KKL PPKn FKIP-Unila

Rombongan KKL angkatan 2011 PPKn FKIP-Unila

Tim Footsal Civic Education angkatan 2011 FKIP-Unila

Foto saat pembagian hadiah, juara kedua Liga PKn Internal FKIP-Unila

Tim Footsal Civic Education angkatan 2011 FKIP-Unila

Foto bersama saat sebelum latihan di Lampung Footsal, Lampung-Indonesia

Candi Borobudur

Aan riesaan saat berkunjung di Candi Borobudur pada KKL angkatan 2011 PPKn FKIP-Unila

Jumat, 03 Mei 2013

Perubahan Konstitusi


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Pada  perkuliahan Teori Hukum Konstitusi, kita telah mengetahui fungsi konstitusi pada suatu Negara sangat penting. Kontitusi merupakan sumber hukum yang menjadi pokok aturan dan dasar jalannya pemerintahan  suatu  Negara. Bukan hanya di Negara kita, di Negara yang sudah berdaulat pasti memiliki konstitusi. Reformasi politik dan ekonomi yang bersifat menyeluruh tidak mungkin dilakukan tanpa diiringi oleh reformasi hukum. Namun reformasi hukum yang menyeluruh juga tidak mungkin dilakukan tanpa didasari oleh agenda reformasi ketatanegaraan yang mendasar, dan itu berarti diperlukan adanya constitutional reform yang tidak setengah hati.

Perubahan konstitusi dipengaruhi oleh seberapa besar badan yang diberikan otoritas melakukan perubahan memahami tuntutan perubahan dan seberapa jauh kemauan anggota badan itu melakukan perubahan. Perubahan konstitusi tidak hanya bergantung pada norma perubahan, tetapi lebih ditentukan oleh kelompok elite politik yang memengang suara mayoritas di lembaga yang mempunyai kewenangan melakukan perubahan konstitusi. Lembaga yang mempunyai kewenangan melakukan perubahan harus berhasil membaca arah perubahan yang dikendaki oleh masyarakat yang diatur secara kenegaraan.

Perubahan konstitusi harus didasarkan pada paradigma perubahan agar perubahan terarah sesuai dengan kebutuhan yang berkembang di masyarakat. Paradigma ini digali dari kelemahan sistem bangunan konstitusi lama, dan dengan argumentasi diciptakan landasan agar dapat menghasilkan sistem yang menjamin stabilitas pemerintahan dan memajukan kesejahteraan rakyat. Paradigma ini mencakup nilai-nilai dan prinsip-prinsip penting dan mendasar atau jiwa(gheist) perubahan konstitusi. Nilai dan prinsip itu dapat digunakan untuk menyusun telaah kritis terhadap konstitusi lama dan sekaligus menjadi dasar bagi perubahan konstitusi atau penyusunan konstitusi baru.

Di samping persoalan paradigma dalam perubahan konstitusi, juga perlu diperhatikan aspek teoritik dalam perubahan konstitusi yang akan mencakup masalah prosedur perubahan, mekanisme yang dilakukan, sistem perubahan yang dianut, dan substansi yang akan diubah. Setiap konstitusi tertulis lazimnya selalu memuat adanya klausul perubahan di dalam naskahnya, sebab betapapun selalu disadari akan ketidaksempurnaan hasil pekerjaan manusia membuat dan menyusun UUD. Selain itu, konstitusi sebagai acuan utama dalam pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan suatu kontrak sosial yang merefleksikan hubungan-hubunganan kepentingan dari seluruh komponen bangsa dan sifatnya sangat dinamis. Dengan demikian, konstitusi memerlukan peremajaan secara periodik karena dinamika lingkungan global akan secara langsung atau tidak langsung menimbulkan pergeseran aspirasi masyarakat.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perubahan konstitusi di Indonesia?
2.      Bagaimna metode perubahan konstitusi?
3.      Bagaimana hasil perubahan terhadap UUD RI 1945?
4.      Bagaimana tata urutan konstitusi di Indonesia?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui perubahan konstitusi dari awal kemerdekaan sampai reformasi.
2.      Mengetahui metode perubahan konstitusi.
3.      Mengetahui tujuan perubahan konstitusi.
4.      Mengetahui tata urutan konstitusi di Indonesia. 








BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perubahan Konstitusi Awal Kemerdekaan Sampai Reformasi
1.      UUD 1945 periode 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949
Pada saat proklamasi kemerdekaan tanggal 17 agustus 1945, Negara Republik Indonesia belum memiliki konstitusi atau UUD, namun sehari kemudian tepatnya, 18 Agustus 1945, Panitia Pesiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang pertama yang salah satu keputusanya adalah mengesahkan UUD yang kemudian disebut UUD 1945. Mengapa UUD 1945 tidak disahkan oleh MPR sebagaimana yang diatur dalam pasal 3 UUD 1945? sebab, saat itu MPR belum dibentuk.

Naskah UUD yang disahkan oleh PPKI tersebut disertai penjelasanya dimuat dalam Berita Rebuplik Indonesia No. 7 tahun II 1945 tersebut terdiri atas tiga bagian yaitu Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan. Perlu dikemukakan bahwa Batang Tubuh terdiri atas 16 bab yang terbagi menjadi 37 pasal, serta 4 Pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan.

