BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Pada
perkuliahan Teori Hukum Konstitusi, kita telah mengetahui fungsi
konstitusi pada suatu Negara sangat penting. Kontitusi merupakan sumber hukum
yang menjadi pokok aturan dan dasar jalannya pemerintahan suatu Negara.
Bukan hanya di Negara kita, di Negara yang sudah berdaulat pasti memiliki
konstitusi.
Reformasi politik dan ekonomi yang
bersifat menyeluruh tidak mungkin dilakukan tanpa diiringi oleh reformasi
hukum. Namun reformasi hukum yang menyeluruh juga tidak mungkin dilakukan tanpa
didasari oleh agenda reformasi ketatanegaraan yang mendasar, dan itu berarti
diperlukan adanya constitutional reform yang tidak setengah
hati.
Perubahan
konstitusi dipengaruhi oleh seberapa besar badan yang diberikan otoritas melakukan
perubahan memahami tuntutan perubahan dan seberapa jauh kemauan anggota badan
itu melakukan perubahan. Perubahan konstitusi tidak hanya bergantung pada norma
perubahan, tetapi lebih ditentukan oleh kelompok elite politik yang memengang
suara mayoritas di lembaga yang mempunyai kewenangan melakukan perubahan
konstitusi. Lembaga yang mempunyai kewenangan melakukan perubahan harus
berhasil membaca arah perubahan yang dikendaki oleh masyarakat yang diatur
secara kenegaraan.
Perubahan
konstitusi harus didasarkan pada paradigma perubahan agar perubahan terarah
sesuai dengan kebutuhan yang berkembang di masyarakat. Paradigma ini digali
dari kelemahan sistem bangunan konstitusi lama, dan dengan argumentasi
diciptakan landasan agar dapat menghasilkan sistem yang menjamin stabilitas
pemerintahan dan memajukan kesejahteraan rakyat. Paradigma ini mencakup
nilai-nilai dan prinsip-prinsip penting dan mendasar atau jiwa(gheist) perubahan
konstitusi. Nilai dan prinsip itu dapat digunakan untuk menyusun telaah kritis
terhadap konstitusi lama dan sekaligus menjadi dasar bagi perubahan konstitusi
atau penyusunan konstitusi baru.
Di
samping persoalan paradigma dalam perubahan konstitusi, juga perlu diperhatikan
aspek teoritik dalam perubahan konstitusi yang akan mencakup masalah prosedur
perubahan, mekanisme yang dilakukan, sistem perubahan yang dianut, dan
substansi yang akan diubah. Setiap konstitusi tertulis lazimnya selalu memuat
adanya klausul perubahan di dalam naskahnya, sebab betapapun selalu disadari
akan ketidaksempurnaan hasil pekerjaan manusia membuat dan menyusun UUD. Selain
itu, konstitusi sebagai acuan utama dalam pengaturan kehidupan berbangsa dan
bernegara merupakan suatu kontrak sosial yang merefleksikan hubungan-hubunganan
kepentingan dari seluruh komponen bangsa dan sifatnya sangat dinamis. Dengan
demikian, konstitusi memerlukan peremajaan secara periodik karena dinamika
lingkungan global akan secara langsung atau tidak langsung menimbulkan
pergeseran aspirasi masyarakat.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
perubahan konstitusi di Indonesia?
2. Bagaimna metode perubahan konstitusi?
3. Bagaimana
hasil perubahan terhadap UUD RI 1945?
4. Bagaimana
tata urutan konstitusi di Indonesia?
C.
Tujuan
1. Mengetahui
perubahan konstitusi dari awal kemerdekaan sampai reformasi.
2. Mengetahui
metode perubahan konstitusi.
3. Mengetahui
tujuan perubahan konstitusi.
4. Mengetahui
tata urutan konstitusi di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perubahan
Konstitusi Awal Kemerdekaan Sampai Reformasi
1. UUD 1945 periode 18 Agustus 1945 –
27 Desember 1949
Pada
saat proklamasi kemerdekaan tanggal 17 agustus 1945, Negara Republik Indonesia
belum memiliki konstitusi atau UUD, namun sehari kemudian tepatnya, 18 Agustus
1945, Panitia Pesiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang pertama yang
salah satu keputusanya adalah mengesahkan UUD yang kemudian disebut UUD 1945.
Mengapa UUD 1945 tidak disahkan oleh MPR sebagaimana yang diatur dalam pasal 3
UUD 1945? sebab, saat itu MPR belum dibentuk.
Naskah
UUD yang disahkan oleh PPKI tersebut disertai penjelasanya dimuat dalam Berita
Rebuplik Indonesia No. 7 tahun II 1945 tersebut terdiri atas tiga bagian yaitu
Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan. Perlu dikemukakan bahwa Batang Tubuh
terdiri atas 16 bab yang terbagi menjadi 37 pasal, serta 4 Pasal Aturan
Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan.
Bagaimana
sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945 saat itu?
Ada
beberapa hal yang perlu kita ketahui antara lain tentang bentuk Negara,
kedaulatan, dan sistem pemerintahan.
Mengenai
bentuk Negara diatur dalam pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa
“Negara Indonesia adalah Negara kesatuan berbentuk republik”. Sebagai Negara
kesatuan, maka di Negara republik Indonesia hanya ada satu kekuasaan
pemerintahan Negara, yaitu di tanggan pemerintah pusat. Di sini tidak ada
pemerintah Negara bagian sebagiamana yang berlaku dinegara yang berbentuk
serikat (federasi). Sebagai Negara yang berbentuk republik, maka kepala Negara
dijabat oleh presiden. Presiden diangkat melalui suatu pemilihan, bukan
berdasarkan keturunan.
