agar ia keluarganya dapat terlindung dari panas dan hujan. Ketakutan kehilangan tempat berlindung karena pembatalan perjanjian sewa menyewa rumah tersebut akan mencegah ia melanggar perjanjian, meskipun tidak ada paksaan physiknya. 
            Mengenai syarat batal ini, dipersilahkan membaca pasal-pasal 1266 dan 1267 B.W Alat-alat pemaksa baru digunakan negara di dalam mempertahnkan hukum, kalau sudah lebih dulu ditentukan hak-hak subyektif dari pihak,dengan menetapkan apa hubunganya suatu perkara atau suatu kejadian yang kongkrit. Penetapan apa hukumnya suatu kejadian yang kongkrit ini dengan keputusan hakim (vonnis). Vonnis ini alas hak (titel) dari pelaksana hukum subyektif. Arena vonnis ini d sebut executorialo titel. Alas hak tidak hanya timbul karena keputusan hakim, juga akte-akte otentik, keputusan-keputusan wasit, hasil perdamaian yang dibuat di muka hakim adalah titel. Tetapi tidak semuanya adalah executorialo titel.
            Dengan adanya kejadian-kejadian kongkrit yang harus diputus oleh pengadilan, kita mengenal istilah perkara. Istilah perkara yang mengandung dua arti, yaitu:
a)      Ada sengketa, yaitu apabila hak yang dianggap ada oleh pihak yang satu, disangkal oleh pihak yang lain.
b)      Tidak ada sengketa, orang menghadap hakim hanya ingin mendapatkan kepastian mengenai suatu hal, bukan minta peradilan.
Misalnya: minta penetapan seorang anak angkat, seorang yang dinyatakan pailit dan lain sebagainya.

3.4 Hubungan Hukum
            Hubungan hukum dapat terjadi antara subyek hukum dengan subyek hukum, dapatpula antara subyek hukum dengan obyek hukum (barang)
1.      Hubungan hukum antara subyek hukum dengan subyek hukum adalah suatu wewenang yang ada pada seseorang untuk menentukan sesuatu dari orang lain (tertentu) dan di balik itu ada kewajiban dari orang lain itu untuk bertingkah laku sesuai dengan wewenang yang ada itu.
Contoh: hubungan hukum antara suami istri, pembeli dengan penjual dan lain sebagainya. Jadi hubungan hukum  antara subyek dengan subyek ditandai oleh adanya hak dan kewajiban antara pihak tersebut, baik secara sepihak, maupun secara timbal balik.
2.      Hubungan hukum antara subyek hukum dengan barang adalah suatu wewenang yang ada pada seseorang untuk menguasai sesuatu dan di pihak lain ada kewajiban dari setiap orang untuk bertingkah laku sesuai dengan wewewnang yang ada itu. Kewajiban dari orang lain itu berwujud suati sikap untuk tidak menghalangi orang yang berhak untuk melaksanakan haknya. Hubungan hukum ini adalah merupakan akibat hukum. Jadi timbulnya karena adanya peristiwa-peristiwa hukum.

3.5 Subjek Hukum
Segala sesuatu yang dapat mendukung hak dan kewajiban di dalam lalu lintas hukum disebut subyek hukum. Prof. Mr. Djojonigano menggunakan istilah orang untuk subyek hukum yang dibedakan dengan istilah manusia. Orang adalah gejala hidup bermasyarakat, manusia adalah gejala biologis. Rupanya beliau memperoleh istilah ini dengan menterjemahkan langsung dari istilah person. Ada dua macam subyek hukum yaitu:
1.      Yang berwujud manusia. Ini disebut natuurlijke person
2.      Badan Hukum disebut juga rechtsperson.

A.    Manusia sebagai subyek hukum
Semua manusia adalah subyek hukum. Status sebagai subyek hukum ini mulai sejak manusia dilahirkan dan berakhir pada saat kematiannya. Di dalam hal ini kita mengenal suatu fiksi hukum, yaitu apabila kepentingan menghendaki, maka status subyek hukum itu dapat di mulai sejak seorang anak masih di dalam kandungan. Jadi ia di anggap sudah lahir, sehingga sudah berstatus subyek hukum. Dengan demikian ia sudah menjadi pendukung hak dan kewajibannya. Kepentingan yang dimaksud adalah kepentingan yang menyangkut soal warisan (periksa pasal 2 B.W.). Tetapi apabila ia kemudian ternyata dilahirkan mati ia dianggap tak pernah ada. Lembaga fiksi hukum disini dimaksud untuk melindungi anak yanga ada di dalam kandungan, agar ia tidak terlantar nanti karena kematian ayahnya. Dengan diperhitungkan dia sebagai subyek hukum, maka ia berhak atas warisan ayahnya Seperti disebutkan di atas, maka setiap manusia adalah pendukung hak dan kewajiban. Bahkan apa yang dinamakan kematian perdata, yaitu kehilangan semua hak karena putusan pengadilan adalah tidak mungkin (lihat ps. 3 BW). Memang sebagai sidang tambahan,orang dapat di cabut beberapa hak nya tertentu ( lihat pasal 10 KUHP) tetapi tidak untuk selama-lamanya,melainkan hanya bersifat sementara saja.