Bagaimana sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945 saat itu?
Ada beberapa hal yang perlu kita ketahui antara lain tentang bentuk Negara, kedaulatan, dan sistem pemerintahan.

Mengenai bentuk Negara diatur dalam pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara kesatuan berbentuk republik”. Sebagai Negara kesatuan, maka di Negara republik Indonesia hanya ada satu kekuasaan pemerintahan Negara, yaitu di tanggan pemerintah pusat. Di sini tidak ada pemerintah Negara bagian sebagiamana yang berlaku dinegara yang berbentuk serikat (federasi). Sebagai Negara yang berbentuk republik, maka kepala Negara dijabat oleh presiden. Presiden diangkat melalui suatu pemilihan, bukan berdasarkan keturunan.

Mengenai kedaulatan diatur dalam pasal 1 ayat (2) yang menyatakan “kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawatan Rakyat” atas dasar itu, maka Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) adalah sebagai lembaga tertinggi Negara. Kedudukan lembaga-lembaga tinggi Negara yang lain berada dibawah MPR.

Mengenai sistem pemerintahan Negara diatur dalam pasal 4 ayat (1) yang berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Pasal tersebut menunjukan bahwa sistem pemerintahan menganut sistem presidensial. Dalam sistem ini, presiden selain sebagai kepala Negara juga sebagai kepala pemerintahan. Menteri-menteri sebagai pelaksana tugas pemerintahan adalah pembantu presiden yang bertanggung jawab kepada presiden, bukan Kepala Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Perlu kalian ketahui, lembaga tertinggi dalam lembaga-lembaga tinggi Negara menurut UUD 1945 (sebelum amandemen) adalah:
a.       Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR)
b.      Presiden
c.       Dewan Perrtimbangan agung (DPA)
d.      Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
e.       Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
f.       Mahkamah Agung (MA)

2.      Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949
Perjalanan Negara baru Republik Indonesia tidak luput dari rongrongan pihak Belanda yang menginginkan menjajah kembali Indonesia. Belanda berusaha memecah-belah bangsa Indonesia dengan cara membentuk negara “boneka” seperti Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, dan Negara Jawa Timur di dalam Negara Republik Indonesia.

Bahkan Belanda kemudian melakukan agresi atau pendudukan terhadap ibu kota Jakarta, yang dikenal dengan Agresi Militer I pada tahun 1947 dan Agresi MIliter II atas kota Yogyakarta pada tahun 1948. Untuk menyelesaikan pertikaian Belanda denga Republik Indonesia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turun tangan dengan menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag (Belanda) tanggal 23 Agustus-2 November 1949. Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari rebuplik Indonesia, BFO yaitu gabungan dari Negara-Negara boneka yang dibentuk oleh Belanda dan Belanda serta sebuah Komisi PBB untuk Indonesia.

KMB tersebut menghasilkan tiga buah persetujuan pokok yaitu :
1.      Didirikan Negara Republik Indonesia Serikat
2.      Penyerahan kedaulatan kepada republik Indonesia serikat dan
3.      Didirikan Uni antara RIS dengan Kerajaan Inggris

Perubaham bentuk Negara dari Negara kesatuan menjadi Negara serikat mengharuskan adanya pergantian UUD. Oleh karena itu, disusunlah naskah UUD Rebublik Indonesia Serikat. Rencangan UUD tersebut oleh gelegasi RI dan delegasi BFO pada Konferensi Meja Bundar.

Seteleh kedua belah pihak menyetujui rancangan tersebut, maka mulai 27 desember 1949 diberlakuakan suatu UUND yang diberi nama Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Konstitusi tersebut terdiri diatas Mukadimah yang berisi 4 alenia, Batang Tubuh yang berisi  6 bab dan 197 pasal, serta sebuah lampiran.

Mengenal bentuk Negara dinyatakan dalam pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS yang berbunyi “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat adalah Negara hukum yang demokratis dan bentuk federasi”. Dengan berubah menjadi Negara serikat, maka di dalam RIS terdapat beberapa Negara bagian. Masing-masing memiliki kekuasaan pemerintahan di wilayah Negara bagianya. Negara-Negara bagian itu adalah: Negara republik Indonesia, Indonesia Timur, Pasundan, Jawa timur, Madura, Sumatera Selatan. Selain itu terdapat pula satuan-satuan kenegaraan yang berdiri sendiri, yaitu: Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.
Selama berlakunya Konstitusi RIS 1949, UUD 1945 tatap berlaku tetapi hanya untuk Negara Republik Indonesia. Wilayah Negara bagian itu meliputi Jawa dan Sumatera dengan ibu kota di Yogyakarta.

Sistem pemerintahan yang digunakan pada masa berlakunya Konstitusi RIS adalah sistem Parlementer. Hal itu sebagaimana diatur dalam pasal 118 ayat 1 dan 2 Konstitusi RIS. Pada ayat (1) ditegaskan bahwa “Presiden tidak dapat diganggu gugat”. Artinya, presiden tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tugas-tugas pemerintahan. Sebab, Presiden adalah kepala Negara, tetapi bukan kepala pemerintahan. Kalau demikian, siapakah yang menjalankan dan bertanggung jawab atas tugas pemerintah? pada pasal 118 ayat (2) ditegaskan bahwa “menteri-menteri bertangungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagianya sendiri-sendiri”. Dengan demikian, yang melaksanakan dan mempertangungjawabkan tugas-tugas pemerintahan adalah menteri-menteri. Dalam sistem ini, kepala pemerintahan dijabat oleh Perdana Menteri. Lalu, kepada siapakah pemerintah bertangungjawab kepada parlemen (DPR).