Mengenai
kedaulatan diatur dalam pasal 1 ayat (2) yang menyatakan “kedaulatan adalah
ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawatan Rakyat”
atas dasar itu, maka Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) adalah sebagai lembaga
tertinggi Negara. Kedudukan lembaga-lembaga tinggi Negara yang lain berada
dibawah MPR.
Mengenai
sistem pemerintahan Negara diatur dalam pasal 4 ayat (1) yang berbunyi
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar”. Pasal tersebut menunjukan bahwa sistem pemerintahan
menganut sistem presidensial. Dalam sistem ini, presiden selain sebagai kepala
Negara juga sebagai kepala pemerintahan. Menteri-menteri sebagai pelaksana
tugas pemerintahan adalah pembantu presiden yang bertanggung jawab kepada
presiden, bukan Kepala Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Perlu
kalian ketahui, lembaga tertinggi dalam lembaga-lembaga tinggi Negara menurut
UUD 1945 (sebelum amandemen) adalah:
a. Majelis
Permusyawatan Rakyat (MPR)
b. Presiden
c. Dewan
Perrtimbangan agung (DPA)
d. Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR)
e. Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK)
f. Mahkamah
Agung (MA)
2.
Periode
berlakunya Konstitusi RIS 1949
Perjalanan Negara baru Republik Indonesia tidak
luput dari rongrongan pihak Belanda yang menginginkan menjajah kembali
Indonesia. Belanda berusaha memecah-belah bangsa Indonesia dengan cara
membentuk negara “boneka” seperti Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia
Timur, Negara Pasundan, dan Negara Jawa Timur di dalam Negara Republik
Indonesia.
Bahkan Belanda kemudian melakukan agresi atau
pendudukan terhadap ibu kota Jakarta, yang dikenal dengan Agresi Militer I pada
tahun 1947 dan Agresi MIliter II atas kota Yogyakarta pada tahun 1948. Untuk
menyelesaikan pertikaian Belanda denga Republik Indonesia, Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) turun tangan dengan menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar
(KMB) di Den Haag (Belanda) tanggal 23 Agustus-2 November 1949. Konferensi ini
dihadiri oleh wakil-wakil dari rebuplik Indonesia, BFO yaitu gabungan dari
Negara-Negara boneka yang dibentuk oleh Belanda dan Belanda serta sebuah Komisi
PBB untuk Indonesia.
KMB tersebut menghasilkan tiga buah persetujuan
pokok yaitu :
1. Didirikan
Negara Republik Indonesia Serikat
2. Penyerahan
kedaulatan kepada republik Indonesia serikat dan
3. Didirikan
Uni antara RIS dengan Kerajaan Inggris
Perubaham
bentuk Negara dari Negara kesatuan menjadi Negara serikat mengharuskan adanya
pergantian UUD. Oleh karena itu, disusunlah naskah UUD Rebublik Indonesia
Serikat. Rencangan UUD tersebut oleh gelegasi RI dan delegasi BFO pada
Konferensi Meja Bundar.
Seteleh
kedua belah pihak menyetujui rancangan tersebut, maka mulai 27 desember 1949
diberlakuakan suatu UUND yang diberi nama Konstitusi Republik Indonesia
Serikat. Konstitusi tersebut terdiri diatas Mukadimah yang berisi 4 alenia,
Batang Tubuh yang berisi 6 bab dan 197
pasal, serta sebuah lampiran.
Mengenal
bentuk Negara dinyatakan dalam pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS yang berbunyi
“Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat adalah Negara hukum yang
demokratis dan bentuk federasi”. Dengan berubah menjadi Negara serikat, maka di
dalam RIS terdapat beberapa Negara bagian. Masing-masing memiliki kekuasaan
pemerintahan di wilayah Negara bagianya. Negara-Negara bagian itu adalah:
Negara republik Indonesia, Indonesia Timur, Pasundan, Jawa timur, Madura,
Sumatera Selatan. Selain itu terdapat pula satuan-satuan kenegaraan yang
berdiri sendiri, yaitu: Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat,
Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.
Selama
berlakunya Konstitusi RIS 1949, UUD 1945 tatap berlaku tetapi hanya untuk
Negara Republik Indonesia. Wilayah Negara bagian itu meliputi Jawa dan Sumatera
dengan ibu kota di Yogyakarta.
Sistem
pemerintahan yang digunakan pada masa berlakunya Konstitusi RIS adalah sistem
Parlementer. Hal itu sebagaimana diatur dalam pasal 118 ayat 1 dan 2 Konstitusi
RIS. Pada ayat (1) ditegaskan bahwa “Presiden tidak dapat diganggu gugat”.
Artinya, presiden tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tugas-tugas
pemerintahan. Sebab, Presiden adalah kepala Negara, tetapi bukan kepala
pemerintahan. Kalau demikian, siapakah yang menjalankan dan bertanggung jawab
atas tugas pemerintah? pada pasal 118 ayat (2) ditegaskan bahwa
“menteri-menteri bertangungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik
bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagianya
sendiri-sendiri”. Dengan demikian, yang melaksanakan dan mempertangungjawabkan
tugas-tugas pemerintahan adalah menteri-menteri. Dalam sistem ini, kepala
pemerintahan dijabat oleh Perdana Menteri. Lalu, kepada siapakah pemerintah
bertangungjawab kepada parlemen (DPR).