Contoh: Seorang tentara yang melakukan desersi,selain dapat dihukum dengan pidana pokok,misal nya penjara,dapat di tambah dengan pidana tambahanberupa pencabutan haknya untuk memasuki Angkatan bersenjata.
            Meskipun menurut hukum setiap orang adalah memiliki hak-hak,tetapi tidak semua orang cakap bertindak sendiri di dalam melaksanakan hak-hak nya.
Orang-orang ini di dalam melaksana kan hak-hak nya (melakukan perbuatan hukum atau mengadakan hubungan-hubungan hukum) harus diwakili atau dengan seizin orang-orang yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap itu adalah :
a.       Orang yang belum dewasa,Dewasa menurut B.W.adalah apabila seseorang telah berumur 21 tahun penuh,atau kalau sebelum itu,ia sudah kawin
b.      Mereka yang di tempatkan dibawah kuratil (curatelo,pengampunan).
c.       Wanita di dalam perkawinan di dalam hal-hal yang di tentukan oleh undang-undang (telah dicabut dengan edaran mahkamah agung  no. 3 tahun 1963)
Catatan :
Ukuran dewasa (cukup umur) untuk tiap-tiap sistem hukum adalah berbeda-berbeda.
-          Di dalam B.W,umur 21 tahun penuh,atau kalau sebelum umur itu sudah kawin.
-          Di dalam hukum islam ada istilah aqil-baliq.istilah itu menunjukkan bahwa di dalam hukum islam,selain umur tertentu juga faktor berakal adalah menentukan kedewasaan orang.
Jadi orang yang umur nya sudah cukup tetapi tidak waras otak nya di anggap belum aqil-balig Juga tanda-tanda tertentu pada fisiknya,dan pengalaman-pengalaman/kejadian-kejadian tertentu yang menimpa fisiknya merupakan ukuran kedewasaan seseorang.misalnya: Di tempat-tempat tertentu sudah tumbuh bulu,dada (wanita) mulai berkembang,menstruasi,mimpi bahagia dan lain sebagai nya.
-          Di dalam hukum adat ( jawa),pada umumnya kedewasaan seseorang di ukur dari kemampuan seseorang untuk mencari nafkah sendiri (jawa : megawo).
Pada umumnya kecakapan bertindak (juridis) ini sejajar dengan kecakapan rill seseorang. Artinya orang yang secara juridis dinyatakan tidak cukup (onbekwaan), pada umumnya secara rill jugga tidak cakap.
Contoh : Anak kecil baik juridis maupun rillnya dia memang betul-betul tidak cakap, lain halnya dengan seorang pemuda yang berumur 18 tahun . Rillnya dia cakap tetapi juridis (menurut B.W) ia tidak cakap.

Selain ketidak cakapan umum, kita mengenal ketidak cakapan khusus. Ketidak cakapan umum adalah ketidak cakapan yang sifatnya umum, yaitu semua perbuatan  atau perhubungan hukum. Ketidakcakapan khusus adalah ketidak cakapan seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum atau mengadakan hubungan-hubungan hukum tertentu berhubung keadaan khusus dari orang tersebut yang berhubungan dengan / hubungan-hubungan huukum ters ebut. Contoh;   Seorang terdakwa menurut U.U. no. 14 tahun 1970 mempunyai hak ingkar, yaitu hak untuk menolak hakim yang akan mengadilinya dengan alasan-alasan tertentu.
Dengan demikian hakim tersebut tidak cakap ( tidak wenang) untuk mengadili orang tersebut . Secara umum ia cakap bertindak, tetapi untuk perbuatan hukum mengadili orang tertentu tadi ia tidak wenang. Seorang pejabat lelang secara umum adalah cakap bertindak . Tetapi untuk membeli barang-barang yang di bawah kekuasaanya untuk dilelang ia tidak cakap (lebih tepat tidak wenang).