3.      Periode Berlakunya UUDS 1950
Pada awal mei 1950 terjadinya penggabungan Negara-Negara bagian dalam Negara RIS, sehingga hanya tinggal tiga Negara bagian yaitu Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur. Perkembangan berikutnya adalah munculnya kesepakatan RIS yang mewakili Negara Indonesia  Timur dan Sumatera Timur dengan republik Indonesia untuk kembali kebentuk Kesatuan. Kesepakatan tersebut kemudian dituangkan dalam Piagam Persetujuan tanggal 19 Mei 1950. Untuk mengubah Negara serikat menjadi Negara kesatuan diperlukan suatu UUD Negara Kesatuan. UUD tersebut akan diperoleh dengan cara memasukan isi UUD 1945 ditambah bagian-bagian yang baik dari Konstitusi RIS.

Pada tanggal 15 Agustus 1950 ditetapkan Undang-Undang Federal No.7 tahun 1950 tentang Undang-Undang dasar sementara (UUDS) 1950, yang berlaku sejak tabggal 17 agustur 1950. Dengan demikian, sejak tanggal tersebut Konstitusi RIS 1949 diganti dengan UUDS 1950. Dan terbentukalah kembali Negara Kesatuan republik Indonesia. Undang-Undang dasar sementara 1950 terdiri atas Mukadimah, batang tubuh, yang meliputi 6 bab dan 146 pasal.

Mengenai dianutnya bentuk Negara kesatuan dinyatakan dalam pasal 1 ayat (10 UUDS 1950 yang berbunyi “Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu Negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”.

Sistem pemerintahan yang dianut pada masa berlakunya UUDS 1950 adalah sistem pemerintahan Parlemanter. Dalam pasal 83 ayat (1) UUDS 1950 ditegaskan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat”. Kemudian pada ayat (2) disebutkan bahwa “Menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintahan, baik bersama- sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagianya sendiri-sendiri’. Hal ini berarti yang bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintahan adalah menteri menteri. Menteri menteri tersebut bertanggungjawab kepada parlemen (DPR).

Perlu kalian ketahui bahwa lembaga-lembaga Negara menurut UUDS 1950 adalah :
a.       Presiden dan wakil Presiden
b.      Menteri menteri
c.       Dewan Perwakialan Rakyat
d.      Mahkamah Agung
e.       Dewan Perwakilan Keuangan

Sesuai dengan namanya, UUDS 1950 bersifat sementara. Sifat kesementaraan ini nampak dalam rumusan pasal 134 yang menyatakan bahwa “Konstituante (Lembaga Pembuat UUD) bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UUD Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS ini”. Anggota Konstituante dipilh melalui pemilihan umum bulan Desember 1955 dan diresmikan tanggal 10 November 1956 di Bandung.
Sekalipun kostituante telah bekerja kurang lebih selama dua setengah tahun, namun lembaga ini masih belum berhasil menyelesaikan sebuan UUD. Faktor penyebab ketidakberhasilan tersebut adalah adanya pertentangan pendapat di antara partai-partai politik di badan konstituante dan juga di DPR serta badan-badan pemerintahan.

Pada tanggal 22 April 1959 Presiden Soekarno menyampaikan amanat yang berisi anjuran untuk kembali ke UUD 1945. Pada dasarnya, saran untuk kembali pada UUD 1945 tersebut dapat diterima oleh para anggota Konstituante tetapi dengan pandangan yang berbeda-beda. Oleh karena tidak memperoleh kata sepakat, maka diadakan pemungutan suara. Sekalipun sudah diadakan tiga kali pemungutan suara, ternyata jumlah suara yang mendukung anjuran presiden tersebut belum memenuhi persyaratan yaitu 2/3 suara dari jumlah anggota yang hadir.

Atas dasar tersebut demi untuk menyelematkan bangsa dan negara, pada tanggal 05 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit presiden yang isinya adalah:
1.      Menetapkan pembubaran konstituante
2.      Menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUD 1950
3.      Pembentukan MPRS dan DPRS

Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka UUD 1945 berlaku kembali sebagai landasan konstitusiona dalam menyelenggarakan pemerintahan Republik Indonesia.

4.      UUD 1945 Periode 5 Juli 1959-19 Oktober 1999
Praktik penyelenggaraan negara pada masa berlakunya UUD 1945 sejak 5 Juli 1959-19 Oktober 1999 ternyata mengalami berbagai pergeseran bahkan terjadinya beberapa penyimpangan. Oleh karena itu, pelaksanaan UUD 1945 selama kurun waktu tersebut dapat dipilah menjadi 2 periode yaitu periode orde lama (1959-1966), dan periode orde baru (1966-1999).
Pada masa pemerintahan orde lama, kehidupan politik dan pemerintahan sering terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh Presiden dan juga MPRS yang justru bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Artinya, pelaksanaan UUD 1945 pada masa itu belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang presiden dan lemahnya kontrol yang seharusnya dilakukan DPR terhadap kebijakan-kebijakan presiden.