3.
Periode
Berlakunya UUDS 1950
Pada
awal mei 1950 terjadinya penggabungan Negara-Negara bagian dalam Negara RIS,
sehingga hanya tinggal tiga Negara bagian yaitu Negara Republik Indonesia,
Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur. Perkembangan berikutnya
adalah munculnya kesepakatan RIS yang mewakili Negara Indonesia Timur dan Sumatera Timur dengan republik
Indonesia untuk kembali kebentuk Kesatuan. Kesepakatan tersebut kemudian
dituangkan dalam Piagam Persetujuan tanggal 19 Mei 1950. Untuk mengubah Negara
serikat menjadi Negara kesatuan diperlukan suatu UUD Negara Kesatuan. UUD
tersebut akan diperoleh dengan cara memasukan isi UUD 1945 ditambah
bagian-bagian yang baik dari Konstitusi RIS.
Pada
tanggal 15 Agustus 1950 ditetapkan Undang-Undang Federal No.7 tahun 1950
tentang Undang-Undang dasar sementara (UUDS) 1950, yang berlaku sejak tabggal
17 agustur 1950. Dengan demikian, sejak tanggal tersebut Konstitusi RIS 1949
diganti dengan UUDS 1950. Dan terbentukalah kembali Negara Kesatuan republik
Indonesia. Undang-Undang dasar sementara 1950 terdiri atas Mukadimah, batang
tubuh, yang meliputi 6 bab dan 146 pasal.
Mengenai
dianutnya bentuk Negara kesatuan dinyatakan dalam pasal 1 ayat (10 UUDS 1950
yang berbunyi “Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu Negara
hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”.
Sistem
pemerintahan yang dianut pada masa berlakunya UUDS 1950 adalah sistem
pemerintahan Parlemanter. Dalam pasal 83 ayat (1) UUDS 1950 ditegaskan bahwa
“Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat”. Kemudian pada ayat
(2) disebutkan bahwa “Menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh
kebijaksanaan pemerintahan, baik bersama- sama untuk seluruhnya maupun
masing-masing untuk bagianya sendiri-sendiri’. Hal ini berarti yang
bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintahan adalah menteri
menteri. Menteri menteri tersebut bertanggungjawab kepada parlemen (DPR).
Perlu
kalian ketahui bahwa lembaga-lembaga Negara menurut UUDS 1950 adalah :
a. Presiden
dan wakil Presiden
b. Menteri
menteri
c. Dewan
Perwakialan Rakyat
d. Mahkamah
Agung
e. Dewan
Perwakilan Keuangan
Sesuai
dengan namanya, UUDS 1950 bersifat sementara. Sifat kesementaraan ini nampak dalam
rumusan pasal 134 yang menyatakan bahwa “Konstituante (Lembaga Pembuat UUD)
bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UUD Republik
Indonesia yang akan menggantikan UUDS ini”. Anggota Konstituante dipilh melalui
pemilihan umum bulan Desember 1955 dan diresmikan tanggal 10 November 1956 di
Bandung.
Sekalipun
kostituante telah bekerja kurang lebih selama dua setengah tahun, namun lembaga
ini masih belum berhasil menyelesaikan sebuan UUD. Faktor penyebab
ketidakberhasilan tersebut adalah adanya pertentangan pendapat di antara
partai-partai politik di badan konstituante dan juga di DPR serta badan-badan
pemerintahan.
Pada
tanggal 22 April 1959 Presiden Soekarno menyampaikan amanat yang berisi anjuran
untuk kembali ke UUD 1945. Pada dasarnya, saran untuk kembali pada UUD 1945
tersebut dapat diterima oleh para anggota Konstituante tetapi dengan pandangan
yang berbeda-beda. Oleh karena tidak memperoleh kata sepakat, maka diadakan
pemungutan suara. Sekalipun sudah diadakan tiga kali pemungutan suara, ternyata
jumlah suara yang mendukung anjuran presiden tersebut belum memenuhi
persyaratan yaitu 2/3 suara dari jumlah anggota yang hadir.
Atas
dasar tersebut demi untuk menyelematkan bangsa dan negara, pada tanggal 05 Juli
1959 Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit presiden yang isinya adalah:
1. Menetapkan
pembubaran konstituante
2. Menetapkan
berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUD 1950
3. Pembentukan
MPRS dan DPRS
Dengan
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka UUD 1945 berlaku kembali
sebagai landasan konstitusiona dalam menyelenggarakan pemerintahan Republik
Indonesia.
4.
UUD
1945 Periode 5 Juli 1959-19 Oktober 1999
Praktik
penyelenggaraan negara pada masa berlakunya UUD 1945 sejak 5 Juli 1959-19
Oktober 1999 ternyata mengalami berbagai pergeseran bahkan terjadinya beberapa
penyimpangan. Oleh karena itu, pelaksanaan UUD 1945 selama kurun waktu tersebut
dapat dipilah menjadi 2 periode yaitu periode orde lama (1959-1966), dan
periode orde baru (1966-1999).
Pada
masa pemerintahan orde lama, kehidupan politik dan pemerintahan sering terjadi
penyimpangan yang dilakukan oleh Presiden dan juga MPRS yang justru
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Artinya, pelaksanaan UUD 1945 pada
masa itu belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena
penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang presiden dan
lemahnya kontrol yang seharusnya dilakukan DPR terhadap kebijakan-kebijakan
presiden.