1.      Badan Hukum
Setelah manusia , ada badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan, yang di dalam hukum dimungkinkan untuk mempunyai hak-hak dan kewajiban dan kekayaan sendiri, serta dapat ikut serta di dalam lain hutas hukum. Dapat menggugat maupun digugat di depan pengadilan. Badan-badan atau perkumpulan –perkumpulan semacam itu disebut Badan Hukum ( Rochtspersoon)
Contohnya ; Perseroan terbatas, Koperasi, Yayasan, Negara, Propinsi, Kota madya dan lain sebagainya.
Badan hukum ini ada dua macam yaitu:
a.       Badan hukum di dalam lingkungan hukum privat,
b.      Badan hukum didalam lingkungan hukum publik,
.
3.6 Penyalahgunaan Hak
Setiap orang ialah subyek hukum, dengan demikian setiap orang mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Tetapi didalam melakukan haknya, subyek-subyek hukum tidak sama sekali bebas. Pelaksanaan atau pengunaan hak ini dibatasi oleh undang-undang dan kepentingan umum.
Hak milik merupakan hak yang benar-benar mutlak, artinya orang boleh berbuat apa saja terhadap hak miliknya. Sekarang, perbuatan-perbuatan yang pada hakikatnya ialah pengunaan hak milik dapat di golongkan sebagai perbuatan yang melawan hukum apabila hanya di dorong oleh kepentingan yang tidak patut, semata-mata dimaksudkan untuk menganggu, sebagai contoh saya kemukakan suatu jurisprudensi, yaitu keputusan hakim di colmar (prancis) tanggal 2 mei 1855 yang terkenal sebagai arrost (keputusan hakim) mengenai cerobong asap  induk perkaranya ialah sebagai berikut: Seorang di dalam di gugat oleh tetangganya karena ia membuat cerobong asap yang demikian besar dan tingginya sehingga menghalangi tetangganya untuk memperoleh pemandangan yang indah. Gugat ini dikabulkan oleh pengadilan colmar dasar si pemilik cerobong asap diharuskan membongkar cerobongnya. Pembuatan cerobong asap yang demikian besar dan tingginya di pandang oleh pengadilan sebagai hak mempunyai alasan yang patut karena cerobong asap yang kecil dan tidak terlalu tinggi adalah sudah cukup (perlu diketahui bahwa cerobong asap pada waktu itu di situ merupakan hak yang tidak untuk tungku pemanas pada musim dingin). Ada hubunganya dengan masalah penyalah gunaan hak adalah azas kemasyarakatan dari hak milik.
Hak milik mengatakan bahwa hak milik sekarang ini bukan merupakan hak mutlak lagi. Masyarakat hukum sekitarnya  kadang-kadang mempunyai hak yang lebih besar dari pemiliknya sendiri. Azas kemasyarakatan dari hak milik ini terutama mengenai tanah adalah sangat penting. Pasal 26 ayat 3 UUDS mengatakan bahwa hak milik itu adalah fungsi sosial. Pasal ini adalah merupakan manifestasi dari azas kemasyarakatan dari hak milik tersebut.
Contoh: kemungkinan dicabutnya hak milik atas tanah untuk kepentingan umum, misalnya untuk pelebaran jalan, bangunan-bangunan bagi kepentingan umum dll.
Kemungkinan dicabutnya hak milik atas tanah untuk kepentingan umum, misalnya untuk pelebaran jalan, bangunan-bangunan bagi kepentingan umum dll. Tentu saja didalam pencabutan hak milik ini selain dengan alasan untuk kepentingan umum, harus diperhatikan pengganti kerugian yang pantas.
Dengan demikian kami sudahi uraian mengenai pengertian-pengertian dan istilah-istilah yang penting di dalam hokum/tata hukum. Istilah-istilah yang lain tidak kami bicarakan secara tersendiri, tetapi berhubungan dengan uraian-uraian didalam bab-bab lain didalam resume ini. Ini bukan berarti bahwa istilah tersebut kurang penting, tetapi kami memandang akan lebih tepat membicarakan istilah-istilah tersebut didalam hubungannya dengan istilsh-istilsh lain.

BAB IV
HUKUM DI INDONESIA

4.1 Pengertian Tata Hukum Indonesia
Tata hukum sering disebut hukum positif, yaitu hukum yang berlaku sekarang pada suatu tempat tertentu. Tata hukum Indonesia adalah hukum yang berlaku sekarang di Indonesia (ius constitutum). Istilah berlaku berarti memberikan akibat-akibat hukum. Menurut Prof.Mr. Kusmadi Pudjosewojo. Hukum yang berlaku terdiri dan diujudkan oleh ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan hukum yang saling berhubungan dan saling menentukan. Misalnya aturan hukum mengenai perceraian tertentu berhubungan dengan turan-aturan hukum megenai perkawinan. Karenanya aturan-aturan hukumtadi merupakan suatu susunan tatanan. Suatu Tata hukum.