Selain itu muncul pertentangan politik dan konflik lainnya yang berkepanjangan sehingga situasi politik, keamanan dan kehidupan ekonomi semakin memburuk. Puncak dari situasi tersebut adalah munculnya pemberontakan G-30-S/PKI yang sangat membahayakan keselamatan bangsa dan negara.

Mengingat keadaan semakin membahayakan, Ir.Soekarno selaku presiden RI memberikan perintah kepada Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 (SUPERSEMAR) untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan bagi terjaminnya keamanan, ketertiban, dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintah. Lahirnya Supersemar tersebut dianggap sebagai awal masa orde baru.

Semboyan orde baru pada masa itu adalah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dilihat dari prinsip demokrasi, prinsip negara hukum, dan keadilan sosial ternyata masih terdapat banyak hal yang jauh dari harapan. Hampir sama dengan masa orde lama, sangat dominannya kekuasaan Presiden dan lemahnya kontrol DPR terhadap kebijakan-kebijakan Presiden/Pemerintah.

Selain itu, kelemahan tersebut terletak pada UUD 1945 itu sendiri, yang sifatnya singkat dan luwes (fleksibel), sehingga memungkinkan munculnya berbagai penyimpangan. Tuntutan untuk merubah dan menyempurnakan UUD 1945 tidak memperoleh tanggapan, bahkan pemerintahan orde baru bertekad untuk mempertahankan dan tidak merubah UUD 1945.

5.      UUD 1945 Periode 19 Oktober 1999- Sekarang
Seiring dengan tuntutan reformasi dan setelah lengsernya Presiden Soeharto sebagai penguasa orde baru, maka sejak tahun 1999 dilakukan perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. UUD 1945 sudah mengalami empat tahap perubahan, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Penyebutan UUD setelah perubahan menjadi lengkap, yaitu: Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Melalui empat tahap perubahan tersebut, UUD 1945 telah mengalami perubahan yang cukup mendasar. Perubahan itu menyangkut kelembagaan Negara, pemilihan umum, pembatasan kekuasaan presiden dan wakil presiden, memperkuat kedudukan DPR, pemerintahan daerah, dan ketentuan yang terinci tentang hak-hak asasi manusia. Setelah perubahan UUD 1945, ada beberapa praktik ketatanegaraan yang melibatkan rakyat secara langsung. Misalnya dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, dan pemilihan kepala daerah (Gubernur dan Bupati/ Walikota). Hal-hal tersebut tentu lebih mempertegas prinsip kedaulatan rakyat yang dianut Negara kita.

Lembaga-lembaga Negara menurut UUD 1945 sesudah amandemen adalah:
a.       Presiden
b.      Majelis Permusyawaratan Rakyat
c.       Dewan Perwakilan Rakyat
d.      Dewan Perwakilan Daerah
e.       Badan Pemeriksa Keuangan
f.       Mahkamah Agung
g.      Mahkamah Konstitusi
h.      Komisi Yudisial

B.     Metode Perubahan Konstitusi
Pembaharuan konstitusi dimanapun didunia ini terutama tidak ditentukan oleh tata catra resmi (formal) yang harus dilalui. Tata cara formal (fleksibel) tidak serta merta memudahkan terjadinya perubahan UUD. Begitu pula sebaliknya, tata cara formal yang dipersukar (rigid) tidak berarti perubahan UUD tidak akan atau akan jarang terjadi. Faktor utama yang menentukan perubahan UUD adalah berbagai (pembaharuan) keadaan dimasyarakat. Dorongan demokratisasi, pelaksanaan paham negara kesejahteraan (welfare state), perubahan pola dan sistem ekonomi akibat industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menjadi kekuatan (forces) pendorong pembaharuan.

Jadi, masyarakatlah yang menjadi pendorong utama pembaharuan UUD. Demikian pula peranan UUD itu sendiri. Hanya masyarakat yang berkehendak dan mempunyai tradisi menghormati dan menjunjung tinggi UUD (konstitusi pada umumnya), yang akan menentukan UUD tersebut akan dijalankan sebagaimana mestinya. KC Wheare pernah mengingatkan, mengapa konstitusi perlu ditentukan pada kedudukan yang tinggi (supreme), supaya ada semacam jaminan bahwa konstitusi itu akan diperhatikan dan ditaati dan menjamin agar konstitusi itu akan diperhatikan dan ditaati dan menjamin agar konstitusi tidak akan dirusak dan diubah begitu saja secara sembarangan. Perubahannya harus dilakukan secara hikmat, penuh sungguhan, dan pertimbangan yang mendalam.Sasaran yang ingin diraih dengan jalan mempersulit perubahan konstitusi antara lain:
a.       Agar perubahan konstitusi dilakukan dengan pertimbangan yang masak, tidak sembarangan dengan sadar (dikehendaki);
b.      Agar rakyat mendapat kesempatan untuk menyampaikan pandangannya sebelum perubahan dilakukan.