Selain
itu muncul pertentangan politik dan konflik lainnya yang berkepanjangan
sehingga situasi politik, keamanan dan kehidupan ekonomi semakin memburuk.
Puncak dari situasi tersebut adalah munculnya pemberontakan G-30-S/PKI yang
sangat membahayakan keselamatan bangsa dan negara.
Mengingat
keadaan semakin membahayakan, Ir.Soekarno selaku presiden RI memberikan
perintah kepada Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1966
(SUPERSEMAR) untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan bagi terjaminnya keamanan,
ketertiban, dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintah. Lahirnya
Supersemar tersebut dianggap sebagai awal masa orde baru.
Semboyan
orde baru pada masa itu adalah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen. Dilihat dari prinsip demokrasi, prinsip negara hukum, dan
keadilan sosial ternyata masih terdapat banyak hal yang jauh dari harapan.
Hampir sama dengan masa orde lama, sangat dominannya kekuasaan Presiden dan
lemahnya kontrol DPR terhadap kebijakan-kebijakan Presiden/Pemerintah.
Selain
itu, kelemahan tersebut terletak pada UUD 1945 itu sendiri, yang sifatnya
singkat dan luwes (fleksibel),
sehingga memungkinkan munculnya berbagai penyimpangan. Tuntutan untuk merubah
dan menyempurnakan UUD 1945 tidak memperoleh tanggapan, bahkan pemerintahan
orde baru bertekad untuk mempertahankan dan tidak merubah UUD 1945.
5. UUD 1945 Periode 19 Oktober 1999-
Sekarang
Seiring
dengan tuntutan reformasi dan setelah lengsernya Presiden Soeharto sebagai
penguasa orde baru, maka sejak tahun 1999 dilakukan perubahan (amandemen)
terhadap UUD 1945. UUD 1945 sudah mengalami empat tahap perubahan, yaitu pada
tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Penyebutan UUD setelah perubahan menjadi
lengkap, yaitu: Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Melalui
empat tahap perubahan tersebut, UUD 1945 telah mengalami perubahan yang cukup
mendasar. Perubahan itu menyangkut kelembagaan Negara, pemilihan umum,
pembatasan kekuasaan presiden dan wakil presiden, memperkuat kedudukan DPR,
pemerintahan daerah, dan ketentuan yang terinci tentang hak-hak asasi manusia.
Setelah perubahan UUD 1945, ada beberapa praktik ketatanegaraan yang melibatkan
rakyat secara langsung. Misalnya dalam pemilihan presiden dan wakil presiden,
dan pemilihan kepala daerah (Gubernur dan Bupati/ Walikota). Hal-hal tersebut
tentu lebih mempertegas prinsip kedaulatan rakyat yang dianut Negara kita.
Lembaga-lembaga
Negara menurut UUD 1945 sesudah amandemen adalah:
a. Presiden
b. Majelis
Permusyawaratan Rakyat
c. Dewan
Perwakilan Rakyat
d. Dewan
Perwakilan Daerah
e. Badan
Pemeriksa Keuangan
f. Mahkamah
Agung
g. Mahkamah
Konstitusi
h.
Komisi Yudisial
B.
Metode
Perubahan Konstitusi
Pembaharuan
konstitusi dimanapun didunia ini terutama tidak ditentukan oleh tata catra
resmi (formal) yang harus dilalui. Tata cara formal (fleksibel) tidak serta
merta memudahkan terjadinya perubahan UUD. Begitu pula sebaliknya, tata cara
formal yang dipersukar (rigid) tidak berarti perubahan UUD
tidak akan atau akan jarang terjadi. Faktor utama yang menentukan perubahan UUD
adalah berbagai (pembaharuan) keadaan dimasyarakat. Dorongan demokratisasi,
pelaksanaan paham negara kesejahteraan (welfare state), perubahan
pola dan sistem ekonomi akibat industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi dapat menjadi kekuatan (forces) pendorong
pembaharuan.
Jadi,
masyarakatlah yang menjadi pendorong utama pembaharuan UUD. Demikian pula
peranan UUD itu sendiri. Hanya masyarakat yang berkehendak dan mempunyai
tradisi menghormati dan menjunjung tinggi UUD (konstitusi pada umumnya), yang
akan menentukan UUD tersebut akan dijalankan sebagaimana mestinya. KC Wheare
pernah mengingatkan, mengapa konstitusi perlu ditentukan pada kedudukan yang
tinggi (supreme), supaya ada semacam jaminan bahwa konstitusi itu
akan diperhatikan dan ditaati dan menjamin agar konstitusi itu akan
diperhatikan dan ditaati dan menjamin agar konstitusi tidak akan dirusak dan
diubah begitu saja secara sembarangan. Perubahannya harus dilakukan secara
hikmat, penuh sungguhan, dan pertimbangan yang mendalam.Sasaran yang ingin
diraih dengan jalan mempersulit perubahan konstitusi antara lain:
a.
Agar
perubahan konstitusi dilakukan dengan pertimbangan yang masak, tidak
sembarangan dengan sadar (dikehendaki);
b.
Agar
rakyat mendapat kesempatan untuk menyampaikan pandangannya sebelum perubahan
dilakukan.
UUD
yang baik selalu menentukan sendiri prosedur perubahan atas dirinya sendiri.
Perubahan yang dilakukan di luar prosedur yang ditentukan itu bukanlah
perubahan yang dapat dibenarkan secara hukum (verfassung anderung).