4.2 Fungsi Tata Hukum
Adalah untuk menata, menyusun, mengatur tertib kehidupan masyarakat. Tata hukum itu sah, berlaku bagi suatu masyarakat tertentu, dan juga dibuat, ditetapkan dan dipertetapkan atas daya penguasa (authority) masyarakat.

4.3 Masyarakat Hukum
Masyarakat yang menetapkan tata hukumnya sendiri dan karena itu ikut serta sendiri di dalam berlakunya tata hukum itu, dinamakan masyarakat hukum.
1.      Membuat contohnya apa yang dilakukan oleh Badan Pembentuk Undang-undang di dalam menetapkan suatu Undang-undang yang rencananya dibuat sendiri oleh badan tersebut. Dibicarakan, disetuji, disahkan dan kemudian diundangkan di dalam Lembaran Negara.
2.      Mengambil oper
Kadang kadang peraturan yang di berlakukan dalam suatu Negara bukanlah suatu peraturan yang orisinil, artinya buatan bentuk peraturan itu sendiri. Ini banyak sekali terjadi dinegara Negara bekas jajahan. Seperti Indonesia.
            Dengan merdekanya suatu Negara, maka peraturan peraturan yang dapat dibuat untuk mengatur tata tertip suatu Negara itu jauh dari memadai. Kalau pada saat itu peraturan peraturan yang lama di anggap tidak berlaku lagi, maka akan terjadi kekosongan ( vacuum ). Banyak hal-hal yang tidak ada peraturnya, karena karena membuat suatu peraturan memerlukan waktu. Dalam hal ini pengoporon aturan – aturan yang lama adalah jalan yamh paling praktis.
            Di Indonesia pengomporan ini secara umum dilakukan dengan pasal II Aturan Pelalihan UUD 1945. Didalam pasal ini dinyatakan bahwa semua badan dan peraturan peraturan yang ada masih berlaku selama belum diganti dengan yang baru dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
            Tetapi pengambilan oper dapat pula dilakukan secara khusus dengan  dengan suatu undang-undang. Contohnya pengambilan opera wetbook van strafrech voor Nederland indic menjadi kitap undang-undang pidana Indonesia melalui kitap undang-undang nomer satu tahun 1946 diperlakukan di Indonesia denag undang-undang tuju puluhtahun 1958. Masyarakat hukum ada bermacam-macam, yang kecil adalah dosa yang besar, yang besar dalm bentuk modern adalah Negara.

4.4 Kapankah Indonesia memiliki Tatanan Hukum Sendiri ?
            Jawaban pertanyaan di atas sama dengan jawaban peranyaan kapankah Indonesia itu ada. Untuk menjawab peranyaan itu dapat lah di kemukan dua jawaban.
1.         Negara Indonesia ada, sejak tanggal tujuh belas agustus sribu sembilan ratus empat puluh lima.jadi tatanan hukum Indonesia sudah hadir sejak saat itu juga.
2.         Negara Indonesia hadir sejak delapan belas agustus sribu sembilan ratus empat puluh lima. Yaitu sejak mulai berlakunya UUD 1945. UUD 1945 inilah yang merupakan tatanan hukum pertama bagi Indonesia. UUD 1945 itu pula dengan pasal II aturan peralilahn mengambil oper aturan-aturan hukum di dalam tata hukum yang berlaku sebelum itu.
-          Pandangan pertama mengakui adanya sumber hukum yang abnormal. Proklamasi adalah sumber hukum, jadi dengan adanya proklamasi, sudah ada tata hukum yang pertama di Indonesia.
-          Pandangan kedua memandang seakan – akan dengan adanya proklamasi, negara Indonesia belum ada. Yang ada baru proses pelepasan diri dari penjajahan, yaitu pernyataan kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian negara Indonesia baru berdiri sejak adanya UUD 1945. Dari kalimat “ Kemudian dari pada itu disusunlah kemerdekaan kebangsaan indonesia itu didalam suatu undang-undang dasar negara Indonesia, menunjukan bahwa negara Indonesia itu baru ada sejak tanggal 18 agustus 1945.