UUD yang baik selalu menentukan sendiri prosedur perubahan atas dirinya sendiri. Perubahan yang dilakukan di luar prosedur yang ditentukan itu bukanlah perubahan yang dapat dibenarkan secara hukum (verfassung anderung). Inilah prinsip negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) dan prinsip negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitutional democracy) yang dicita-citakan oleh para pendiri republik ini. Di luar itu, namanya bukan 'rechtsstaat', melainkan 'machtsstaat' yang hanya menjadikan perimbangan 'revolusi politik'  sebagai landasan pembenar yang bersifat ‘post factum’ terhadap perubahan dan pemberlakuan suatu konstitusi.
Menurut Sri Soemantri, apabila dipelajari secara detail mengenai sistem perubahan konstitusi di berbagai negara, paling tidak ada dua sistem yang sedang berkembang, yaitu RENEWEL (Pembaharuan) dianut di negara-negara Eropa Kontinental dan AMANDEMENT (Perubahan) seperti dianut di negara-negara Anglo Saxon. Sistem yang pertama ialah, apabila suatu konstitusi dilakukan perubahan (dalam arti diadakan pembaharuan), maka yang diberlakukan adalah konstitusi yang baru secara keseluruhan. Di antara negara yang menganut sistem ini misalnya Belanda, Jerman, dan Prancis. Sistem yang kedua ialah, apabila suatu konstitusi diubah (diamandemen), konstitusi yang asli tetap berlaku. Dengan kata lain, hasil amandemen tersebut merupakan bagian atau dilampirkan dalam konstitusinya. Sistem ini dianut oleh negara Amerika Serikat.

Menurut Wheare, perubahan UUD akibat dorongan kekuatan (forces) yang terjadi dapat berbentuk; pertama, kekuatan-kekuatan yang kemudian melahirkan perubahan keadaan(circumstances) tanpa mengakibatkan perubahan bunyi yang tertulis dalam UUD, melainkan terjadi perubahan makna. Suatu ketentuan UUD diberi makna baru tanpa mengubah bunyinya. Kedua, kekuatan-kekuatan yang melahirkan keadaan baru itu mendorong perubahan atas ketentuan UUD, baik melalui perubahan formal, putusan hakim, hukum adat, maupun konvensi.

Ada hal-hal prinsp yang harus diperhatikan dalam perubahan UUD. Menurut Bagir Manan, perubahan UUD berhubungan dengan perumusan kaidah konstitusi sebagai kaidah hukum negara tertinggi. Dalam hal ini, terlepas dari beberapa kebutuhan mendesak, perlu kehati-hatian, baik mengenai materi muatan maupun cara-cara perumusan. Memang benar penataan kembali UUD 1945 untuk menjamin pelaksanaan konstitusionalisme dan menampung dinamika baru di bidang politik, ekonomi, sosial, dan lainnya. Namun, jangan sekali-kali perubahan itu semata-mata dijadikan dasar dan tempat menampung berbagai realitas kekuatan politik yang berbeda dan sedan bersaing dalam SU MPR. Juga berhati-hati dengan cara-cara merumuskan kaidah UUD. Selain harus mudah dipahami(zakelijk), juga menghindari kompromi bahasa yang dapat menimbulkan multitafsir yang dapat disalahgunakan dikemudian hari.
Sri Soemantri menegaskan, dalam mengubah UUD harus ditetapkan dulu alasan dan tujuannya. Jika hal itu sudah disepakati, baru dapat dipikirkan langkah selanjutnya berdasarkan alasan dan tujuan perubahan itu. Misalnya, Selam ini UUD terkesan terlalu beriorentasi pada eksekutif. Oleh karena itu, ditentukanlah bahwa tujuan dari perubahan UUD adalah untuk membatasi eksekutif. Kemudian apa yang dilakukan untuk membatasi kekuasaan eksekutif? Itu harus dipikirkan masak-masak. Misalnya, kontrol terhadap eksekutif hanya diperkuat. Itu berarti kedudukan legislatif mesti diperkuat. Jadi, kita harus kembali pada alasan dan tujuan dari perubahan itu. Misalnya, tujuannya adalah mewujudkan negara demokrasi, maka kita harus berbicara dengan mengenai sistem pemerintahan.

Menurut tradisi Amerika Serikat, perubahan dilakukan terhadap meteri tertentu dengan menetapkan naskah Amandemen yang terpisah dari naskah asli UUD, sedangkan menurut tradisi Eropa perubahan dilakukan langsung dalam teks UUD, jika perubahan itu menyangkut materi tertentu, tentulah naskah UUD asli itu tidak banyak mengalami perubahan. Akan tetapi, jika materi yang diubah terbilang banyak dan apalagi isinya sangat mendasar, biasanya naskah UUD itu disebut dengan nama baru sama sekali. Dalam hal demikian, perubahan identik dengan penggantian. Namun, dalam tradisi Amandemen Konstitusi Amerika Serikat, materi yang diubah biasanya selalu menyangkut satu "issue" tertentu. 