Inilah prinsip negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) dan
prinsip negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitutional
democracy) yang dicita-citakan oleh para pendiri republik ini. Di luar
itu, namanya bukan 'rechtsstaat', melainkan 'machtsstaat'
yang hanya menjadikan perimbangan 'revolusi politik' sebagai
landasan pembenar yang bersifat ‘post factum’ terhadap perubahan
dan pemberlakuan suatu konstitusi.
Menurut
Sri Soemantri, apabila dipelajari secara detail mengenai sistem perubahan konstitusi
di berbagai negara, paling tidak ada dua sistem yang sedang berkembang, yaitu
RENEWEL (Pembaharuan) dianut di negara-negara Eropa Kontinental dan AMANDEMENT
(Perubahan) seperti dianut di negara-negara Anglo Saxon. Sistem yang pertama
ialah, apabila suatu konstitusi dilakukan perubahan (dalam arti diadakan
pembaharuan), maka yang diberlakukan adalah konstitusi yang baru secara
keseluruhan. Di antara negara yang menganut sistem ini misalnya Belanda,
Jerman, dan Prancis. Sistem yang kedua ialah, apabila suatu konstitusi diubah
(diamandemen), konstitusi yang asli tetap berlaku. Dengan kata lain, hasil
amandemen tersebut merupakan bagian atau dilampirkan dalam konstitusinya.
Sistem ini dianut oleh negara Amerika Serikat.
Menurut
Wheare, perubahan UUD akibat dorongan kekuatan (forces) yang
terjadi dapat berbentuk; pertama, kekuatan-kekuatan yang kemudian melahirkan
perubahan keadaan(circumstances) tanpa mengakibatkan perubahan
bunyi yang tertulis dalam UUD, melainkan terjadi perubahan makna. Suatu ketentuan
UUD diberi makna baru tanpa mengubah bunyinya. Kedua, kekuatan-kekuatan yang
melahirkan keadaan baru itu mendorong perubahan atas ketentuan UUD, baik
melalui perubahan formal, putusan hakim, hukum adat, maupun konvensi.
Ada
hal-hal prinsp yang harus diperhatikan dalam perubahan UUD. Menurut Bagir
Manan, perubahan UUD berhubungan dengan perumusan kaidah konstitusi sebagai
kaidah hukum negara tertinggi. Dalam hal ini, terlepas dari beberapa kebutuhan
mendesak, perlu kehati-hatian, baik mengenai materi muatan maupun cara-cara
perumusan. Memang benar penataan kembali UUD 1945 untuk menjamin pelaksanaan
konstitusionalisme dan menampung dinamika baru di bidang politik, ekonomi,
sosial, dan lainnya. Namun, jangan sekali-kali perubahan itu semata-mata dijadikan
dasar dan tempat menampung berbagai realitas kekuatan politik yang berbeda dan
sedan bersaing dalam SU MPR. Juga berhati-hati dengan cara-cara merumuskan
kaidah UUD. Selain harus mudah dipahami(zakelijk), juga menghindari
kompromi bahasa yang dapat menimbulkan multitafsir yang dapat disalahgunakan
dikemudian hari.
Sri
Soemantri menegaskan, dalam mengubah UUD harus ditetapkan dulu alasan dan
tujuannya. Jika hal itu sudah disepakati, baru dapat dipikirkan langkah
selanjutnya berdasarkan alasan dan tujuan perubahan itu. Misalnya, Selam ini
UUD terkesan terlalu beriorentasi pada eksekutif. Oleh karena itu,
ditentukanlah bahwa tujuan dari perubahan UUD adalah untuk membatasi eksekutif.
Kemudian apa yang dilakukan untuk membatasi kekuasaan eksekutif? Itu harus dipikirkan
masak-masak. Misalnya, kontrol terhadap eksekutif hanya diperkuat. Itu berarti
kedudukan legislatif mesti diperkuat. Jadi, kita harus kembali pada alasan dan
tujuan dari perubahan itu. Misalnya, tujuannya adalah mewujudkan negara
demokrasi, maka kita harus berbicara dengan mengenai sistem pemerintahan.
Menurut
tradisi Amerika Serikat, perubahan dilakukan terhadap meteri tertentu dengan
menetapkan naskah Amandemen yang terpisah dari naskah asli UUD, sedangkan
menurut tradisi Eropa perubahan dilakukan langsung dalam teks UUD, jika
perubahan itu menyangkut materi tertentu, tentulah naskah UUD asli itu tidak
banyak mengalami perubahan. Akan tetapi, jika materi yang diubah terbilang
banyak dan apalagi isinya sangat mendasar, biasanya naskah UUD itu disebut
dengan nama baru sama sekali. Dalam hal demikian, perubahan identik dengan
penggantian. Namun, dalam tradisi Amandemen Konstitusi Amerika Serikat, materi
yang diubah biasanya selalu menyangkut satu "issue" tertentu.
Landasan
teoritis melakukan perubahan UUD 1945 dalam bentuk putusan "Perubahan
UUD" adalah menjadikan konstitusi bersifat normative-closed sehingga
perubahan tidak lagi dilakukan oleh MPR dengan ketetapan MPR. MPR tidak
dibenarkan mengembangkan kewenangannya melalui putusan nonamandemen, karena
dengan demikian secara teoritis akan menempatkan konstitusi bersifat normative-open.