Menurut Prof.Kusumadi, pernyataan tersebut diatas adalah berarti :
a.       Menegarakan Indonesia, menjadi Indonesia suatu negara.
b.      Pada saat itu juga menetapkan tata hukum Indonesia sekedar yang tertulis.
Prof.Kusumadi sendiri beranggapan bahwa Tata Hukum Indonesia mulai ada sejak tanggal 17 Agustus 1945. Ini sebenarnya aneh. Bukanlah pernyataan menegarakan Indonesia dan menetapkan Tata Hukum Indonesia itu baru dilakukan pada tanggal 18 agustus 1945 ?. jadi menurut pendapat kami, ada suatu yang kontradiktif dari pendapat Prof.Kusumadi ini.
Saya sendiri berpendapat bahwa Tata Hukum Indonesia mulai ada sejak tanggal 17 Agustus 1945, sebab saya sendiri mengakui adanya sumber – sumber hukum yang abnormal ( hukum revolusi ), asal kemudian itu diakui  oleh masyarakat sebagai suatu kenyataan. Jadi mempunyai authority ( gozag ). Lagipula kalau Tata Hukum Indonesia baru ada sejak tanggal 18 Agustus 1945, lalu tata hukum apakah yang berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945 ? apakah tata hukum yang ditetapkan oleh tentara pendudukan jepang ? ataukah tata hukum Hindia Belanda ? saya kira tidak sepantasnya bahwa untuk suatu  bangsa yang merdeka masih diperlakukan tata hukum asing. Atau tidak ada tata hukum yang berlaku pada waktu itu ? hal itu tidak mungkin. Mungkin pada waktu itu ada “ Chaos “, tetapi tidak boleh dikatakan ada hukum. Jadi kesimpulanya, Tata Hukum Indonesia yang berlaku. Proses menegarakan Indonesia itu sudah dimulai sejak adanya proklamasi . jadi proklamasi tidak sekedar proses pelepasan diri dari penjajahan. Tata Hukum Hindia Belanda dikenal pembagian golongan-golongan rakyat, yang masing-masing menganut sistem hukum perdata yang berlainan.
            Pembagian golongan rakyat itu berdasarkan pasal 163 I.S. itu golongan rakyat dibedakan menjadi :
a.       Golongan Eropa
b.      Golongan Bumi Putera
c.       Golongan Timur Asing
Pembagian ini pada mulanya adalah didasarkan atas pandangan bahwa kebutuhan hukum dan perasaan keadilan sangat berbeda pada golongan Indonesia (dan yang dipersamakan dengan mereka), dibandingkan dengan pada golongan orang Eropa (dan yang disamakan dengan mereka). Pembagian itu makin lama makin lebih menyakiti hati orang yang bukan Eropa, karena mereka memandang pembedaan itu sebagai diskriminasi kebangsaan yang tidak sesuai lagi didalam masyarakat abad ke-20 ini.
Untuk golongan Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka (misalnya orang-orang Jepang) berlaku hukum perdata barat (B.W. dan W.v.K.). Bagi golongan rakyat (bumi putera) tunduk pada aturan-aturan untuk orang Bumi Putera (hukum adat) dengan kemungkinan penundukan diri terhadap hukum perdata yang berlaku bagi golongan Eropa. Baik secara keseluruhan maupun untuk perbuatan-perbuatan hukum tertentu. Adapula kemungkinan lain yang “Colijkatolling,” yaitu “mempersamakan dengan” orang Eropa (pasal 163 5 I.S.). Bagi Golongan Timur Asia Tionghoa pada pokoknya berlaku B.W. dan W.v.K. dengan beberapa pengecualian antara lain mengenai syarat-syarat dan cara-cara untuk melakukan perkawinan. Lin dari pada itu ada pula peraturan tersendiri mengenai kongsi, adopsi dan tentang pegawai pencatatan sipil. Bagi golongan Timur Asing lainnya berlaku B.W. dan W.v.K. tetapi pengecualian-pengecualiannya lebih banyak dari Golongan Timur Asia Tionghoa, yaitu mengenai perkawinan, keluarga, warisan dan beberapa yang lain. Untuk itu bagi mereka berlaku hukum adat mereka masing-masing. Jadi jelaslah bahwa mengenai hukum perdata di Indonesia dan pluralisme hukum. Belum ada Unifikasi hukum.