Landasan teoritis melakukan perubahan UUD 1945 dalam bentuk putusan "Perubahan UUD" adalah menjadikan konstitusi bersifat normative-closed sehingga perubahan tidak lagi dilakukan oleh MPR dengan ketetapan MPR. MPR tidak dibenarkan mengembangkan kewenangannya melalui putusan nonamandemen, karena dengan demikian secara teoritis akan menempatkan konstitusi bersifat normative-open. Menjadikan UUD 1945 bersifatnormative-closed membawa implikasi terhadap eksistensi MPR, yaitu MPR harus patuh terhadap UUD 1945.Amandemn sebagai bentuk hukum perubahan UUD mempunyai kedudukan sederajat dan merupakan bagian tak terpisahkan dari UUD. Kebaikan bentuk hukum amandemen atau perubahan ada kesinambungan historis dengan UUD asli (sebelum perubahan). Amandemen atau perubahan merupakan suatu bentuk hukum, bukan sekedar prosedur. Inilah perubahan UUD 1945 yang disebut "perubahan pertama". Tidak perlu semua anggota MPR menandatangani naskah perubahan. Cukup suatu berita acara yang menerangkan penyelanggaraan perubahan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam UUD dan naskah perubahan disertakan pada berita acara, termasuk daftar hadir dan sebagainya.
  
C.    Hasil Perubahan Konstitusi Terhadap UUD 1945
Perubahan terhadap UUD 1945 dilakukan secara bertahap karena mendahulukan pasal-pasal yang disepakati oleh semua fraksi di MPR, kemudian dilanjutkan dengan perubahan terhadap pasal-pasal yang lebih sulit memperoleh kesepakatan. Perubahan terhadap UUD 1945 dilakukan sebanyak empat kali melalui mekanisme sidang MPR yaitu:
a.       Sidang Umum MPR 1999 tanggal 14-21 Oktober 1999
b.      Sidang Tahunan MPR 2000 tanggal 7-18 Agustus 2000
c.       Sidang Tahunan MPR 2001 tanggal 1-9 November 2001
d.      Sidang Tahunan MPR 2002 tanggal 1-11 Agustus 2002

Perubahan UUD Negara RI 1945 dimaksudkan untuk menyempurnakan UUD itu sendiri bukan untuk mengganti. Secara umum hasil perubahan yang dilakukan secara bertahap MPR adalah sebagai berikut.

1.      Perubahan Pertama
Perubahan pertama terhadap UUD 1945 ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999 dapat dikatakan sebagai tonggak sejarah yang berhasil mematahkan semangat yang cenderung mensakralkan atau menjadikan UUD 1945 sebagai sesuatu yang suci yang tidak boleh disentuh oleh ide perubahan. Perubahan pertama terhadap UUD 1945 meliputi 9 pasal, 16 ayat, yaitu:
Pasal yang diubah
Isi Perubahan
·         5 ayat 1
·         Pasal 7
·         Pasal 9 ayat 1 dan 2
·         Pasal 13 ayat 2 dan 3
·         Pasal 14 ayat 1
·         Pasal 14 ayat 2
·         Pasal 15
·         Pasal 17 ayat 2 dan 3
·         Pasal 20 ayat 1-4
·         Pasal 21
·         Hak presiden untuk mengajukan RUU kepada DPR
·         Pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden
·         Sumpah Presiden dan Wakil Presiden
·         Pengangkatan dan penempatan Duta
·         Pemberian grasi dan rehabilitasi
·         Pemberian amnesty dan abolisi
·         Pemberian gelar, tanda jasa dan kehormatan lain
·         Pengangkatan menteri
·         DPR
·         Hak DPR untuk mengajukan RUU

2.      Perubahan Kedua
Perubahan kedua ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000, meliputi 27 pasal yang tersebar dalam 7 Bab, yaitu:
Bab yang diubah
Isi Perubahan
·         Bab VI
·         Bab VII
·         Bab IXA
·         Bab X
·         Bab XA
·         Bab XII
·         Bab XV
·         Pemerintahan Daerah
·         Dewan Perwakilan Daerah
·         Wilayah Negara
·         Warga Negara dan Penduduk
·         Hak Asasi Manusia
·         Pertahanan dan Keamanan
·         Bendera, bahasa, lambang negara serta lagu kebangsaan

3.      Perubahan Ketiga
Perubahan ketiga ditetapkan pada tanggal 9 November 2001, meliputi 23 pasal yang tersebar 7 Bab, yaitu:
Bab yang diubah
Isi Perubahan
·         Bab I
·         Bab II
·         Bab III
·         Bab V
·         Bab VIIA
·         Bab VIIB
·         Bab VIIIA
·         Bentuk dan kedaulatan
·         MPR
·         Kekuasaan Pemerintahan Negara
·         Kementerian Negara
·         DPR
·         Pemilihan Umum
·         BPK

4.      Perubahan Keempat
Perubahan keempat ditetapkan 10 Agustus 2002, meliputi 19 pasal yang terdiri atas 31 butir ketentuan serta 1 butir yang dihapuskan. Dalam naskah perubahan keempat ini ditetapkan bahwa:
a.       UUD 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga, dan keempat adalah UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 da diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
b.      Perubahan tersebut diputuskan dalam rapat Paripurna MPR RI ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan MPR RI dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
c.       Bab IV tentang “Dewan Pertimbangan Agung” dihapuskan dan pengubahan substansi pasal 16 serta penempatannya kedalam Bab III tentang “Kekuasaan Pemerintahan Negara”.