Menjadikan UUD 1945 bersifatnormative-closed membawa implikasi
terhadap eksistensi MPR, yaitu MPR harus patuh terhadap UUD 1945.Amandemn
sebagai bentuk hukum perubahan UUD mempunyai kedudukan sederajat dan merupakan
bagian tak terpisahkan dari UUD. Kebaikan bentuk hukum amandemen atau perubahan
ada kesinambungan historis dengan UUD asli (sebelum perubahan). Amandemen atau
perubahan merupakan suatu bentuk hukum, bukan sekedar prosedur. Inilah
perubahan UUD 1945 yang disebut "perubahan pertama". Tidak perlu
semua anggota MPR menandatangani naskah perubahan. Cukup suatu berita acara
yang menerangkan penyelanggaraan perubahan sesuai dengan tata cara yang diatur
dalam UUD dan naskah perubahan disertakan pada berita acara, termasuk daftar
hadir dan sebagainya.
C.
Hasil
Perubahan Konstitusi Terhadap UUD 1945
Perubahan terhadap UUD 1945 dilakukan
secara bertahap karena mendahulukan pasal-pasal yang disepakati oleh semua fraksi
di MPR, kemudian dilanjutkan dengan perubahan terhadap pasal-pasal yang lebih
sulit memperoleh kesepakatan. Perubahan terhadap UUD 1945 dilakukan sebanyak
empat kali melalui mekanisme sidang MPR yaitu:
a.
Sidang Umum MPR 1999 tanggal 14-21
Oktober 1999
b.
Sidang Tahunan MPR 2000 tanggal 7-18
Agustus 2000
c.
Sidang Tahunan MPR 2001 tanggal 1-9
November 2001
d.
Sidang Tahunan MPR 2002 tanggal 1-11
Agustus 2002
Perubahan UUD Negara RI 1945 dimaksudkan
untuk menyempurnakan UUD itu sendiri bukan untuk mengganti. Secara umum hasil
perubahan yang dilakukan secara bertahap MPR adalah sebagai berikut.
1.
Perubahan
Pertama
Perubahan pertama terhadap UUD 1945
ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999 dapat dikatakan sebagai tonggak sejarah
yang berhasil mematahkan semangat yang cenderung mensakralkan atau menjadikan
UUD 1945 sebagai sesuatu yang suci yang tidak boleh disentuh oleh ide
perubahan. Perubahan pertama terhadap UUD 1945 meliputi 9 pasal, 16 ayat,
yaitu:
Pasal
yang diubah
|
Isi
Perubahan
|
·
5 ayat 1
·
Pasal 7
·
Pasal 9 ayat 1 dan 2
·
Pasal 13 ayat 2 dan 3
·
Pasal 14 ayat 1
·
Pasal 14 ayat 2
·
Pasal 15
·
Pasal 17 ayat 2 dan 3
·
Pasal 20 ayat 1-4
·
Pasal 21
|
·
Hak presiden untuk mengajukan RUU kepada DPR
·
Pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil
Presiden
·
Sumpah Presiden dan Wakil Presiden
·
Pengangkatan dan penempatan Duta
·
Pemberian grasi dan rehabilitasi
·
Pemberian amnesty dan abolisi
·
Pemberian gelar, tanda jasa dan kehormatan lain
·
Pengangkatan menteri
·
DPR
·
Hak DPR untuk mengajukan RUU
|
2.
Perubahan
Kedua
Perubahan kedua ditetapkan pada
tanggal 18 Agustus 2000, meliputi 27 pasal yang tersebar dalam 7 Bab, yaitu:
Bab
yang diubah
|
Isi
Perubahan
|
·
Bab VI
·
Bab VII
·
Bab IXA
·
Bab X
·
Bab XA
·
Bab XII
·
Bab XV
|
·
Pemerintahan Daerah
·
Dewan Perwakilan Daerah
·
Wilayah Negara
·
Warga Negara dan Penduduk
·
Hak Asasi Manusia
·
Pertahanan dan Keamanan
·
Bendera, bahasa, lambang negara serta lagu
kebangsaan
|
3.
Perubahan
Ketiga
Perubahan ketiga ditetapkan pada
tanggal 9 November 2001, meliputi 23 pasal yang tersebar 7 Bab, yaitu:
Bab
yang diubah
|
Isi
Perubahan
|
·
Bab I
·
Bab II
·
Bab III
·
Bab V
·
Bab VIIA
·
Bab VIIB
·
Bab VIIIA
|
·
Bentuk dan kedaulatan
·
MPR
·
Kekuasaan Pemerintahan Negara
·
Kementerian Negara
·
DPR
·
Pemilihan Umum
·
BPK
|
4.
Perubahan
Keempat
Perubahan keempat ditetapkan 10
Agustus 2002, meliputi 19 pasal yang terdiri atas 31 butir ketentuan serta 1
butir yang dihapuskan. Dalam naskah perubahan keempat ini ditetapkan bahwa:
a.
UUD 1945 sebagaimana telah diubah dengan
perubahan pertama, kedua, ketiga, dan keempat adalah UUD 1945 yang ditetapkan
pada tanggal 18 Agustus 1945 da diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden 5
Juli 1959.
b.
Perubahan tersebut diputuskan dalam
rapat Paripurna MPR RI ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan MPR RI dan
mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
c.
Bab IV tentang “Dewan Pertimbangan
Agung” dihapuskan dan pengubahan substansi pasal 16 serta penempatannya kedalam
Bab III tentang “Kekuasaan Pemerintahan Negara”.
D.
Tata
Urutan Perundang-Undangan
Sejak Indonesia merdeka tanggal 17
Agustus 1945 ada beberapa peraturan yang mengalami tata urutan
perundang-undangan yaitu:
1.
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1996 tentang
memorandum DPR-GR mengatur sumber tertib hukum Republik Indonesia
2.