Menurut UUDS RI, manusia didalam wilayah Republik Indonesia dibagi atas 3 golongan, yaitu :
a.       Warga Negara
b.      Penduduk
c.       (setiap) orang (jadi termaksud a dan b) dan orang-orang berada didalam wilayah negara, yang dengan ijin atau tanpa ijin berada disini. Tetapi belum mempunyai kedudukan sebagai penduduk
Yang kita persoaalkan disini hanyalah orang-orang  yang merupakan warga negara Republik Indonesia saja. Bagi warga negara R.I keturunan Eropa (yang berasal dari golongan Eropa), baginya masih diperlukan Hukum Perdata Eropa (B.W dan W.v.K.), dan bagi warga negara yang termasuk golongan kecil Tionghon dan Arab tetaplah berlaku peraturan-peraturan yang ditetapkan pada tahun 1917 dan 1924 khusus untuk kedua golongan itu. Jadi disini kewarganegaraan hanya menentukkan nasionalitet, dan sekali-kali tidak disangkutkan dengan Hukum Perdata yang berlaku bagi mereka.
Jelaslah bahwa sekarang ini masih tetap ada pluralisme didalam lapangan Hukum Perdata. Keadaan ini tidak boleh diabaikan berlarut-larut.
Pasal 102  UUDS pernah memerintahkan kodifikasi beberapa lapangan hukum diantaranya Hukum Perdata. Ini berarti bahwa terhadap Hukum Perdata juga dikehendaki adanya unifikasi. Hanya saja, didalam kodifikasi itu kita harus memperhatikan perbedaan-perbedaan didalam kebutuhan hukum golongan rakyat (pasal 25 ayat 2 UUDS), terutama mengenai hukum keluarga mereka. Pada hemat saya, yang diperhatikan hendaknya bukan perbedaan-perbedaan didalam kebutuhan hukum golongan rakyat saja, tetapi juga harus diperhatikan perbedaan didalam kebutuhan hukum yang berdasarkan perbedaan agama.
Misalnya didalam menyusun rencana Undang-Undang Perkawinan, hendak nya kebutuhan hukum yang berdasarkan perbedaan agama ini diperhatikan. Jadi tidak dapatlah kita membuat Undang-Undang Perkawinan yang berlaku untuk semua orang dengan agama yang berbeda-beda, karena masalah keperdataan biasa, tetapi berhubungan dengan masalah kepercayaan.

4.5 Hukum Perdata Perselisihan
            Dengan tidak adanya unifikasi hukum di dalam lapangan hukum perdata ini menimbulkan suatu problema, yaitu : bagaimanakan orang-orang yang tunduk pada sistem hukum perdata yang berbeda-beda itu mengadakan hubungan hukum, atau hukum manakah yang dipakai kalau orang-orang itu mengadakan hubungan hukum satu sama lain.
Contoh : Seorang warga negara Indonesia keturunan Eropa kawin dengan seorang warga negara Indonesia asli. Hukum manakah yang dipakai ?

            Karena nampaknya memang ada “perselisihan” maka hukum perdata yang menyangkut orang-orang yang tunduk pada sistem hukum perdata yang berlainan ini sering disebut Hukum Perdata Perselisihan. Penamaan ini sesungguhnya tidak tepat, karena sesungguhnya di sini tidak ada perselisihan. Yang ada adalah masalah pilihan hukum.
Karena saya lebih cenderung untuk menggunakan istilah hukum antara atau hukum antar sistem hukum. Di Indonesia kita mengenal bermacam-macam hukum antara :
a). Hukum Antar Golongan atau Hukum Intergentil
            Persoalan hukum Intergentil timbul, kalau terjadi hubungan antara orang-orang yang menganut sistem hukum perdata yang berbeda berdasarkan pasal 163 I.S. tersebut diatas. Persoalan hukum Intergentil inilah terutama yang merupakan warisan dari hukum Himdia Belanda.
b). Hukum Antar Agama
            Bagi kami (penulis) adanya Hukum Antar Agama adalah suatu yang mustahil. Tidak mungkin dikompromikan dua sistem hukum yang berasal dari kepercayaan.
Contoh : Agama Islam memperbolehkan perkawinan antara pria Islam dengan wanita-wanita Akhlil Kitab (Yahudi dan Nasrani). Agama Kristen memperbolehkan perkawinan antara pria Kristen dengan wanita Islam (atau lain-lain agama). Adakah ini mungkin dikompromikan ?
c). Hukum Antar Daerah
            Indonesia dibagi-bagi di dalam banyak daerah Hukum Adat. Hubungan Hukum antara orang-orang yang mengalami sistem Hukum Adat yang berlainan inilah yang menjadi persoalan di dalam Hukum Antar Daerah.