D.    Tata Urutan Perundang-Undangan
Sejak Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 ada beberapa peraturan yang mengalami tata urutan perundang-undangan yaitu:
1.      Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1996 tentang memorandum DPR-GR mengatur sumber tertib hukum Republik Indonesia
2.      Pada era reformasi, MPR telah mengeluarkan produk hukum yang berupa ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan.
3.      Pada tahun 2004 melalui UU RI No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Lahirnya UU RI Nomor 10 Tahun 2004 tidak terlepas dari tuntutan reformasi di bidang Hukum. MPR pada Tahun 2003 telah mengeluarkan ketetapan Nomor 1/MPR/2003 tentang peninjauan kembali terhadap materi dan status hukum. Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. Berdasarkan ketentuan pasal 6 ayat 19 ketetapan MPR No. I/ MPR/2003 maka status dan kedudukan ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 digolongkan pada ketetapan MPRS yang tidak perlu diwakilkan tindakan hkum lebih lanjut. Sedangkan ketetapan MPR No. III/MPR/2000 adalah tergolong ketetapan MPR yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang (sebagaimana dinyatakan dalam pasal 4 ayat (4)).

Pada tahun 2004 lahir undang-undang nomor 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-Undangan, didalam UU pasal 7 ayat (1) undang-undang tersebut dicantumkan mengenai jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian maka TAP MPR No.III/MPR/2000 otomatis dinyatakan tidak berlaku. Rumusan pasal 7 ayat (1) undang-undang nomor 10 tahun 2004 sebagai berikut:
1.      Jenis dan hirarki peraturan  perundang-undangan sebagai berikut:
a.       Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.
b.      Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (PERPU).
c.       Peraturan pemerintah.
d.      Peraturan Presiden.
e.       Peraturan Daerah (Perda).
2.      Peraturan daerah sebagai mana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a.       Peraturan daerah provinsi dibuat oleh DPRD provinsi bersama dengan gubernur.
b.      Peraturan daerah kabupaten/ kota dibuat oleh DPRD kabupaten/ kota bersama bupati/ walikota.
c.       Peraturan daerah/ peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
3.      Ketentuan mengenai tata cara pembuatan peraturan desa/ peraturan yang setingkat di atur oleh peraturan daerah/ kabupaten/ kota yang bersangkutan.
4.      Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana di maksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan  yang lebih tinggi.

5.      Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hirarki sebagaimana di maksud pada ayat (1).
Untuk lebih memahami tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai mana di atur pada pasal 7 ayat (1) UU RI No. 10 tahun 2004 cermati uraian berikut:
1.      Undang-undang dasar 1945
Undang-undang dasar 1945 merupakan hukum dasar yang tertulis Negara republic Indonesia dan berfungsi sebagai sumber hukum tertinggi. L.J.  van Apeldoorn menyatakan undang-undang dasar adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi sedangkan E.C.S. Wade menyatakan undang-undang dasar adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dan badan-badan pemerintahan suatu Negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut.

Miriam Budiardjo menyatakan bahwa undang-undang dasar memuat ketentuan-ketentuan mengenai organisasi Negara, hak-hak asasi manusia, prosedur mengubah UUD, dan memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undang-undang dasar.

Ditetapkan undang-undang dasar 1945 sebagai konstitusi Negara republic Indonesia merupakan:
a.       Bentuk konsekuensi dikumandangkannya kemerdekaan yang menandai berdirinya suatu Negara baru.
b.      Wujud kemandirian suatu Negara yang tertib dan teratur.
c.       Mengisi dan mempertahankan kemerdekaan.

Undang-undang dasar pada umumnya berisi hal-hal sebagai berikut:
a.       Organisasi Negara artinya mengatur lembaga-lembaga apa saja yang ada dalam suatu Negara dengan  pembagian kekuasaan masing-masing serta prosedur penyelesaian maslaha yang timbul di antara lembaga tersebut.
b.      Hak-hak asasi manusia.
c.       Prosedur mengubah undang-undang dasar.
d.      Memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undang-undang dasar, seperti tidak muncul kembali seorang dictator atau pemerintahan kerajaan yang kejam.
e.       Memuat cita-cita rakyat dan asas-asas ideologi Negara.

Dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut Miriam Budiardjo undang-undang dasar 1945 mempunyai kedudukan yang istimewa dibandingkan dengan undang-undang lainnya, hal ini di karenakan:
a.       UUD dibentuk menurut suatu cara istimewa yang berbeda dengan pembentukan UU biasa.
b.      UUD dibuat secara istimewa untuk itu dianggap suatu yang luhur.
c.       UUD adalah piagam yang menyatakan cita-cita bangsa Indonesia dan merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu Negara.
d.      UUD memuat garis besar tentang dasar dan tujuan Negara.

Sejak era reformasi UUD 1945 telah mengalami perubahan yang dilakukan melalui sidang tahunan MPR. Perubahan pertama pada tanggal 12 oktober 1999, perubahan kedua pada tanggal 18 agustus 2000, perubahan ketiga pada tanggal 9 november dan perubahan keempat pada tanggal 10 agustus 2002.