Pada era reformasi, MPR telah
mengeluarkan produk hukum yang berupa ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang
sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan.
3.
Pada tahun 2004 melalui UU RI No. 10
tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Lahirnya UU RI Nomor 10 Tahun 2004 tidak
terlepas dari tuntutan reformasi di bidang Hukum. MPR pada Tahun 2003 telah
mengeluarkan ketetapan Nomor 1/MPR/2003 tentang peninjauan kembali terhadap
materi dan status hukum. Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan
Tahun 2002. Berdasarkan ketentuan pasal 6 ayat 19 ketetapan MPR No. I/ MPR/2003
maka status dan kedudukan ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 digolongkan pada
ketetapan MPRS yang tidak perlu diwakilkan tindakan hkum lebih lanjut.
Sedangkan ketetapan MPR No. III/MPR/2000 adalah tergolong ketetapan MPR yang
tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang (sebagaimana dinyatakan
dalam pasal 4 ayat (4)).
Pada tahun 2004 lahir undang-undang
nomor 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-Undangan, didalam
UU pasal 7 ayat (1) undang-undang tersebut dicantumkan mengenai jenis dan
hirarki peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian maka TAP MPR
No.III/MPR/2000 otomatis dinyatakan tidak berlaku. Rumusan pasal 7 ayat (1)
undang-undang nomor 10 tahun 2004 sebagai berikut:
1.
Jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
a. Undang-Undang
Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.
b. Undang-Undang/
Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (PERPU).
c. Peraturan
pemerintah.
d. Peraturan
Presiden.
e. Peraturan
Daerah (Perda).
2.
Peraturan daerah sebagai mana dimaksud
pada ayat (1) huruf e meliputi:
a. Peraturan
daerah provinsi dibuat oleh DPRD provinsi bersama dengan gubernur.
b. Peraturan
daerah kabupaten/ kota dibuat oleh DPRD kabupaten/ kota bersama bupati/
walikota.
c. Peraturan
daerah/ peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama
lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
3.
Ketentuan mengenai tata cara pembuatan
peraturan desa/ peraturan yang setingkat di atur oleh peraturan daerah/
kabupaten/ kota yang bersangkutan.
4.
Jenis peraturan perundang-undangan
selain sebagaimana di maksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
5.
Kekuatan hukum peraturan
perundang-undangan adalah sesuai dengan hirarki sebagaimana di maksud pada ayat
(1).
Untuk lebih memahami tata urutan
peraturan perundang-undangan sebagai mana di atur pada pasal 7 ayat (1) UU RI
No. 10 tahun 2004 cermati uraian berikut:
1.
Undang-undang dasar 1945
Undang-undang
dasar 1945 merupakan hukum dasar yang tertulis Negara republic Indonesia dan
berfungsi sebagai sumber hukum tertinggi. L.J.
van Apeldoorn menyatakan undang-undang dasar adalah bagian tertulis dari
suatu konstitusi sedangkan E.C.S. Wade menyatakan undang-undang dasar adalah
naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dan badan-badan
pemerintahan suatu Negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan
tersebut.
Miriam
Budiardjo menyatakan bahwa undang-undang dasar memuat ketentuan-ketentuan
mengenai organisasi Negara, hak-hak asasi manusia, prosedur mengubah UUD, dan
memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undang-undang dasar.
Ditetapkan
undang-undang dasar 1945 sebagai konstitusi Negara republic Indonesia
merupakan:
a. Bentuk
konsekuensi dikumandangkannya kemerdekaan yang menandai berdirinya suatu Negara
baru.
b. Wujud
kemandirian suatu Negara yang tertib dan teratur.
c. Mengisi
dan mempertahankan kemerdekaan.
Undang-undang dasar pada umumnya
berisi hal-hal sebagai berikut:
a. Organisasi
Negara artinya mengatur lembaga-lembaga apa saja yang ada dalam suatu Negara
dengan pembagian kekuasaan masing-masing
serta prosedur penyelesaian maslaha yang timbul di antara lembaga tersebut.
b. Hak-hak
asasi manusia.
c. Prosedur
mengubah undang-undang dasar.
d. Memuat
larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undang-undang dasar, seperti tidak
muncul kembali seorang dictator atau pemerintahan kerajaan yang kejam.
e. Memuat
cita-cita rakyat dan asas-asas ideologi Negara.
Dalam
tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut Miriam Budiardjo
undang-undang dasar 1945 mempunyai kedudukan yang istimewa dibandingkan dengan
undang-undang lainnya, hal ini di karenakan:
a. UUD
dibentuk menurut suatu cara istimewa yang berbeda dengan pembentukan UU biasa.
b. UUD
dibuat secara istimewa untuk itu dianggap suatu yang luhur.
c. UUD
adalah piagam yang menyatakan cita-cita bangsa Indonesia dan merupakan dasar
organisasi kenegaraan suatu Negara.
d. UUD
memuat garis besar tentang dasar dan tujuan Negara.
Sejak
era reformasi UUD 1945 telah mengalami perubahan yang dilakukan melalui sidang
tahunan MPR. Perubahan pertama pada tanggal 12 oktober 1999, perubahan kedua
pada tanggal 18 agustus 2000, perubahan ketiga pada tanggal 9 november dan
perubahan keempat pada tanggal 10 agustus 2002.