d). Hukum antar bagian
Ini hanya ada pada jaman hindia belanda atau jaman republik indonesia serikat Pada jaman hindia belanda negeri belanda mempunyai  jajahan jajahan lain selain hindia belanda (yang sekarang merupakan daerah jajahan republik indonesia ) jajahan lain itu misalnya suriename hubunggan hukum antara daerah daerah jajahan  yang berbeda ini lah yang menjadi masalah dari hukum antar bagiaan  juga di jaman  R.I.S kita mengenal di negeri negeri bagian misalnya indonesia timur dan republik indonesia ( yogyakarta ) hubunggan antar orang orang dari negeri negeri yang berlainnan ini juga menjadi masalah hukum antar bagian.
e). Hukum perdata internasional
Ini adalah hukum perdata yang menyagkut hubunggan hukum antara orang orang yang tunduk pada sistim hukum yang berlainan di mana tersangkut beberapa negara .ini  bukan arisan dari tata hukum hindia belanda ,melainkan ajar di dalam hubungan internasional.

f) .Hukum Antar Waktu
Ini terjadi karena  adanya  perubahan  perubahan di dalam  aturan aturan  hukum  biasanya aturan  hukum  yang baru sudah memuat aturan peralihan untuk menampung keadaan keadaan yang timbul dari perubahan perubahan antar hukum itu ,misalnya apa yang terdapat dalam pasal  II aturan  peralihan  UUD 1945. Tetapi karena hukum  peralihan itu tidak ada maka kita di harapkan  pada masalah pilihan hukum mana yang akan di pakai mengenayai ini sudah ada pedoman pedoman nya .untuk hukum pidana misalnya maka yang di pakai adalah aturan hukum yang paling menguntung kan terdakwa dan lain sebagainya . Keadaan yang saya maksud di dalam permulaan anak yang menyangkut ke anekawarnaan hukum yang menjadi persoalan di dalam hukum intewrgentil karena nya pembentuk undang undang di dalam mengusahakan  terbentuk nya hukuman perdata yang bersifat nasional ,masalah kesatuan hukum ni haruslah di perhatikan terhadap kebutuhan kebutuhan hukum dari masing masing golongan, juga ketentuan hukum yang bersangkutan dengan agama, terutama didalam masalah hukum keluarga. Kebiasaan atau adat itu kemudian oleh masyarakat diterima sebagai suatu kemestian untuk diterima dan ditaati dan diberi sanksi bagi pelanggar-pelanggarnya (sebagai ciri dari hukum) maka adat dan kebiasaan tadi lalu menjadi Hukum Adat dan Hukum Kebiasaan.
Hukum Adat ini bukan merupakan lapangan hokum tersendiri, melainkan meliputi semua lapangan hokum, yang merupakan bagian yang tidak tertulis. Dengan demikian terdapat Hukum Tata Negara per-Undang-Undangan dan Hukum Tata Negara Adat (Kebiasaan). Hukum Tata Usaha per-Undang-undangan dan Hukum Tata Usaha Adat (kebiasaan) dan seterusnya. Hukum Adat (kebiasaan) mengenai lapangan hokum perdata menjadi lebih penting dari lapangan hokum lain, karena di dalam hokum Perdata ini masalahnya dapat dikuasai oleh pihak-pihak. Meskipun demikian kita boleh melupakan hokum adat (kebiasaan) di dalam lapangan hokum lain, misalnya di dalam lapangan Hukum Tata Negara (convontion) , di dalam lapangan Hukum acara yang berujud kebiasaan di dalam praktek-praktek pengadilan, misalnya mengenai pengusahaan perdamaian oleh Hakim.
Menurut pasal 130 ayat 1 I.S. Hakim wajib mengusahakan perdamaian antara pihak-pihak yang bersangkutan di dalam perkara peradilan pada permulaan sidang, sedang prakteknya, pengusahaan perdamaian itu dapat di lakukan setiap waktu selama proses pengadilan, selama belum ada keputusan hakim.
Perimbangan kedudukan Hukum Adat dan Hukum Per-Undang-Undangan di dalam Tata Hukum Indonesia. Undang-Undang Dasar yang sekarang berlaku, tidak menyebutkan apa mengenai hal ini. Sekedar petunjuk dapat dikemukakan bahwa:
a.       Dengan adanya Undang-Undang Dasar menunjukkan bahwa RI mengutamakan hokum yang tertulis.
b.      Pernah adanya pasal 102 UUDS yang memerintahkan kodifikasi pada beberapa lapangan hukum menunjukkan bahwa RI mementingkan hukum yang tertulis. 
c.       Undang-Undang dasar (yang sekarang berlaku) banyak mengemukakan hal-hal yang harus diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang menunjukan bahwa RI mengutamakan hukum yang tertulis.
d.       