Perubahan-perubahan tersebut dilakukan dalam upaya menjawab tuntutan reformasi di bidang politik dan atau ketatanegaraan. Konsekuensi perubahan terhadap UUD 1945 berubahnya struktur kelembagaan, baik dilihat dari fungsi maupun kedudukannya. Ada lembaga Negara yang dihilangkan, ada juga lembaga Negara yang baru. Lembaga yang dihilangkan adalah Dewan Pertimbangan Agung, lembaga yang baru diantaranya Komisi Yudisial dan Mahkamal Konstitusi.

2.      Undang-Undang
Undang-undang merupakan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan UUD 1945. Lembaga yang berwenang membuat UU adalah DPR bersama presiden. Adapun kriteria agar suatu permasalahan di atur melalui undang-undang antara lain adalah:
a.       UU dibentuk atas perintah ketentuan UU 1945.
b.      UU dibentuk atas perintah ketentuan UU terdahulu.
c.       UU dibentuk dalam rangka mencabut, mengubah, dan menambah undang-undang yang sudah ada.
d.      UU dibentuk karena berkaitan hak asasi manusia.
e.       UU dibentuk karena berkaitan denga kewajiban atau kepentingan orang banyak.

Adapun prosedur pembuatan undang-undang adalah sebagai berikut:
a.       DPR memegang kekuasaan membentuk UU.
b.      Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
c.       RUU dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD.

DPD dapat mengajukan kepada DPR, RUU yang berkaitan dengan:
a.       Otonomi daerah.
b.      Hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah.
c.       Pengelolaan SDA.
d.      Sunber daya ekonomi lainnya.
e.       Yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

3.      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)
Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (PERPU) dibentuk oleh presiden tanpa terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR. PERPU dibuat dalam keadaan “darurat” atau mendesak karena permasalahan yang muncul harus segera ditindak lanjuti. Setelah diberlakukan perpu tersebut harus diajukan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan.

4.      Peraturan Pemerintah
Untuk melaksanakan suatu undang-undang, dikeluarkan peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah dibuat untuk melaksanakan undang-undang. Criteria pembentukan peraturan pemerintah adalah sebagai berikut:
a.       Peraturan pemerintah tidak dapat dibentuk tanpa adanya UU induknya. Setiap pembentukan peraturan pemerintah harus berdasarkan undang-undang yang telah ada. Contoh untuk melaksanakan undang-undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dibentuk peraturan pemerintah no. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan.
b.      Peraturan pemerintah tidak dapat mencantumkan sanksi pidana, jika UU induknya tidak mencantumkan sanksi pidana. Yang di atur dalam peraturan pemerintah harus merupakan rincihan atau penjabaran lebih lanjut dari UU induknya, jadi ketika dalam undang-undang itu tidak di atur masalah sanksi pidana, maka peraturan pemerintahnya pun tidak boleh memuat sanksi pidana.
c.       Peraturan pemerintah tidak dapat memperluas atau mengurangi ketentuan UU induknya. Isi atau materi peraturan pemrintah hanya mengatur lebih rinci apa yang telah di atur dalam UU indunya.
d.      Peraturan pemerintah dapat di bentuk meskipun UU yang bersangkutan tidak menyebutkan secara tegas, asal peraturan pemerintah tersebut untuk meaksanakan UU.

Dibentuknya peraturan pemerintah untuk melaksanakan UU yang telah dibentuk. Sekalipun dalam undang-undang tersebut tidak sevara eksplisit mengharuskan dibentuknya suatu peraturan pemerintah.

5.      Peraturan Presiden
Peraturan presiden adalah peraturan yang dibuat oleh presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara sebagai atribut dari pasal 4 ayat (1) UUD RI tahun 1945. Peraturan pemerintah dibentuk untuk menyelenggarakan peraturan lebih lanjut perintah UU atau peraturan pemerintah baik secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya.

6.      Peraturan Daerah
Peraturan daerah adalah peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten atau Kota, untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan dalam rangka melaksanakan kebutuhan daerah. Oleh karena itu dalam pembuatan peraturan daerah harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Materi peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan.




























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Konstitusi atau Undang-Undang Dasar adalah seperangkat aturan dasar suatu negara mempungyai fungsi yang sangat penting dalam suatu negara. Penyelenggaraan pemerintahan negara harus didasarkan pada konstisusi.
2.      Perubahan konstistusi merupakan merupakan hal yang penting, amandemen perubahan UUD RI 1945 merupakan salah satu agenda reformasi untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik.
3.      Metode perubahan konstitusi ada dua cara yaitu dengan cara rigid dan fleksibel.
4.      Perubahan konstitusi terhadap UUD RI 1945 melalui empat amandemen yang saling berhubungan dengan cara perubahan adendum.

B.     Saran
1.      Sebagai generasi muda kita harus mengetahui serta mampu berpikir kritis terhadap konstitusi yang berlaku di negara kita ini. Karena konstitusi memiliki arti penting terhadap bagi negara kita.
2.      Sebagai generasi yang berintelektual tinggi, kita harus peka terhadap metode serta cara perubahan terhadap konstitusi agar tidak terjadi lagi penyimpanagn terhadap konstitusi.