Perubahan-perubahan
tersebut dilakukan dalam upaya menjawab tuntutan reformasi di bidang politik
dan atau ketatanegaraan. Konsekuensi perubahan terhadap UUD 1945 berubahnya
struktur kelembagaan, baik dilihat dari fungsi maupun kedudukannya. Ada lembaga
Negara yang dihilangkan, ada juga lembaga Negara yang baru. Lembaga yang
dihilangkan adalah Dewan Pertimbangan Agung, lembaga yang baru diantaranya
Komisi Yudisial dan Mahkamal Konstitusi.
2.
Undang-Undang
Undang-undang
merupakan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan UUD 1945. Lembaga
yang berwenang membuat UU adalah DPR bersama presiden. Adapun kriteria agar
suatu permasalahan di atur melalui undang-undang antara lain adalah:
a. UU
dibentuk atas perintah ketentuan UU 1945.
b. UU
dibentuk atas perintah ketentuan UU terdahulu.
c. UU
dibentuk dalam rangka mencabut, mengubah, dan menambah undang-undang yang sudah
ada.
d. UU
dibentuk karena berkaitan hak asasi manusia.
e. UU
dibentuk karena berkaitan denga kewajiban atau kepentingan orang banyak.
Adapun
prosedur pembuatan undang-undang adalah sebagai berikut:
a. DPR
memegang kekuasaan membentuk UU.
b. Setiap
RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
c. RUU
dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD.
DPD
dapat mengajukan kepada DPR, RUU yang berkaitan dengan:
a. Otonomi
daerah.
b. Hubungan
pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah.
c. Pengelolaan
SDA.
d. Sunber
daya ekonomi lainnya.
e. Yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
3.
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (PERPU)
Peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (PERPU) dibentuk oleh presiden tanpa
terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR. PERPU dibuat dalam keadaan “darurat”
atau mendesak karena permasalahan yang muncul harus segera ditindak lanjuti.
Setelah diberlakukan perpu tersebut harus diajukan ke DPR untuk mendapatkan
persetujuan.
4.
Peraturan Pemerintah
Untuk
melaksanakan suatu undang-undang, dikeluarkan peraturan pemerintah. Peraturan
pemerintah dibuat untuk melaksanakan undang-undang. Criteria pembentukan
peraturan pemerintah adalah sebagai berikut:
a. Peraturan
pemerintah tidak dapat dibentuk tanpa adanya UU induknya. Setiap pembentukan
peraturan pemerintah harus berdasarkan undang-undang yang telah ada. Contoh
untuk melaksanakan undang-undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dibentuk peraturan pemerintah no. 19 tahun 2005 tentang standar
nasional pendidikan.
b. Peraturan
pemerintah tidak dapat mencantumkan sanksi pidana, jika UU induknya tidak
mencantumkan sanksi pidana. Yang di atur dalam peraturan pemerintah harus
merupakan rincihan atau penjabaran lebih lanjut dari UU induknya, jadi ketika
dalam undang-undang itu tidak di atur masalah sanksi pidana, maka peraturan
pemerintahnya pun tidak boleh memuat sanksi pidana.
c. Peraturan
pemerintah tidak dapat memperluas atau mengurangi ketentuan UU induknya. Isi
atau materi peraturan pemrintah hanya mengatur lebih rinci apa yang telah di
atur dalam UU indunya.
d. Peraturan
pemerintah dapat di bentuk meskipun UU yang bersangkutan tidak menyebutkan
secara tegas, asal peraturan pemerintah tersebut untuk meaksanakan UU.
Dibentuknya
peraturan pemerintah untuk melaksanakan UU yang telah dibentuk. Sekalipun dalam
undang-undang tersebut tidak sevara eksplisit mengharuskan dibentuknya suatu
peraturan pemerintah.
5.
Peraturan Presiden
Peraturan
presiden adalah peraturan yang dibuat oleh presiden dalam menyelenggarakan
pemerintahan Negara sebagai atribut dari pasal 4 ayat (1) UUD RI tahun 1945.
Peraturan pemerintah dibentuk untuk menyelenggarakan peraturan lebih lanjut
perintah UU atau peraturan pemerintah baik secara tegas maupun tidak tegas
diperintahkan pembentukannya.
6.
Peraturan Daerah
Peraturan
daerah adalah peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan
Kabupaten atau Kota, untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dan dalam rangka melaksanakan kebutuhan daerah. Oleh karena itu dalam
pembuatan peraturan daerah harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Materi
peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Konstitusi
atau Undang-Undang Dasar adalah seperangkat aturan dasar suatu negara
mempungyai fungsi yang sangat penting dalam suatu negara. Penyelenggaraan
pemerintahan negara harus didasarkan pada konstisusi.
2. Perubahan
konstistusi merupakan merupakan hal yang penting, amandemen perubahan UUD RI
1945 merupakan salah satu agenda reformasi untuk menciptakan kehidupan yang
lebih baik.
3. Metode
perubahan konstitusi ada dua cara yaitu dengan cara rigid dan fleksibel.
4. Perubahan
konstitusi terhadap UUD RI 1945 melalui empat amandemen yang saling berhubungan
dengan cara perubahan adendum.
B.
Saran
1. Sebagai
generasi muda kita harus mengetahui serta mampu berpikir kritis terhadap
konstitusi yang berlaku di negara kita ini. Karena konstitusi memiliki arti
penting terhadap bagi negara kita.
2. Sebagai
generasi yang berintelektual tinggi, kita harus peka terhadap metode serta cara
perubahan terhadap konstitusi agar tidak terjadi lagi penyimpanagn terhadap
konstitusi.