Pasal-pasal 32, 43, ayat 4, 104 ayat 1, UUDS menyebut hukum adat dan hukum tidak tertulis di samping aturan-aturan Undang-Undang. Pasal 14, 13 ayat 2 dan 16 ayat 2 menyebut aturan hokum saja. Menurut prof. kusumadi ini termasuk aturan hokum tidak tertulis. Penyebutan aturan-aturan hokum yang tidak tertulis atau hokum adat dalam suatu nafas dengan Undang-Undang dan penggunaan istilah aturan hokum yang meliputi Undang-Undang dan hokum tidak tertulis menunjukan bahwa di dalam hokum yang asli mandiri sederajat dengan Undang-undang.
Tetapi di dalam UUD 1945 tidak menyebutkan apa-apa. Dalam hal ini menurut prof. kusumadi kita dapat mempunyai pendirian 2 macam:
1.      Sama seperti dalam masa berlakunya UUDS.
2.      Tidak dapat ditarik kesimpulan apapun.
Dalam hal ini kita harus mengingat pasal II aturan peralihan UUD 1945. Berdasarkan aturan peralihan tersebut, kita anggap masih berlaku peraturan Tata Hukum sebelum 17 agustus 1945 tentang imbangan kedudukan antara Undang-Undang dan hokum yang tidak tertulis. Dan Tata Hukum sebelum 17 agustus 1945 kita mengenal ketentuan pasal 15 AB, yang sampai sekarang belum ada ketentuan, sehingga dapat dikatakan masih berlaku. Atau dianggap bertentangan dengan hakekat Tata Hukum Indonesia seperti tercermin di dalam UUd 1945, sehingga pasal 15 AB. Bunyi pasal 15 AB adalah: “selain dari pada pengecualian yang telah ditetapkan tentang Bumi Putra dan orang-orang yang dipersamakan dengan mereka, maka kebiasaan tidak mrenimbulan hokum kecuali hanya apabila Undang-Undang menunjuk kepada itu”. Ketentuan dalam pasal 15 AB itu bertentangan dengan aliran yang  berlaku sekarang, bahwa kebiasaan juga sumber hokum yang mandiri, sama sederajat dengan Undang-Undang. Karenanya hakim hendaknya menerapkan hokum kebiasaan dalam hal Undang-Undang menunjuk kepada itu.
Sebuah Undang-undang, padahal yang dipersoalkan adalah hokum manakah yang lebih berkuasa, Undang-Undang atau hokum adat kebiasaankah? Kalau kita berpegangan pada pasal 15 AB maka sebetulnya kita sudah memilih, bahwa Undang-Undanglah yang diberi penghargaan tertinggi. Maka soal harus kita pecahkan diluar pasal 15 AB, malahan lebih tegas lagi. Diluar Undang-Undang apapun juga, sebagai kesimpulan mengenai imbangan antara hukum adat/kebiasaan dengan hokum per-Undang-Undangan, dapatlah kami kemukakan behwa:
-          Pasal 15 AB tidak boleh kita pergunakan lagi, karena bertentangan dengan paham yang berlaku saat ini.
-          Dengan adanya pasal 27 ayat 1, Pasal 40 UU no. 14 tahun 1970 maka harus kita anggap bahwa pasal 15 sudah dicabut.
-          Dengan demikian berlakunya adat/kebiasaan sebagai sumber hokum tidak usah dengan penunjukann Undang-undang.
-          Di dalam praktek hakim selalu lebih mengutamakan Undang-Undang daripada adat/kebiasaan, karena alasan kepastian hukum.
Dengan demikian kita sadari uraian kamii mengenai hokum di Indonesia, uraian ini hanyalah pemandangan hokum belaka, belum sampai pada uraian mengenai lapangan hokum materiil positif. Uraian lebih lanjut mengenai hal ini kami serahkan kepada dosen-dosen yang bersangkutan. Mengenai hukum acara dan susunan dan kekuasaan kehakiman, akan kami bahas dalam Bab V, yang karena panjangnya, kami jadikan bagian ke-2 dari resume ini.

BAB V
KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan ringkas guna memberikan penjelasan lebih kepada penulis khususnya,dan para pembaca pada umumnya kedepan.
Negara Republik Indonesia memang mengutamakan hukum yang berlaku baik tertulis maupun tidak. Memang seharusnya demikianlah bagi suatu negara yang modern. Hal ini tidak berarti hukum yang tidak tertulis dilalaikan.


5 komentar: